Empat desa di Bali membuat jaringan wisata berkelanjutan.
Selain berharap bisa turut menikmati manisnya kue pariwisata, mereka juga berusaha tetap melestarikan lingkungan dari eksploitasi demi pariwisata. Meskipun demikian, mereka masih menghadapi banyak tantangan.
Desa-desa yang tergabung dalam Jaringan Ekowisata Desa (JED) tersebut adalah Tenganan dan Sibetan di Kabupaten Karangasem, Plaga di Kabupaten Badung, dan Nusa Ceningan di Kabupaten Klungkung.
Sejak 2002 silam, keempat desa tersebut mengelola ekowisata yang tak hanya bisa menjadi alternatif dari pariwisata massal tapi juga upaya menyelamatkan lingkungan pulau ini.
Sebagai usaha pariwisata, JED dikoordinir dari kantor mereka di Kerobokan, Kuta Utara. Ada manajemen profesional untuk mengelola JED tersebut.
Manajer JED, Gede Astana Jaya mengatakan, JED berawal dari kegelisahan terhadap pariwisata massal di Bali yang cenderung merugikan lingkungan. Misalnya penggunaan air berlebihan, eksploitasi pantai, alih fungsi lahan pertanian, dan seterusnya.
Secara umum, warga desa-desa tersebut hanya menjadi penonton pariwisata di desanya. Tenganan salah satu contohnya. Meskipun tiap hari ada turis ke desa tua ini, namun tak banyak pemasukan untuk desa tersebut.
Karena itulah pada 2002, desa-desa tersebut didampingi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Yayasan Wisnu mendeklarasikan JED sebagai alternatif dari pariwisata massal di Bali.
“Pemilik JED ini adalah warga desa seperti kami. Sejak awal kami bersama Yayasan Wisnu yang merencanakan dan kemudian melaksanakan ekowisata desa,” kata I Nyoman Sujana, warga Banjar Dukuh, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem.
Pengaturan ruang
Perencanaan tersebut, menurut Sujana, termasuk membuat peta dan tata ruang desa. Dengan cara itu, warga desa bisa membuat zonasi, bagian mana di desanya yang boleh untuk pariwisata dan bagian mana yang tidak. Papan itu kemudian ditempel di desa sebagai panduan warga termasuk keperluan pariwisata.
Di Banjar Dukuh, misalnya, terdapat sekitar 150 hektar lahan dengan 90 persen di antaranya merupakan kebun salak. Kebun-kebun salak itulah yang menjadi daya tarik utama turis di desa berjarak sekitar 70 km dari Denpasar tersebut.
Dalam pariwisata berkelanjutan ala ekowisata ini, para turis diajak menikmati apa yang sudah ada di desa masing-masing. Sebagai gambaran, Plaga terkenal dengan kopi organiknya, Tenganan terkenal sebagai desa tua atau Bali Aga, sedangkan Nusa Ceningan terkenal dengan wisata pantainya. Komoditas-komoditas itulah objek utama ekowisata di masing-masing desa.
Menurut Sujana, ekowisata merupakan usaha pariwisata untuk melestarikan dan menyelamatkan lingkungan di Bali. Dia menambahkan dalam pariwisata massal, banyak terjadi alih fungsi lahan. Misalnya kebun atau sawah berganti jadi hotel dan vila. Kepemilikan lahan pun berpindah tangan.
“Dalam ekowisata, kita tidak boleh melakukan itu. Banyak hal harus diikuti seperti tidak boleh membangun hotel di kawasan tertentu, menggunakan alam yang ada, serta tidak mengejar keuntungan semata,” katanya.
Karena itulah di empat desa yang tergabung dalam JED ada aturan bahwa warga lokal tidak boleh menjual tanah kepada pihak lain. Dengan cara itu, mereka berusaha agar anak cucu mereka tidak akan tergusur dari desanya sendiri.
Bagi masa depan
Manajer JED Gede Astana Jaya menyatakan ekowisata sangat penting bagi masa depan serta keberlangsungan lingkungan dan budaya Bali. Ekowisata memberikan manfaat secara ekonomi dengan pendekatan keberlangsungan (sustainable) terhadap alam dan budaya.
