
Industri pariwisata dan gejolak warga Bali kini makin terasa. Salah satunya keprihatinan dari perubahan berwisata yang berdampak pada sosial ekonomi. Wisatawan yang tujuan awalnya hanya untuk berwisata, tapi kini memilih menetap dan membangun usaha. Bahkan mampu membangun di jalur hijau.
Istilah Kampung Rusia makin gencar, salah satunya Parq di Ubud yang baru-baru ini ‘ditutup’. Kampung tersebut berdiri di atas lahan sawah yang dilindungi (LSD). Dilansir dari Kompas, wacana penutupan Parq baru dimulai tahun 2024, padahal sudah lima tahun kawasan tersebut beroperasi.
Alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan elit maupun akomodasi penunjang pariwisata tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Kejadian ini berulang-ulang, mengingkari peraturan yang berlaku.
Kawasan Canggu adalah salah satunya. Villa, hotel, restoran, dan club menggantikan area sawah di Canggu. Berbicara tentang Canggu, sudah begitu lama rasanya tidak melintasi daerah tersebut. Bukan tanpa alasan, sejujurnya saya begitu menghindari daerah ini. Macet, panas, pengemudi ugal-ugalan. Bukan lagi mitos dari telinga ke telinga, tapi menjadi fakta yang kian tak terelakkan.
Hilangnya lahan sawah dan ruang terbuka hijau (RTH) bukan hanya berdampak pada kondisi sosial masyarakat, tetapi juga bisa menyebabkan bencana di masa depan, salah satunya adalah banjir karena hilangnya daerah resapan.
Nenek moyang terdahulu mempersenjatai anak cucunya dengan awig-awig untuk melindungi masyarakat Bali itu sendiri. Awig-awig merupakan aturan atau norma hukum adat yang dibuat untuk ditaati masyarakat desa adat di Bali. Aturan ini berfungsi untuk mengatur kehidupan dan menciptakan ketertiban, ketentraman, dan kedamaian.
Awig-awig merupakan pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Prahyangan), manusia dengan manusia (Pawongan), dan manusia dengan lingkungan alam (Palemahan). Dari segi bentuk dan isi, awig-awig semacam peraturan perundang-undangan, hanya saja menggunakan Bahasa Bali dan aksara Bali.
Secara hukum, awig-awig diakui dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Dalam Perda tersebut awig-awig didefinisikan sebagai aturan yang dibuat oleh Desa Adat dan/atau Banjar Adat yang berlaku bagi Krama Desa Adat (masyarakat asli), Krama Tamiu (pendatang yang menetap), dan Tamiu (pendatang yang tinggal sementara). Dari kalimat tersebut dapat diartikan bahwa awig-awig tidak hanya ditaati oleh masyarakat Bali, tetapi juga pendatang yang menetap permanen maupun sementara.

Baru-baru ini pelanggaran awig-awig terjadi di Subak Uma Desa, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Pada awal tahun 2025, media ramai memberitakan pembangunan tanpa izin di kawasan Subak Uma Desa. Selain tidak dibekali izin, pembangunan tersebut tampaknya menghalangi saluran irigasi di Subak Uma Desa.
Saya menemui Nengah Suwarya selaku Pekaseh (semacam kepala/ketua) Subak Uma Desa untuk berbincang terkait hal ini. Ia membenarkan kejadian tersebut. Kejadian ini memang tidak terjadi di kawasan Subak Uma Desa, tetapi mereka kena imbas karena saluran irigasinya mengalir sampai ke Subak Uma Desa.
Sebelum kejadian ini sampai ke telinga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, Suwarya sebenarnya telah tiga kali bertemu kontraktor bangunan tersebut bersama penyuluh Kuta Utara dan Pekaseh Subak Liplip. Saat itu Suwarya meminta agar kontraktor bangunan tersebut membuat saluran irigasi agar air dapat mengalir kembali ke Subak Uma Desa. Namun, kondisi tidak memungkinkan karena hujan datang terus menerus, akhirnya kontraktor tidak bisa menggarap saluran irigasi.
Kepala Desa yang tidak tahu menahu pertemuan Suwarya dengan kontraktor pun melaporkan hal ini kepada DPRD Provinsi Bali. Meski Suwarya memberikan kesan bahwa kedatangan DPRD Provinsi Bali tidak banyak menyelesaikan masalah, ia sedikit berharap bahwa kedatangan anggota dewan dapat memberikan efek jera kepada investor yang seenaknya.
