Sumber: http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/9/25/b9hl.htm
Kembali ”Mabanjar”, Bayar Rp 200 juta
Seorang Warga Kedunggu ”Kasepekang” …
Seorang warga Kedunggu, I Ketut Riteg alias Pan Sini (65), dikeluarkan (kasepekang) dari banjar, gara-gara persoalan sepele yakni menggantung kursi plastik dekat Padmasana Bale Banjar Kedunggu.
Kalau ingin mabanjar kembali, diputuskan ia harus membayar Rp 200 juta selama dua tahun. Selain itu, ia harus berhadapan dengan hukum, karena dilaporkan telah menodai tempat suci. Warga lain juga dilarang untuk berkomunikasi dengan keluarganya. Jika ketahuan didenda Rp 500 ribu.
Kapolsektif Kediri AKP IB Swastika seizin Kapolres Tabanan AKBP Rudolf Alberth Rodja Senin (24/9) kemarin, menyatakan sejauh ini pihaknya menangani kasus hukumnya setelah adanya laporan dari warga. Dinyatakannya, kasus ini berawal 21 Juli lalu. Saat itu, warga menemukan ada sebuah kursi plastik tergantung di belakang padmasana. Setelah diselidiki, hal itu dilakukan Pan Sini. Dia bisa dijerat dengan pasal 177 KUHP tentang penodaan tempat suci dengan ancaman 4 bulan 7 hari penjara.
Kejadian ini membuat warga Kedunggu marah. Mereka rapat 5 Agustus lalu dan memutuskan Riteg dan seluruh keluarganya kasepekang atau harus keluar Banjar. Pihak kepolisian dan Pemda, kata Swastika, melakukan mediasi dan pendekatan terkait kasus tersebut. Warga kembali menggelar rapat pada 21 September lalu, diputuskan Riteg dan keluarga bisa tetap tinggal di banjar itu dengan syarat harus membayar denda Rp 200 juta, selama dua tahun. Setelah dua tahun tersebut, ia dapat diterima kembali mabanjar. Selain itu ditetapkan warga tidak boleh berkomunikasi dengan Riteg dan keluarganya. Jika ada warga yang ketahuan berkomunikasi maka akan dikenai denda Rp 500 ribu. Jika dalam dua tahun Riteg tidak mampu membayar, maka harus keluar dari banjar Kedunggu.
Namun sayangnya kata Kapolsek, Riteg yang diwakili anaknya mengaku tidak sanggup membayar. Dia mengaku hanya memiliki uang Rp 10 juta. Untuk sementara Riteg harus mengungsi di rumah anaknya di Canggu, Kuta Utara. Pihak kepolisian kata Swastika hanya menangani kasus hukum seperti laporan warga tersebut.
Sementara itu, kata Kapolsek, persoalan ini muncul diduga karena persoalan lama. Tanah tempat balai banjar itu berdiri diklaim milik Pan Riteg. Terkait penempatan kursi di dekat padmasana, Riteg mengaku tidak punya motif apa pun. (upi)
itu di kedungu yg mau ke tanah lot kan ya..
Salah satu artikel yang hanya menunjukkan ketidakdewasaan masyarakat adat Bali. Aku gak tau ini bener atau tidak. Tapi kalo ini adalah fakta, aku hanya sedih mendengar kemunduran cara berpikir masyarakat adat. Bukannya konsep ketuhanan itu seharusnya membuat hubungan antar manusia jadi harmoni?? Jangan merendahkan Tuhan dengan menghukum orang yang kita anggap sengaja menodai tempat suci. Apa Tuhan sebegitu pemarah?
Aku pikir sih, masyarakat seperti ini seharusnya malu. karena mungkin volume otak dan hati mereka mengecil. Kalo mau maju ya belajar, kalo iri ya jangan dibesar2kan, kalo orang minta maaf ya dimaafkan. Jangan sampai niat melindungi tempat suci malah membuat hati kita jadi kotor. bukankah yang penting itu tidak membuat orang lain sengsara??
Think it again……
sependapat dengan Rama.
^_^