Geng motor “berkeliaran” di acara puncak Festival Teras Mitra.
Namun mereka tidak memakai motor, melainkan mengenalkan kompor inovatif biogas yang mereka ciptakan dan kini digunakan puluhan ibu rumah tangga di Kupang.
Festival Teras Mitra 3 yang ditutup Kamis kemarin merupakan ajang temu dan berbagi pengalaman wirausahawan komunitas mandiri peduli lingkungan. Kegiatan selama tiga hari ini diikuti 45 komunitas dari berbagai wilayah pelosok Indonesia. Acara ini telah digelar sejak 14 Oktober dan diakhiri dengan pameran produk dari hasil proses analisa, riset dan perjuangan panjang mereka dalam memperjuangkan alam dan lingkungan di sekitar mereka.
“Daripada kami mati di jalan tanpa berbuat sesuatu yang berarti, lebih baik kami mati melakukan sesuatu yang berarti untuk masyarakat,” kata Donal salah satu pencetus gerakan Geng Motor Imut.
Untuk itu, Geng Motor Imut mengubah cara berkeliaran di jalan, dengan melakukan perjalanan ke sekolah-sekolah memberikan pengetahuan tentang lingkungan. Mereka anak muda yang kuliah di Teknik dan menggunakan keahliannya untuk membuat kompor biogas untuk para mama, yang masih sulit mencari minyak tanah.
Daripada mereka ngantre minyak tanah, di NTT banyak sekali kotoran hewan yang bisa dimanfatkan jadi gas. “Jadilah kami mengubah nama kami menjadi Geng Motor Imut tapi yang berkeliaran untuk membantu masyarakat,“ lanjut Donal.
Selain Geng Motor Imut dengan inovasi kompor biogasnya, ada juga produk kain “sakral” Gerinsing dari Bali. Denik dari Yayasan Wisnu Bali, menjelaskan kain tersebut tidak dijual hanya dipamerkan. Dia menjelaskan, kain Gerinsing ini hanya digunakan saat upacara keagamaan dan adat.
“Kain ini dibuat dengan metode dobel ikat yang satu-satunya ada di Indonesia. Kain ini diwarnai bahan-bahan alam dengan proses pewarnaan bisa mencapai lima tahun. Jadi termasuk bernilai dan langka,” jelas Denik sambil menunjukkan kain tersebut.
Produk kerupuk dari mangrove seperti kerupuk, teh dan sirup. Teh dan sirup mangrove tidak bisa dibuat tiap hari seperti kerupuk jeruju karena menunggu masa panen buah mangrove siapi-api yang menunggu hingga berbulan.
Produk dari mangrove ini sesungguhnya tidak serta merta jadi produk kerupuk begitu saja. Perlu waktu 10 tahun bagi pempuan Kelompok Muara Tanjung dari desa terpencil Sei Nagalawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, paham bahwa mangrove yang mereka tanam dan kini menjadi hutan lebat itu bisa bermanfaat ekonomi.
“Awalnya kami hanya ingin desa kami tidak kena banjir rob, atau badai dari laut. Mangrove kata kawan-kawan aktivis nelayan, teman suami kami, bisa mengatasinya. Jadilah, kami hanya tujuh orang menanam mangrove. Pesisir desa kami memang tidak ada mangrove waktu itu. Pesisir rusak karena bekas tambak-tambak udang yang ditinggalkan. Ketika kami menanam mangrove sempat kami diledek tetangga sendiri, disebut orang gila,“ jelas Jumiati sang pelopor Kelompok Perempuan Muara Tanjung.
Berkali-kali gagal menanam mangrove, membuat mereka belajar banyak dan juga mencari pengetahuan, hingga akhirnya mereka berhasil menanamnya. Sepuluh tahun kemudian menjadi hutan mangrove satu-satunya yang tumbuh dan hidup dengan indahnya di tengah habisnya mangrove di sekitar pesisir Serdang Bedagai. Bukan hanya kerupuk, teh dan sirup yang dihasilkan tetapi juga usaha ekowisata hutan mangrove kini mereka kelola.
“Sekarang kami tidak bergantung pada toke (tengkulak yang memonopoli ikan nelayan). Suami kami sudah punya perahu sendiri, kami juga tidak perlu berhutang kepada rentenir tiap kali musim sekolah karena hutan mangrove kami,” jelas Jumiati.
Ada juga sajian sushi, tempe dari kacang koro. Kacang koro adalah tanaman tumpang sari yang tumbuh liar dan dibudidayakan di lahan kering di wilayah Wonogiri bagian selatan. Kearifan lokal masyarakat Wonogiri telah mampu menetralisir racun dan mengempukkanya sehingga koro bisa menjadi sumber protein nabati bagi masyarakat pedesaan. Sajian panganan kacang koro dari Wonogiri ini kemudian disajikan dalam bentuk sushi yang diolah master chef Hotel Atanaya, venue festival. Adalah Gita Pertiwi dari Surakarta yang menginisiasi untuk budi daya kacang koro ini.
“Karena beracun kadang tidak dianggap. Karena itu kami coba olah menjadi sumber protein nabati bagi masyarakat pedesaan. Olahan koro ini juga kami buat jadi beragam tempe, kue dan rempeyek yang semuanya berbahan koro,“ jelas Titi Eksa Sasanti.
Koordinator Nasional GEF-SGP (Global Environment Facility, Small Grant Programme) Indonesia, Catharina Dwihastarini menjelaskan, selalu ada tindak lanjut dan juga meningkatkan kapasitas bagi para mitra Teras Mitra yang dikelola GEF-SGP. Setiap festival di tiap tahun akan menjadi kenaikan level bagi para mitranya.
Dia berharap masyarakat bisa mencontoh kisah inspiratif dari mitra Teras Mitra, melakukan terbaik untuk kelestarian alam, maka alam akan memberikanmu lebih untuk kebaikan kita. [b]