Terhalangnya saluran irigasi akibat pembangunan di sekitar Subak Uma Desa tidak hanya terjadi sekali. Suwarya mengungkapkan awal dari permasalahan ini adalah adanya bangunan percontohan yang didirikan oleh salah satu anggota dewan. “Sebetulnya sebelum itu belum ada bangunan-bangunan permanen ini. Dia (salah satu anggota dewan) memberikan contoh membuat restoran di sana, sehingga masyarakat otomatis ikut mengikuti dia,” ungkap Suwarya ketika ditemui di kediamannya.
Awig-awig Subak Uma Desa menyebutkan bahwa dalam proyek pembangunan diwajibkan menyediakan ruang irigasi subak. Naasnya, pembangunan masif di sekitar Subak Uma Desa membuat saluran irigasi semakin menyempit.
“Sehingga tidak seperti dulu, sebetulnya dulu kan irigasi cukup lebar. Tiang (saya) sudah berkali-kali memberitahukan pemilik bahwa irigasi perlu berikan dia istilahnya semacam telajakan,” terang Suwarya. Telajakan bisa dibilang semacam jalan di tengah sawah. Adanya telajakan dapat mempermudah pembersihan saluran irigasi di sawah.
Suwarya mengaku telah memberitahu masyarakat, investor, maupun kontraktor terkait hal ini, tetapi mereka tidak menggubrisnya. “Dampaknya juga dia nanti yang akan kena di waktu hujan, pasti banjir,” ujar Suwarya dengan pasrah.
Ada satu kasus yang cukup membuatnya geram. Pada saat itu ada satu pemilik bangunan yang menutup saluran irigasi dengan pintu baja. Suwarya sudah memberitahu pemiliknya berkali-kali, tetapi tetap saja tidak digubris. Suwarya yang tidak bisa lagi menahan amarahnya langsung menghancurkan pintu baja tersebut.
“Saya dikatakan main hakim sendiri. Bukan saya main hakim sendiri, saya sudah beritahukan baik-baik kepada pemiliknya di sana. Karena kita wakil dari masyarakat kalau kita tidak tegas, otomatis dia akan semaunya,” imbuhnya.
Permasalahan saluran irigasi di subak juga terjadi di Kota Denpasar. Kejadian serupa terjadi di Denpasar, tepatnya di Subak Sembung, Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara. Subak Sembung merupakan subak terluas di Kota Denpasar dengan luas 115 hektare pada tahun 2017. Dilansir dari subakbali.org, dalam lima tahun terakhir terjadi alih fungsi lahan seluas 14 hektare.
Berbeda dengan Canggu, masalah irigasi di Subak Sembung disebabkan oleh aktivitas masyarakat di hulu yang membuang sampah sembarangan, sehingga menghambat aliran air. Satu-satunya jalan untuk mengatasi hal ini adalah menggilir masa tanam, sehingga petani tidak berebut air.
Selain masalah irigasi, Subak Sembung sempat mengalami masalah pembangunan liar di area subak. “Di timur dekat Pura mau dikavling, sudah ada pengukuran dan patok-patok,” ungkap I Wayan Winartha, pengurus Ekowisata Subak Sembung ketika ditemui di Subak Sembung.
Masyarakat pun melaporkannya karena pembangunan tersebut dilakukan di atas tanah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Akhirnya pembangunan dihentikan karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) turun ke lokasi. Sisa-sisa pembangunan tersebut masih terlihat di area Subak Sembung.
Untuk melindungi area Subak Sembung dari alih fungsi lahan, Winartha mengungkapkan tidak ada pembuatan jalan di area sekitar. “Karena nggak ada jalan berarti kan nggak ada akses masuk,” ungkap Winartha sembari tertawa.

Lain hal di Subak Uma Desa Canggu, Suwarya mengaku dirinya tidak punya hak untuk melarang dan memberikan izin pembangunan di sekitar kawasan subak. Namun, ia tak kehilangan akal. Ketika menjabat sebagai Pekaseh, ia menambah satu Pararem, yaitu aturan atau keputusan sebagai pelaksanaan awig-awig.
“Setiap investor yang mengontrak dan membeli tanah, kita kenakan dia biaya ke subak juga Rp250.000 per are,” ungkap Suwarya. Uang ini nantinya digunakan sebagai biaya pembersihan irigasi, perbaikan saluran yang jebol, dan biaya lainnya untuk keperluan subak.
Secara nasional, awig-awig mungkin tidak memiliki banyak kekuatan. Namun, setidaknya hukum adat ini telah diakui dalam Pergub. Sudah seharusnya siapa pun yang datang untuk berkunjung maupun menetap menaati aturan tersebut, bukan malah semena-mena dan semaunya. Awig-awig mungkin menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan Bali dari investor yang kian berdatangan untuk menggali keuntungan.
vanujacoffee.com