Teks Luh De Suriyani
Sedikitnya seribu warga mengikuti prosesi gema perdamaian, Senin malam di Lapangan Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Renon, Denpasar.
Mereka mengarak ratusan meter kain putih sambil berkeliling lapangan. Ribuan orang ini berasal dari latar belakang suku, etnis, dan agama yang berbeda. Untuk memperlihatkan kuatnya toleransi dan keberagaman di Bali pasca peristiwa bom hebat di Kuta tujuh tahun lalu.
Barisan manusia sepanjang lebih dari 500 meter ini diawali dengan barisan penari Rejang anak-anak, lalu iringan kain putih simbol kedamaian. Kain diarak oleh sejumlah kelompok keyakinan seperti Hare Krisna, umat Muslim, Kristen, Budha, dan lainnya.
Barisan berikut adalah belasan pemuka lintas agama yang menyerukan doa-doa. Selanjutnya pengarak patung garuda pancasila, lambang negara kesatuan Republik Indonesia, dan pengarak bendera merah putih.
Simpatisan Hare Krisna menendangkan puji-pujian, sementara di bagian lain bunyi gong beleganjur bertalu-talu.
“Kami ingin menunjukkan bahwa kami tidak menunjukkan feodalisme tapi toleransi antar umat beragama. Itu dasar dari kemanusiaan,” ujar Supriyono, laki-laki 65 tahun, pendiri Paguyuban Ngeksigondo Yogyakarta di Bali.
Supriyono dan belasan rekannya memakai surjan, pakaian seperti beskap hijau khas keraton dan blangkon sebaga penutup kepala. Sebilah keris terselip di kain mereka.
I Wayan Yasa, Sekretaris Daerah Provinsi Bali mewakili Gubernur Bali mengatakan pemerintah daerah ingin menegakkan nilai kemanusiaan melalui kehidupan multikultur yang harmonis.
“Semua etnis bisa hidup damai di Bali. Kami ingin terus memupuk toleransi,” ujarnya ketika pidato sambutan.
Sementara I Nyoman Baskara, Ketua Panitia Gema Perdamaian tahun mengingatkan pemerintah soal sejumlah fakta ketimpangan sosial yang bisa mengancam keharmonisan di Bali.
“Faktanya di Bali ada berbagai bentuk ketidakharmonisan seperti kasus tapal batas, perselisihan warga. Jurang pemisah kelompok kaya dan marginal masih lebar. Jerit kehidupan petani dan buruh masih terdengar seperti di Karangasem, Buleleng, dan Bangli,” paparnya di depan ribuan pengunjung Bajra Sandhi.
Ia minta pemerintah membuat kebijakan dan program strategis untuk Bali. Misalnya konsorsium untuk perlindungan petani dan konsosrsium pengelolaan corporate social responsibility (CSR) untuk warga miskin.
“Presiden SBY juga harus mampu menjaga kehidupan multikultur di Indonesia,” pinta Baskara yang juga Kepala BIdang SDM Bali Tourism Board ini. [b]