Membangun itu memang memabukkan.
Lihatlah bagaimana papan iklan kredit perumahan rakyat (KPR) bertaburan di televisi, sosial media, koran bahkan pada papan reklame di pinggir jalan. Selebaran menempel di tembok-tembok pemukiman urban bahkan pedesaan pun tak luput dari mabuk membangun.
Demikianlah yang terjadi. Kita disuguhi segala yang bombastis. Rumah beton berkamar dua. Berbaris dari satu beton ke beton lain. Gedung-gedung pencakar langit tanda kemajuan suatu bangsa. Pusat perbelanjaan baru yang menjamur bahkan hingga ke pinggir kota. Ini belum berakhir. Bandara baru di setiap kota seolah-olah semua mampu membeli tiket pesawat yang mencekik. Jalan raya aspal yang membelah bukit. Dan, segala simbol kemajuan yang membuat kita semua mabuk.
Sebagai perempuan muda yang baru masuk usia 30 tahun dan tengah melanjutkan pendidikan spesialisasi, saya sering berpikir, “Apakah saya sanggup mengikuti laju yang memabukkan ini?”.
Marilah kita berhitung dengan jujur. Anak muda sekarang terbeban dengan cicilan bulanan KPR, cicilan roda empat, di luar biaya makan sehari-hari, biaya listrik dan air yang setiap tahun naik. Ditambah biaya asuransi kesehatan yang selalu naik di penghujung tahun, plus biaya tuntutan zaman yakni biaya nongkrong di kedai kopi gaul. Untuk saya yang tengah bersekolah, ini cukup mencekik leher dan juga pinggang.
Perasaan cemas ini adalah hantu-hantu di era modern. Kecemasan yang tebal dan menggelayut di setiap pikiran anak muda. Tentang masa depan di mana kita tak lagi berdaulat akan hajat hidup kita sendiri yakni rumah dan rasa tenang.
Sabtu sore itu, di Yogyakarta yang hiruk pikuk dengan cuaca yang panas membakar kulit dan membikin keringat mengalir dari setiap lipatan kulit, aduh teriknya. Kami melewati gang- gang sempit di tengah kampung Jogoyudan, sebuah kampung di pinggir kali Code.
Rumah-rumah kecil berdempetan tanpa jeda. Halaman rumah yang dijadikan jalan gang. Penduduk yang duduk bercengkerama di tepi jalan gang. Kendaraan yang melaju pelan karena takut menelan anak-anak yang sedang berlarian di tengah kampung.
Sementara kontras dari semua pemandangan sempit itu, desa ini dikelilingi hotel-hotel tinggi menjulang memecah langit kota. Sekilas hotel-hotel itu seperti benteng perang, kokoh sombong dan teguh menutup pemukiman ini. Tentu hotel-hotel itu bukan benteng pelindung. Sebaliknya hotel-hotel tersebut menutup udara dan angin. Hasilnya desa yang kecil semakin sempit, pengap dan panas.
Dari dalam kendaraan, kami memandang kaget tak percaya bahwa pemandangan begini terasa nyata di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota bersahaja.
Menuruni anak tangga, berjalan pelan di tengah desa, dalam rasa kaget itu, kami berdecak kagum betapa bersihnya desa Jogoyudan. Tanaman-tanaman kecil dalam pot berjejer rapi meski terdesak. Sulit menemukan sampah dan ada sebuah sumur dengan kerekan ember di tengah desa. Saat melihat sumur ini, saya seperti kembali ke masa kecil.
Di sebuah ruang terbuka desa Jogoyudan, berdiri sebuah hotel bernama Purgatorio. Sebuah hotel yang didirikan dengan bambu. Bambu-bambu dirakit sedemikian teliti menjadi sebuah ruang menatap kota yang sibuk. Memandang tembok-tembok pembangunan yang saling beradu menghimpit pemukiman penduduk.
Di bawah hotel, sebuah layar putih dikembangkan, proyektor dinyalakan, para penonton dan masyarakat duduk saling membaur. Pemutaran film Berdaulat siap dilaksanakan.
Tak Bisa Terlelap
Jujur saja, saya tidak cakap mengenai sinematografi atau apapun dalam dunia kamera dan gambar. Saya rasa, kita tak perlu cakap untuk bisa menyampaikan perasaan kita akan sebuah karya. Film Berdaulat adalah buah karya Hadhi Kusuma & Ngurah Termana, dua anak muda kakak beradik yang resah, gelisah dan gemas tentang gejolak mabuk membangun. Menceritakan tentang pembangunan yang menghardik beberapa anak manusia.
Seorang Ayah yang tak bisa terlelap saat harus tidur di apartemen. Sederhana, ia tak bisa tidur karena ia merindukan suara penduduk desa memukul tiang tengah malam. Film ini juga bertutur tentang perempuan yang menjadi korban KPR. Tentang perempuan yang di tengah lilitan KPR berhasil menemukan cara memiliki rumah tanpa KPR. Perempuan yang akhirnya menemukan bahwa dunia bangun membangun juga memberikan banyak kegunaan dan keasyikan pada perempuan.
Film ini juga berkisah tentang komunitas bambu dan perjuangan penduduk Kendeng menolak pembangunan pabrik semen hingga menewaskan seorang warga perempuan. Juga bagaimana penduduk desa membangun mimpi dari fragmen-fragmen harapan dalam bentuk sebuah musholla untuk mengenang perjuangan seorang ibu menolak kerusakan tanah dan bumi pegunungan Kendeng.