“Kalau saja para investor mau mengelola usaha dalam koridor ekowisata, niscaya kita akan maju bersama-sama dan tidak akan ada yang namanya laut harus direklamasi,” ujar Gede menyindir rencana reklamasi di Teluk Benoa.
Gede melanjutkan lingkungan merupakan salah satu aspek penting dalam prinsip ekowisata selain komunitas, pendidikan, dan budaya. Karena itu, dalam ekowisata semua harus berimbang. Misalnya keterlibatan petani untuk memetakan, merencanakan, melaksanakan, hingga mengevaluasi ekowisata.
Demi alasan lingkungan pula, maka desa-desa tersebut membatasi jumlah turis yang berkunjung. Tiap satu lokasi tidak boleh lebih dari 10 orang tiap hari. “Tujuannya agar aktivitas pariwisata tidak sampai merusak lingkungan yang dikunjungi,” tambah Gede.
Dalam ekowisata, pelakunya juga para warga sendiri termasuk mereka yang bekerja sebagai petani. Hal ini agar aktivitas pariwisata tidak membuat petani melupakan pertanian. Maka kegiatan turis ketika berkunjung ke desa tersebut adalah dengan terlibat langsung dalam kegiatan pertanian, seperti melihat proses produksi wine salak di Sibetan, memetik kopi di Pelaga, atau memanen rumput laut di Nusa Ceningan.
Masih samar-samar
Setelah berjalan selama sekitar 13 tahun, bisa dikatakan program JED ini masih samar-samar terdengar di antara gemerlap pariwisata di Bali. Sebagai contoh jumlah turis tiap tahun masih fluktuatif. Lima tahun terakhir masih naik turun dari 325 wisatawan pada 2010, 329 pada 2011, 444 pada 2012, 438 pada 2013, dan 360 pada tahun lalu.
Jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan total turis berkunjung ke Bali pada 2014 lalu yang mencapai hampir 3,5 juta.
Selain dari jumlah, menurut Gede, juga belum ada perhatian dan dukungan dari pelaku industri pariwisata di Bali. Seharusnya, Gede melanjutkan, ada kolaborasi antara industri pariwisata terhadap ekowisata ini.
“Saya kira hasil sejauh ini masih belum signifikan karena orang-orang yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan ekowisata belum masif. Kita di JED sudah dari tahun 2002 sampai sekarang masih terasa bergerak sendiri,” ujarnya.
Tantangan paling sulit adalah mengubah pola pikir dan pengorbanan waktu untuk mengembangkan ekowisata itu sendiri. “Seharusnya para pemangku kebijakan, para pelaku pariwasata yang sudah mengeruk keuntungan di Bali dan masyarakat Bali memiliki visi dan tujuan sama bagaimana kita mengelola pulau kecil ini bisa sustainable in any way,” Gede menyarankan.
Gede memberikan contoh. Hotel-hotel besar di Bali seharusnya mendampingi ekowisata desa, misalnya lewat dana tanggung jawab sosial. Hotel-hotel besar bisa memasarkan ekowisata desa sehingga budaya dan pelestarian alam desa tersebut menjadi hidup untuk menujang aktivitas ekowista desa tersebut.
Menurut Gede, ekowisata di Bali sebenarnya sangat prospektif. “Itu semua karena kita memiliki potensi besar sekali baik berupa potensi alam, budaya, dan lainnya,” kata Gede.
Potensi-potensi itu, Gede melanjutkan, masih banyak yang belum dilirik dan dikemas untuk dikembangkan. “Mungkin karena pola pikir orang susah berubah dari pola pikir pariwisata massal sehingga mau menginvestasikan waktunya untuk mengembangkan ekowisata yang membutuhkan kesabaran,” ujar Gede.
Ketika perhatian dari industri pariwisata di Bali masih kecil, pelaku-pelaku ekowisata di Bali seperti Sujana dan Gede tetap optimis. Mereka merasakan bahwa warga desa pun bisa menjadi tuan rumah bagi pariwisata di Bali.
“Kami tidak bisa memastikan apa hasil terbesar ekowisata saat ini. Tetapi bagi kami, ekowisata menyadarkan kami bahwa bahwa jika potensi desa dikelola dengan baik, maka bisa menguntungkan meskipun jauh di desa,” kata Gede. [b]