Oleh I Gusti Raka Panji Tisna
Para ilmuwan mengingatkan dengan keras bahwa Pemanasan Global akibat kerusakan ekosistem Bumi oleh kerakusan dan gelap mata-hati manusia modern adalah kenyataan yang kini mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya di Bumi. Bumi mungkin saja tidak keberatan kalau manusia musnah dari planet ini, tetapi kita yang masih hidup dan takut mati mengenaskan tentu pamrih agar Bumi mau memaafkan, dan berjanji untuk berlaku adil.
Maka menjadi kewajiban manusia, terutama yang mentalnya masih normal, untuk melakukan sekecil apa pun usaha menghambat laju kerusakan ekosistem Bumi ini. Para ilmuwan menyarankan betapa pentingnya menjaga kestabilan iklim mikro atau kesatuan iklim terdekat dari kita, dengan memelihara kelestarian alam di rumah masing-masing, dan ditarik lebih jauh memelihara kelestarian kawasan, katakanlah pulau kita tercinta, Bali. Karena begitu banyak manusia di Bumi dengan berbagai macam perilaku, tingkat kesadaran, kegilaan, kerakusan, sehingga sulit melakukan sesuatu yang bisa disepakati secara global. Dagelan-dagelan konflik kepentingan pun masih kental terlihat di KTT Bumi tentang Pemanasan Global tahun lalu di Nusa Dua.
Bali kian menjadi incaran para rakus, musang berbulu ayam, dengan dalih dan janji mensejahterakan masyarakat. Merayu segelintir orang lokal untuk ikut mempekerjakan dan memperbudak kita dengan upah minimum, ya; mengambil alih kekayaan alam dan budaya kita, ya; dan memberi kita remah-remah, ya. Tidak puas menguasai pantai dan dataran kini mereka merambah ke gunung (berikut danau dan hutannya). Artefak alam yang begitu kita hormati dan sucikan. Hutan sebagai paru-paru pulau yang juga menangkap kabut dan hujan menjadikannya air tersimpan di danau untuk menghidupi kita. Seperti ibu-bapa yang senantiasa bekerja melindungi keluarga.
Akankah kita biarkan para rakus menyakiti orang tua kita? Menjadi Malin Kundang? Dan bukan saja orang tua yang kita khianati tetapi juga anak-cucu karena dengan ceroboh melego, menggadaikan rumah dan masa depan mereka?
Pada sebuah lontar, Batur Kalawasan, leluhur mewanti-wanti agar gunung (hutan dan danau) serta laut dijaga kelestarian dan kesuciannya. Kita dianjurkan untuk hidup di tengah-tengah dari hasil keringat telapak tangan, tidak hidup senang dari merusak [termasuk mengijinkan orang lain merusaknya dengan iming-iming kenikmatan sesaat dan materi berlimpah] sebab dikhawatirkan akan terjadi pertengkaran antar sesama diikuti rawan pangan, sulit air, dan berbagai bentuk penyakit dan penderitaan ikutan. Tidakkah itu sudah mulai menampakkan bukti-bukti? Akankah kita juga berkhianat kepada leluhur?
Mari menghindari atau setidaknya meminimalkan intervensi manusia di kawasan gunung, hutan dan danau. Pakailah tempat itu hanya sesekali untuk merenung, belajar dari alam, me-recharge kelelahan mental serta mengagumi kebesaran dan kemurahan hati Semesta Alam. [b]
Catatan: Tulisan ini dimuat di Surat Pembaca Bali Post dan dikirim ke beberapa mailing list.