
Hujan deras pada Rabu, 10 September 2025 merendam kawasan persawahan di Subak Intaran selama 1 hingga 2 hari. Ini menjadi pukulan berat bagi penggarap lahan yang baru saja menanam bibit semangka. Bibit yang baru bertunas itu sudah mati seketika. Perih, kini dengan tertatih para penggarap lahan memulai kembali menabur benih satu per satu.
“Para pedagang Pasar Badung kan wirausaha, kenapa mereka mendapat ganti rugi, sedangkan kami para petani ndak dapat apa,” keluh Wayan Dina, Sekretaris Subak Intaran yang kami temui di areal Jogging Track Prapat Beris pada Sabtu, 13 September 2025 tentang ketiadaan perhatian yang diterima oleh petani pasca banjir di area Subak Intaran.
Keluhan ini mencerminkan posisi petani yang makin terpinggirkan di tengah perubahan sangat cepat Kota Denpasar. Dalam 30 tahun terakhir, ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Denpasar telah berkurang hingga 75.17%. Kini Kota Denpasar baru merealisasikan 405 hektar RTH, meliputi taman kota, jalur hijau, hingga area pemakaman. Subak Intaran kini hanya bersisa 90 hektar yang digarap oleh 117 orang petani, hanya 6% dari kawasan pertanian di Kota Denpasar.
Di tengah tekanan itu, ekowisata muncul sebagai secercah harapan. Wayan Dina menyatakan bahwa saat ini mereka sedang mempersiapkan fasilitas pendukung agar kawasan Subak Intaran sebagai obyek wisata yang diharapkan dapat menghentikan alih fungsi lahan. “Saat ini sudah dimulai dengan pemasangan solar panel untuk mendukung penerangan di jogging track, ke depannya akan disiapkan fasilitas parkir hingga toilet,” tutur Wayan Dina menggebu-gebu.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari I Wayan Hendrawan yang bercerita bahwa pembangunan cafe dan galeri seni di lahan miliknya bertujuan sebagai fasilitas pendukung kawasan Subak Intaran sebagai destinasi wisata. Selain itu, ia berharap galeri seninya dapat menjadi ruang eksplorasi seni bagi pemuda di Desa Adat Intaran. Nantinya pengunjung Jogging Track Prapat Beris bisa ngopi atau sekadar sarapan sambil menikmati pemandangan sebelum atau sesudah jogging. “Kalau nanti sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata, maka pembangunan perumahan akan berhenti karena pemilik lahan mengerti bahwa lahannya dijadikan destinasi wisata,” tambahnya optimis.
Namun, benarkah ketika kawasan pertanian ditetapkan sebagai obyek wisata bisa menahan laju alih fungsi lahan?
Pemerintah Kota Denpasar sebenarnya telah memberi payung hukum. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 8 tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar tahun 2021-2041 Pasal 53 mengatur pewujudan struktur ruang wilayah kota di kawasan pertanian dapat meliputi pengembangan program peningkatan nilai tambah pertanian melalui ekowisata dan rekreasi. Lebih lanjut, pasal 72 mengatur bahwa dalam kawasan pertanian hanya diperbolehkan membangun fasilitas penunjang pariwisata secara terbatas dengan konsep agrowisata. Namun, dijelaskan juga bahwa dilarang untuk membangun perumahan atau peruntukan usaha penyediaan akomodasi. Harapannya, lahan pertanian tetap lestari sambil mendatangkan pemasukan baru.
Pengalaman serupa sudah lebih dulu dilakukan di subak lain yang telah bertransformasi sebagai ekowisata. Misalnya, pada 2019, Desa Kesiman Kertalangu telah mengukuhkan wisata edukasi TeBA Majalangu lewat Peraturan Perbekel Desa Kesiman Kertalangu Nomor 7 Tahun 2019 tentang Wisata Edukasi Subak TeBA Majalangu. Wisata edukasi ini terletak di kawasan Desa Budaya Kertalangu yang merupakan bagian dari Subak Padanggalak seluas 80 hektar. Peraturan ini mengatur jenis-jenis penunjang wisata, meliputi kandang kelinci, kandang sapi, kandang bebek, kandang kambing, tempat pertemuan, alat-alat membajak tanah, dapur tradisional, hingga tanaman palawija, padi, pisang, terong, kangkung, umbi-umbian, serta tanaman lainnya. Selain itu, diatur juga agar bangunan penunjang kawasan tersebut tidak bertingkat serta mencerminkan arsitektur tradisional Bali.
