I Wayan Beratha baru saja dianugerahkan gelar kehormatan Empu Seni Karawitan pertama dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Seniman yang terkenal sebagai kreator gending Semar Pegulingan di Abiankapas, Denpasar.
Dengan sistem pelog 7 nada, maka gamelan Semar Pegulingan secara umum memiliki keistimewaan pada adaptasinya untuk menciptakan sejumlah gending.
Ia sudah menciptakan sekitar 20 karya tari, gending, dan sendratari. Sebagian hidupnya juga dihabiskan untuk beranjangsana ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri untuk memperkenalkan seni tradisi Bali.
Sosoknya menjadi simbol kreativitas anak Bali zaman dulu. Tanpa pendidikan formal, dia menciptakan sejumlah karya seni tradisi dan meletakkan dasar nada-nada gamelan.
I Wayan Beratha lahir pada tahun 1926. Pendidikan formalnya Sekolah Rakyat setingkat Sekolah Dasar selama lima tahun. Sejak usia kanak, dia secara alamiah belajar tari dan gamelan pada kakek dan bapaknya yang juga seniman pencipta.
Ketika bersua Beratha pada 27 Juli lalu di rumahnya, dia sulit mendengar dan menjawab. Pertanyaan diterjemahkan kembali oleh istrinya Ni Made Nida atau mantu satu-satunya Prof I Wayan Ardika, arkeolog senior di Bali.
Namun, ketika bertanya soal kegemarannya memainkan gamelan, Beratha langsung menunjukkan gangsa pelog 7 yang mengisi kesehariannya kini. Tanpa diminta, ia memainkan pemukul dengan lincah dan berbicara dengan lancar dan riang soal nada-nada yang dimainkan.
Saya mencoba menanyakan keseharian Beratha saat ini dan membuka memorinya ketika seni tradisi penggerak kehidupan di Bali.
Bagaimana kondisi Bapak saat ini?
Ya begini ini. (Ardika menjelaskan: dua tahun terakhir sakit diabetes, fisik menurun, sudah mulai sulit berjalan sendiri. Kadang masih jalan-jalan di sekitar rumah).
Apakah masih megambel?
Masih, masih senang. (Mata Beratha berbinar sambil memainkan kedua tangannya bak memainkan gangsa)
Ardika: Bapak masih sering main rindik atau gangsa sendirian. Bisa tidak tidur malamnya kalau sedang senang memainkan gending. Kami sekarang melarang orang-orang yang datang minta dibuatkan gending, misalnya untuk lomba di Pesta Kesenian Bali seperti dulu.
Apa artinya gelar kehormatan Empu Seni bagi Bapak?
Ya, ya senang dapat itu.
Arena Pesta Kesenian Bali dekat rumah Bapak, masih ingin menonton tari atau gamelan?
Jalan-jalan saja tidak nonton.
Nida: Masih terakhir jalan-jalan di PKB tapi tidak menonton. Bapak senang megambel sendiri di rumah. Suka dengar tetabuhan klasik.
Masih pernah bertemu dengan seniman-seniman tua lain? Bagaimana kondisi mereka?
Saya sama Gede Manik begini. (Beratha mengaitkan kedua jarinya tanda persahabatan yang erat dengan Gede Manik, seniman gong kebyar )
Ardika: Bapak pernah dulu ketemu dengan teman-temannya. Masih ada yang ngurus keluarganya.
Apakah karya-karya semuanya ada dokumentasinya?
Ardika: Bapak tidak punya dokumentasi karyanya. Ini juga masalahnya, dalam industry budaya. Ada kaset yang memakai karya bapak tanpa memberikan apa-apa. Orang-orang tidak peduli hak cipta
Keluarga Beratha kini sedang menyusun biografi perajalanan hidupnya. Sudah ada beberapa halaman yang merangkum salah satu generasi seniman tradisi yang dihormati ini. Dituliskan, cara I Wayan Beratha menyelesaikan sebuah garapan sendratari.. Pada tahap pertama ia menggarap bentuk – bentuk adegan sesuai dengan isi pokok cerita. Tiap adegan diberinya iringan gending sesuai dengan suasana seperti yang dimaksudkan oleh adegan.
Setelah adegan-adegan tersusun menjadi babakan, setiap babakan berisi beberapa adegan, Beratha memilih orang- orang yang diberi tugas sebagai artis utama dan figuran. Pada tahap berikutnya Ia Beratha memikirkan bentuk tari yang akan memegang kunci utama bagi terwujudnya sendratari.
Sebagian besar garapannya memang sendratari. Di antaranya Sendratari “ Jayaprana” ( 1961), Tabuh “Gesuri” (1964), tabuh ini diciptakan pada waktu ia berada di New York, Sendratari “ Ramayana” (1965). Sendratari “ Maya Denawa” (1966), Instrumentalia “Palgunawarsa” (1968), yang mendapat penghargaan tertinggi dalam festival gong kebyar seluruh Bali, Tari “Panyembrana” (1971) dan lainnya.
Keluarga seniman tradisi ini keahlian utamanya adalah pelatih karawitan khususnya pegongan dan pelegongan atau karawitan yang menggunakan alat- alat gambelan. Selain menciptakan alat dan nada, kakek, ayah, dan anak (Keneng-Regog-Beratha) ini juga adalah tukang memperbaiki nada gambelan, di Bali disebut tukang panggur.
Selain belajar tarian dan mencipta gending, tiga generasi ini juga terlenal konsisten melakukan pembinaan sanggar-sanggar seni Bali. Hingga punya kontribusi pada lahirnya sekolah seni tradisi modern seperti Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia (SMKI), ASTI, hingga ISI.
Sebagai seniman I Wayan Beratha disebut mempunyai pandangan yang luas. Ia tidak menyukai fanatisme yang bersifat kedaerahan dalam bidang karawitan. Sekitar tahun 1957 – 1959 membaurkan gaya karawitan Bali Utara dan Selatan. [b]
Versi lain tulisan ini dalam Bahasa Inggris di The Jakarta Post.