Namun, ada sesuatu yang lebih dalam daripada sebuah cerita di sini. Sesuatu yang membuat perasaan nostalgia dan senang tumbuh merayap pelan memenuhi setiap indera saya. Perasaan penuh asa.
Telah saya sebutkan sebelumnya, sebelum menonton film ini, saya kerap mempertanyakan kemampuan saya untuk memiliki rumah idaman. Mungkin kalian akan merasa, reaksi saya berlebihan, apakah film ini sedemikiannya hingga mampu melahirkan harapan? Saya jawab, iya, film ini mampu menabur harap itu.
Film ini bercerita tentang metode Ugahari, sebuah kata dari bahasa Sansekerta. Kata ini mempunyai makna yang bersajaha, cukup, kesederhanaan, ada banyak tidak lebih-tidak kurang. Makna yang indah yang tentu saja mengandung nilai filosofis tak sesederhana itu. Film ini menuturkan tentang terkikisnya relasi kita sebagai manusia dengan bangunan dan alam.
Film ini menuturkan pengalaman terhanyut dalam pesona membangun dan kembali menemukan bentuk sebuah relasi yang sederhana antara keinginan membangun dan tak merusak tatanan alam. Saat menonton film ini, saya merasa rindu, rindu cerita tentang sebuah rumah kayu di tepi danau toba milik leluhur saya.
Angin Yogyakarta sore itu menerbangkan kembali diri ini ke serpihan kenangan bersama ayah. Bayangkanlah sebuah rumah kayu dengan dua buah kamar tidur, berlantaikan papan yang kokoh, sebuah anak tangga memisahkan ruang keluarga yang hanya berisi lemari tempat sekumpulan foto leluhur, tikar yang membentang tempat keluarga duduk bercerita. Anak tangga memisahkan ruang utama ini dengan dapur, dapur yang tak terlalu besar dan beberapa jendela tempat angin hilir mudik.
Merindu yang Seimbang
Sewaktu masih sekolah dasar, Ayah kerap bercerita bagaimana dia setiap liburan sekolah akan berlibur ke rumah kayu itu bersama kakeknya. Mereka akan berenang di Danau Toba yang tepat berada di halaman belakang rumah kayu tersebut.
Pada kedua sisi rumah kayu tersebut, banyak kandang peliharaan, tanaman untuk bumbu memasak, pohon cengkih hingga banyak jenis pohon-pohon yang melingkari rumah kayu tersebut. Sementara kerbau merobek rumput-rumput kecil di tepi danau, kakek akan mengajak ayah mendaki bukit-bukit yang berdiri anggun di bagian depan rumah. Kakek dan para cucunya berjalan melewati kebun kopi, kebun jagung hingga sekumpulan ladang serai dan bawang menuju pemakaman leluhur.
Ayah selalu bercerita tentang danau, sawah, ladang, makam leluhur dan suara tetua yang menuntun mereka ke puncak bukit dan melihat danau dari puncak. Saya ingat betul wajah ayah saat menceritrakan ini, ia rindu, merindu segala yang teduh dan seimbang.
Film berdaulat berhasil membangkitkan ingatan ini, sebuah ingatan yang terletak jauh di dasar kepala, tersimpan kalah oleh rasa cemas akibat zaman yang menggilai pembangunan. Duduk di sebelah saya seorang teman, yang sesekali menguap karena angin sore yang semilir.
Sebelum film usai, kami bercerita penuh semangat tentang mimpi dan rumah idaman.
Yang kami sadari ternyata kami tidak membutuhkan banyak hal. Kami tidak menginginkan rumah mewah dengan pintu ala kekaisaran, berlantai marmer berkilau yang membuat lalat pun terbang tergelincir.
Kami hanya mengingingkan sebuah rumah yang mencukupkan, dikelilingi pepohonan, bunga-bunga berkelompok, bilik memasak yang sejuk menghadap sekelompok tanaman bumbu memasak dan suara sekelompok binatang menjadi lagu pengiring hari.
Film Berdaulat bercerita tentang kesadaran kolektif hingga individual dalam membangun. Kesadaran untuk menjaga harmonisasi dengan alam sekitar, tanah, tumbuhan bahkan serangga yang merayap di ranting-ranting dan burung-burung di dahan pepohonan.
Film Berdaulat bercerita tentang hubungan penuh keseimbangan antara kita semua mahluk penghuni semesta. Sebuah relasi yang saling mencukupkan. Tanpa beton berlebih. Tanpa kabel listrik yang menggulung kusut di tiang-tiang dan tanpa cahaya listrik yang menyala tanpa berhenti.
Film ini mengajak kita, sebagai generasi muda untuk belajar mengenali setiap “cukup”. Mengajak kita untuk percaya bahwa setiap kita tak perlu cemas akan atap rumah idaman, baik kayu hingga atap dapat kita kumpulkan secara perlahan, karena hakikatnya setiap bangunan tidak melulu tentang desain megah melainkan sebuah proses hidup itu sendiri.
Setiap bangunan yang berdiri adalah saksi setiap peristiwa hidup kita. Saat kita menangis tersedu di balik kamar mandi. Saat kita menarik napas menahan amarah di sekitar sofa. Saat kita diam-diam menatap foto kekasih di meja makan.
Sebuah rumah adalah saksi, tempat yang tidak hanya melindungi melainkan juga menghidupi setiap kenangan. [b]