Dulunya, air adalah nama “agama” di Bali. Sejalan dengan program “Sedulur Air”, Bentara Budaya Bali (BBB) akan menggelar penayangan film Bali 1928 dan dialog. Acara yang terangkum dalam Bali Tempo Doeloe #16 ini akan berlangsung Selasa besok (14/3) di BBB, Ketewel, Gianyar.
Mulainya pukul 19.00 WITA.
Merujuk tajuk “Air: Harmoni Bumi dan Diri”, acara kali ini mengetengahkan perbincangan seputar Air sebagai bagian dari memori kultaral masyakarat Bali, berikut upaya-upaya pemuliaan dan konservasinya kini.
Tampil sebagai narasumber Koordinator Arsip Bali 1928 Marlowe M. Bandem dan Dosen Jurusan Biologi Universitas Udayana Deny Suhernawan Yusup.
Selain sebagai sumber kehidupan, masyarakat Bali memaknai air sebagai simbol penyucian dan pembersihan. Tirtha atau Air Suci merupakan sarana pokok dalam pelaksanaan kegiatan dan upacara di Bali. Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat Bali juga melakukan ritual melukat guna menyucikan jiwa-raga di sumber-sumber mata air, seperti laut, sungai atau pancuran.
Bahkan, tinggalan arkeologis dan jejak historis di DAS Pakerisan serta Petanu mencerminkan kepercayaan masyarakat Bali yang pada beberapa teks lontar sering disebut agama Tirtha, di mana air merupakan unsur penting dalam setiap ritual upacara dan agama. Tercermin pada sejumlah candi yang dapat ditemui di seputar lokasi semisal Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan, dan Candi Jukut Paku.
Di tengah upaya memuliakan Air, kita juga mendapati kenyataan betapa air telah dianggap seperti komoditi dengan wacana sosio-ekonomi yang menyertainya. Misal debit air bersih di perkotaan, pencemaran di hulu maupun muara, abrasi kawasan pesisir, dan sebagainya.
Penghormatan kita terhadap air, sang sedulur yang menghidupi manusia dan makhluk lainnya, diuji oleh arus perubahan yang membutuhkan sikap konkret atas upaya-upaya pelestariannya.
Penayangan film Bali 1928 ini didukung oleh STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural Traditions. Menurut Marlowe Bandem yang juga Koordinator Arsip Bali 1928 di Indonesia, kali ini akan diputar cuplikan-cuplikan rekaman bersejarah Bali masa tahun 1930-an.
Gambar-gambar tersebut bersumber dari film-film Colin Mcphee, Miguel Covarrubias, Rolf de Mare dan Jane Belo yang merupakan hasil repatriasi Arsip Bali 1928.
“Terangkum dalam cuplikan-cuplikan film tersebut pelbagai panorama alam dan upacara keagamaan Hindu Dharma yang merupakan ‘perayaan’ akan dimensi Air di Bali. Termasuk juga cuplikan ‘kawi agung’ Bali, Ida Pedanda Made Sidemen yang melakukan prosesi Nyurya Sewana,” ungkap Marlowe Bandem.
Bali Tempo Doeloe adalah agenda yang memutar seri-seri dokumenter tentang Bali Tempo Doeloe, dipadukan dengan diskusi bersama para pengamat dan pemerhati budaya, dalam memaknai perubahan kondisi Bali dari masa ke masa. D
ialog berkala dan berkelanjutan yang telah digelar sedari tahun 2013 ini tidak hanya mengetengahkan sisi eksotika dari Bali masa silam, melainkan juga menyoroti problematik yang menyertai pulau ini selama aneka kurun waktu, termasuk kemungkinan refleksinya bagi masa depan.
Beberapa tema yang pernah dihadirkan dalam program ini antara lain: “Denpasar Dalam Tantangan Zaman”, “THE GODS OF BALI: Antara Ritual Sakral Dan Pertunjukan Profan”, “Gema Gamelan Bali ke Masa Depan”, “Citra Dalam Sinema”, “Rudolf Bonnet dan Arie Smit: Cerita Seni Rupa Bali”, “Mistis dan Turistik Bersisian di Nusa Penida”, “Bioantropologi: Tenganan Pegringsingan Dalam Dua Perspektif”, “Jejak DAS Pakerisan Dalam Arkeologi dan Seni”, dan lain-lain.
Marlowe M. Bandem adalah koordinator proyek repatriasi rekaman-rekaman Bali 1928. Di luar rutinas mengelola dua lembaga keuangan mikro, Marlowe juga adalah wakil ketua yayasan Widya Dharma Shanti yang menaungi STMIK STIKOM Bali, salah satu perguruan TIK terbesar di Bali.
Ia juga adalah seorang pesepeda, penggiat kreativitas musik elektronika dan desain. Pelopor gerakan Design Against Tyranny di tahun 2007, Marlowe kini banyak meluangkan waktunya melakukan roadshow terkait kreativitas seni, kewirausahaan, teknologi dan lingkungan.
Sebagai Koordinator Proyek Bali 1928 di Indonesia, Marlowe juga akan berbagi cerita tentang lika-liku dan proses pemulangan kembali rekaman-rekaman bersejarah Odeon dan Beka berikut film-film yang pertama kalinya dibuat di Bali pada tahun 1930-an.
Deny Suhernawan Yusup lahir di Ciamis Jawa Barat, 9 Mei 1964. Ia merupakan dosen program studi Biologi FMIPA Universitas Udayana dengan spesialisasi Ekologi Kelautan / Budidaya Perikanan. Ia menamatkan stusi S1 di Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman dan S2 di School of Zoology University of Tasmania , Hobart-Australia.
Aktif dalam berbagai penelitian, di antaranya Pemanfaatan Bahan Pakan Rumput Laut Pada Usaha Pembesaran (Budidaya) Abalon Jenis Haliotis Squamata (Sumber dana Dikti, 2016), Perilaku Makan Dan Formulasi Ransum Juvenil Abalon Haliotis Squamata Berbasis Alga Makro (Sumber dana DIKT, 2015), Potensi dan kondisi sumberdaya abalon H. squamata; Cemagi Kec. Mengwi Kab. Badung (Sumber dana DIKTI, 2014), dll.
Ia juga aktif dalam sejumlah pertemuan ilmiah dan seminar internasional, di antaranya International Seminar Sains and Technology, Indonesian Seagrass Workshop dan International Conference Bali. [b]