Ombak yang datang hampir tiap menit dan terik matahari tak menghalangi Nyoman Geret, 60 tahun. Petani rumput laut di pantai Ungasan, Kuta Selatan, Badung, itu mengumpulkan rumput laut sambil berendam hingga perut.
Dia bertelanjang dada membawa serok, alat penangkap ikan, untuk menjaring rumput sedikit demi sedikit. Setiap kali serok telah separuh terisi, dia akan membawanya ke pantai. Bapak dua anak itu mengumpulkannya sedikit demi sedikit.
Matahari amat terik sekitar pukul 2 siang itu. Menurut Yahoo Weather hingga 34 derajat Celcius. Geret tak peduli. Dia terus menjaring rumput laut, sumber penghidupan utamanya, tersebut.
Geret dan petani rumput laut lainnya biasa bekerja pada pagi hari untuk memeriksa rumput laut yang mereka tanam. Misalnya membersihkannya dari sampah atau hama. Setelah itu, pada siang hari, mulai sekitar pukul 2 hingga 5 sore, mereka akan mencari rumput laut yang terlepas dari pengikatnya.
Berjarak hanya sekitar 10 meter dari tempat Geret mengumpulkan rumput laut, belasan turis asing sedang berjemur dan berenang di kolam. Ketika turis asing sedang menikmati biru Samudera Pasifik dan terik matahari tropis, Geret justru harus menghadapi kenyataan pahit, jumlah panennya terus berkurang.
Musim hujan terjadi di Bali antara November hingga April. Pada bulan-bulan inilah, setiap tahun, jumlah panen rumput laut akan berkurang. “Air laut lebih keruh dan kotor. Rumput laut jadi mudah rusak,” kata Geret.
Rumput laut rusak terlihat dari warna yang tidak terlalu hijau, kekuningan, dan agak kusam. Karena kuatnya arus setelah hujan, menurut Geret, rumput laut juga lebih mudah rontok sehingga rumpunnya berkurang sampai setengah atau sepertiga ukuran biasa. “Kalau rumput laut jelek juga tak bisa dijual,” tambah Geret.
Menurut Geret, selain pada musim hujan, dia bisa mendapatkan 1.000 kg rumput laut dari 5 petak lahan yang dia kerjakan. Namun, ketika musim hujan tiba, dia hanya bisa mendapatkan 200 kg, 20 persen dari jumlah panen biasanya.
Petani lain, Made Karna, 58 tahun, juga mengalami hal serupa. Empat bulan terakhir, jumlah panennya pun turun. Jumlahnya sama persis dengan apa yang dialami Geret. Dari biasanya panen hingga 1.000 kg dari lima petak (tanpa ukuran pasti), kini dia cuma dapata 200 kg. “Itu pun sudah paling banyak,” ujarnya.
Jumlah panen tersebut merupakan rumput laut yang sudah kering, bukan rumput laut basah yang baru dipanen. Setiap kg rumput laut kering, setelah dijemur antara 3-4 hari, dijual Rp 8.600. Mereka biasa panen dua kali setiap 45 hari.
Dengan panen yang berkurang pada musim hujan, pendapatan petani pun berkurang. Geret dan Karna mengatakan, saat ini pendapatan mereka dari penjualan rumput laut hanya sekitar Rp 1 juta per bulan. Padahal pada hari biasa sekitar Rp 3 juta.
Karena itu, mereka harus mencari pekerjaan lain. Karna, misalnya, kadang-kadang juga jadi buruh bangunan atau bekerja di hotel ataupun vila di sekitar kawasan tersebut. Adapun Geret mengaku nyambi sebagai petugas pengaman salah satu vila di Ungasan. “Kalau tidak bekerja di tempat lain, pendapatan kami mana cukup untuk hidup sehari-hari,” kata Karna.
Pantai Ungasan di ujung selatan Bali merupakan salah satu pusat pertanian rumput laut di Bali selain di kawasan Nusa Penida dan sekitarnya. Menurut Karna ada sekitar 5 kelompok petani rumput laut di kawasan ini dengan jumlah anggota kelompok antara 20-30 orang.
Mereka bertani rumput laut di laut terbuka. Tidak ada sistem kepemilikan lahan karena tiap petani bisa mengapling lahannya sendiri. Tiap satu kali musim tanam rumput laut adalah 45 hari dengan waktu panen hingga 2 kali.
Ketika waktu panen belum tiba, mereka akan mencari rumput laut yang terlepas dari ikatan-ikatan di mana mereka menanam rumput laut tersebut. Itu pula yang dilakukan Geret dan Karna siang tersebut. Mereka sedang mencari sisa dari jumlah panen yang terus berkurang. Dari sisa-sisa itulah mereka sekarang menggantungkan sumber pendapatan. [b]
beginilah kondisi rakyat kita. berbeda dengan partai politik yg asyik dengn nyanyiannya
Bali Tourism Guide