Pada tahun 2021, pemerintah Desa Kesiman Kertalangu mengontrak tanah selama 10 tahun hingga 2032 seluas 1.000 meter persegi yang dimanfaatkan untuk penunjang wisata edukasi subak TeBA Majalangu (parkir). Kini, selain fasilitas penunjang yang terdapat dalam peraturan perbekel, di kawasan TeBA Majalangu telah terbangun juga restoran dan wantilan. Ketika ditanya apakah pembangunan tersebut tidak mengancam jumlah lahan sawah, I Made Semara Pura selaku manajer TeBA Majalangu menyatakan bahwa masih banyak lahan yang belum terbangun dari jatah pembangunan yang diberikan.
“Karena masih berlokasi di sawah, TeBA Majalangu masih aman dari banjir meski hujan deras turun di Kota Denpasar,” ungkap I Made Semara Pura ketika dihubungi pada Jumat, 19 September 2025. Hal ini cukup kontras dengan situasi yang terjadi di Subak Intaran.
Penuturan senada juga datang dari I Wayan Darayasa, Pekaseh Subak Sembung. “Sudah 2 bulan sejak nandur padi. Syukurnya kemarin pas hujan deras di sini masih aman. Ndak ada banjir,” cerita I Wayan Darayasa ketika dihubungi via telepon pada Jumat, 19 September 2025. Hal ini sekaligus memperkuat pernyataan tentang pentingnya kawasan pertanian sebagai area resapan di ruang terbuka hijau.
I Wayan Darayasa mengatakan ketika subak dijadikan ekowisata tidak hanya tentang jogging track, melainkan sawah dijadikan pemandangan yang menjadi daya tarik pendukung agar orang mau berkunjung. Beberapa waktu lalu bersama pengelola ekowisata Uma Palak Lestari Subak Sembung melakukan pertemuan yang menyepakati adanya skema sewa lahan yang digunakan sebagai lintasan jogging track.
“Sementara, ini dulu yang bisa kami lakukan. Karena belum ada tiket masuk, dananya diambil dari karcis parkir yang masuk,” kata Darayasa.
Dalam keterbatasan dana yang dimiliki pengelola, upaya ini dilakukan untuk menjaga pemilik lahan di Subak Sembung agar tidak tergoda mengaveling tanahnya.
“Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk memastikan mana saja area terbuka hijau di wilayah kami, tetapi belum ada respons,” tambah Darayasa.
Meski demikian, menurut Darayasa, pemerintah masih memberikan perhatian ke Subak Sembung dengan memperbaiki paving di jogging track. Namun, belum ada aksi serius dari pemerintah dalam mencegah alih fungsi lahan. Sejak tahun 2014, Subak Sembung telah mempunyai awig-awig yang memperbolehkan pemilik lahan untuk menjual lahannya, tetapi pembeli harus meneruskan lahan yang dibelinya sebagai lahan pertanian.
Pengalaman dari Teba Majalangu dan Subak Sembung menunjukkan pola yang sama. Menjadikan subak sebagai destinasi wisata mungkin bisa membantu menahan alih fungsi lahan, tetapi tidak akan cukup. Sawah memang masih ada, pengunjung tetap datang, tetapi pembangunan tidak berhenti.
Tanpa insentif nyata bagi petani penggarap lahan dan pemilik lahan serta kepastian hukum tata ruang, ekowisata hanya akan menunda laju alih fungsi lahan, bukan menghentikannya. Masa depan Subak Intaran bukan ditentukan oleh jumlah kafe, galeri seni, atau jogging track, melainkan oleh sejauh mana masyarakat dan pemerintah benar-benar menempatkan pertanian sebagai prioritas, sebagai salah satu kawasan ruang terbuka hijau.
Masa depan Subak Intaran tidak bisa hanya bertopang dengan harapan pada ekowisata. Tanpa keberpihakan, pemilik lahan di Subak Intaran akan tetap kalah oleh tekanan alih fungsi lahan. Sebagai masyarakat pun, kita perlu sadar bahwa subak bukan hanya sekadar destinasi, melainkan penopang pangan dan lingkungan.
(Salah satu karya peserta Kelas Jurnalisme Warga Desa Adat Intaran)
cerutu4d cerutu4d