Belum lama ini puluhan guru Sunari Loka berkumpul melihat Kuta lebih dekat.
Lho, bukannya mereka telah lama mengenal Kuta? Itulah pula yang menjadi pertanyaan besar saya ketika mengikuti kegiatan mereka pekan lalu.
Pagi-pagi mereka telah berkumpul di ruangan multi media. Acara dibuka oleh ketua Yayasan Drs. I Nengah Cipta. Dalam sambutannya Pak Cipta berharap agar peserta serius mengikuti materi yang disajikan.
“Jadilah guru yang aktif bertanya karena apabila tidak aktif tentu akan berakibat pada yang lain,” imbuhnya.
Kegiatan ini berlangsung beberapa hari. Materi terdiri dari materi kelas dan luar ruang disertai games terkait materi.
Pada kalimat pembukanya pemateri dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Herni Pili mengajak guru-guru menyanyikan lagu Indonesia Pusaka bersama-sama. Salah seorang guru nyeletuk “Indonesia Raya, Bu..”
Herni menyambutnya, “Indonesia Pusaka, Bapak.”
Guru-guru yang lain membenarkan. Iya.. ada juga lagu Indonesia Pusaka. “Kalau upacara keseringan menyanyikan Indonesia Raya sih..” sahut guru di belakang.
Slide pertama yang muncul adalah Jejak Ekologi yang disampaikan Herni. Materi ini mengingatkan kita lagi lebih dalam, bahwa dalam mengisi hidup pasti manusia memproduksi sampah.
“Untuk itu kita harus mengingat ngingat jejak ekologi dari produk yang kita pakai,” papar Herni.
Ambil contoh, minuman mineral ternama yang diambil dari Jawa. Berapa banyak polusi yang dikeluarkan oleh truk pengangkut minuman tersebut sampai ke Bali. Jika telah digunakan dalam beberapa menit, ke mana perginya sampah kemasan air mineral tersebut?
Guru-guru semakin serius mendengarkan sambil berbicara pelan-pelan membuat beberaa contoh. Herni pun membagi guru-guru dalam beberapa kelompok untuk mendiskusikannya.
Hal yang bisa didefinisikan dari Jejak Ekologi adalah sebuah alat untuk mengukur atau menganalisis berapa jumlah konsumsi sumber daya alam dan sampah yang dihasilkan. Diharapkan dari materi ini kita lebih arif lagi memilah dan memilih barang yang akan kita gunakan.
Usai pemaparan Jejak Ekologi, pembicara lain yaitu Catur Yudha Hariani menyampaikan materi selanjutnya. Kali ini kita semua diingatkan bahwa pendidikan adalah sebuah rangkaian proses tiada henti demi kemampuan, prilaku yang dimiliki individu agar dapat dimanfaatkan bagi kehidupannya.
Barulah pertanyaan saya terjawab ketika Catur memaparkan materinya, Education for Sustanable Development (ESD), pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Visinya memberdayakan manusia agar mampu bertanggung jawab dalam menciptakan dan menikmati masa depan berkelanjutan.
Nah, jika dikaitkan dengan Kuta, para guru langsung membayangkan Kuta tempo dulu, sekarang serta apa yang akan terjadi ke depan. Saya baru ketemu jawabannya. Namun masih penasaran.
Usai pemaparan para guru kembali membentuk kelompok. Uniknya setiap perwakilan oleh fasilitator dijuluki tokoh-tokoh di Indonesia. Ada Megawati, Prabowo, Jokowi, Yusuf Kalla serta Afgan seorang penyanyi. Hal ini dilakukan agar peserta tidak bosan mengikuti materi.
Satu persatu peserta menggali potensi Kuta, apa saja perubahan yang terjadi pada Kuta, serta apa saja yang harus dilakukan ke depan.
Ibu Asana Vibeke dari I’m An Angel menjelaskan perbedaan Kuta di tahun 1970-an masih alami sekali, tidak ada polusi, masih banyak pohon. Jajanan yang ada masih dirajai makanan lokal. Kini produk multi nasional telah berada di Kuta.
Lantas guru-guru memetakan juga lewat gambar. Tak hanya Kuta namun seluruh pantai di Bali. “Perkembangan kawasan wisata yang makin luas ternyata mengakibatkan kerusakan lingkungan yang makin luas pula,” ungkap salah satu guru yang dijuluki sebagai Jokowi.
Ditambahkannya lagi bahwa akibat water sport mengancam kehidupan bawah laut. “Belum lagi sekarang pantai Kuta menjadi bulan bulanan kiriman sampah,” imbuhnya.
Dalam kata penutup Ketua Yayasan Pak Cipta mengharapkan agar guru-guru makin peka terhadap perubahan di Kuta khususnya, serta Bali secara umum. Dengan demikian mereka bisa menginformasikan ke murid-murid sesuai dengan nama Sunari Loka yang berarti tempat pancaran kecerdasan. [b]