Teks Yoga Sastrawan, Foto Anton Muhajir
Perencanaan Tata Ruang menjadi hal mendesak bagi Bali, pulau kecil yang sarat berbagai kepentingan.
Masa depan Bali dan masyarakatnya sebagian ditentukan oleh bagaimana kita semua mengatur ruang di dalamnya agar imbang -baik daya dukung maupun daya tampung-, produktif dan nyaman serta berkeadilan bagi masyarakat Bali.
Karena itu, adalah hak kita semua untuk mengetahui bagaimana pemerintah Bali akan menata ruang dan apakah DPRD akan mensahkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi sesuai kepentingan kita semua.
Tri Hita Karana dan Sad Kerthi adalah pedoman masyarakat lokal yang mestinya tidak bisa ditawar dalam penataan ruang wilayah Bali. Pembangunan atau pengembangan kawasan boleh, tetapi harus mengikuti rambu-rambu tanpa mengorbankan lingkungan dan tetap menjamin kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain lebih nyaman. Bagi pelaku yang melanggar harus ada sanksi yang jelas dan tegas tanpa pandang bulu.
Kita harus belajar banyak dari kasus Uluwatu, Danau Buyan, Padangbai dan wilayah lain di mana investor melakukan pelanggaran mulai dari melampaui sepadan pantai, ketinggian bangunan, mengganggu kesucian pura dan lainnya. Karena itulah sangat penting sikap hati-hati dalam menyusun kata pasal per pasal agar tidak terjadi multitafsir.
Pertimbangan penting untuk menjaga tata ruang Bali juga akibat pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim sehingga mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Nasib nelayan akan susah mencari ikan, dataran kekeringan petani susah menanam, penyakit endimik di mana-mana. Sistem peringatan dini dalam penanggulangan bencana harus ada.
Upaya pelestarian lingkungan harus pula didukung Pemerintah Kota Denpasar dengan segala aturan yang mengikatnya. Jika tidak, upaya pelestarian lingkungan hanya tinggal slogan di tengah-tengah arus global kerusakan lingkungan yang semakin parah. Untuk itu, pemerintah harus mengambil langkah nyata membuat peraturan yang berperspektif lingkungan untuk menjaga keseimbangan alam.
Keputusan salah akan memperburuk nasib anak cucu di masa depan. Seolah kita tidak peduli apakah mereka merasakan kondisi yang sama atau lebih buruk lagi. Berapa luas sawah yang kita tinggalkan untuk ditanami? Berapa luas laut masih penuh terumbu karang yang menghasilkan ikan-ikan? Berapa air masih layak pakai? Berapa udara masih bisa dihirup dan berapa banyak keanekaragaman hayati masih tersisa?
Kesan yang terlihat RTRW yang dulu yang pernah diangkat adalah kesan yang bersifat transparan dan tergesa-gesa ataupun secara mendadak di mana revisi tata ruang ini hanya untuk kepentingan semata, tidak memandang kedepannya pulau Bali ini harus dibawa kemana karena penyusunnya hanya berpikir pendek.
Bali adalah daerah pariwisata. Apakah daerah pariwisata tidak memikirkan lingkungan yang sekarang ini amburadul? Apakah hanya memikirkan kehancuran Bali semata? Mari kita berfikir ke depan bukan hanya untuk mementingkan perut saja. [b]
Penulis adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali.