MEN COBLONG selalu harus fokus berlebihan jika memasuki tikungan menuju rumah.
Tikungan yang harusnya bisa dilalui ketika penghuni perumahan hendak masuk ke perumahan. Sayangnya hampir seluruh penghuni memilih jalan tikungan itu untuk keluar perumahan. Jadi seolah-olah tikungan bisa dilalui untuk dua arah.
Rambu-rambu sudah dipasang. Berkali-kali diubah dari gambar tikungan dengan tanpa silang yang kecil. Sampai hari ini rambu dipasang juga bergambar tikungan yang disilang, berisi penjelasan dengan huruf besar-besar dilarang belok. Bahkan ada tambahan rambu arah menuju keluar yang juga besar.
Hanya seminggu Men Coblong bisa merasa sedikit sejahtera warga perumahan tidak melalui tikungan masuk perumahan untuk keluar. Selanjutnya beragam rambu yang dipasang itu pun jadi tidak memiliki arti lagi.
Bahkan adik perempuan Men Coblong pun ikut berkata dengan wajah sedikit nelangsa.
“Berapa liter sih bensin harus habis jika kita tertib dan tidak menganggu orang lain. Apa mereka tidak bisa membaca?” katanya.
“Aku paling sebal melihat motor-motor seenaknya naik di trotoar jika kondisi jalan macet. Bayangin, bagaimana trotoar bisa menanggung berat motor? Trotoar dibuat kan untuk pejalan kaki. Makanya sekarang banyak trotoar yang bolong-bolong. Hancur,” dia terus nyerocos.
“Kenapa orang-orang senang sekali melakukan hal-hal seperti itu, ya? Apa mereka merasa hebat? Aku nggak pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka?”
Belum selesai kalimat adik Men Coblong, mobil Men Coblong berhadapan dengan sebuah sepeda motor berisi seorang bapak dengan dua orang anak balita. Satu di depan, satu di belakang. Men Coblong pun menginjak rem mendadak, sehingga membuat bamper Men Coblong pun ditabrak motor dari belakang.
Serunya lagi motor itu pun langsung meliuk-liuk. Hilang di tengah kemacetan. Sementara Bapak yang salah jalan itu hanya senyum-senyum simpul dan menganggung-angguk tanpa ada rasa bersalah langsung kabur juga. Men Coblong terdiam.
“Hyang Jagat!” Adik Men Coblong hanya bisa berkata seperti itu sambil membelalakkan mata.
Bagi Men Coblong, bapak dan dua anak balita pengendara motor itu tidak jatuh, sudah bersyukur. Bayangkan kalau mereka jatuh. Yang disalahkan pasti si Pemilik Mobil. Bayangkan dengan dua anak TK di atas motor.
Semua memang ingin cepat sampai. Semua orang juga benci kelambatan termasuk Men Coblong. Membawa mobil di jalan-jalan kota di Denpasar memang menggelisahkan. Tidak nyaman. Kita bisa berlama-lama berada di dalam mobil. Bagi Men Coblong itu tidak menyenangkan. Itu merepotkan. Itu membuat stres!
“Naik mobil kan enak, tidak kepanasan. Macet nggak masalah,” suatu hari teman Men Coblong berkata dengan ringan pada Men Coblong. Men Coblong terdiam. Percuma juga membantah atau beragumentasi dengan teman satu itu. Selain teman itu tidak punya mobil, dia juga tidak bisa menyetir. Jadi tidak tahu “cuaca” lalu lintas di kota Denpasar yang selalu bikin naik darah.
“Mungkinkah Denpasar memiliki transportasi publik seperti di Seoul?” tanya sahabat Men Coblong, seorang guru besar di sebuh universitas ternama di Seoul, Korea Selatan.
Men Coblong terdiam, ketika diundang seminar di kota Seoul, Men Coblong memang merasakan betapa kota kosmopolit itu benar-benar memiliki transportasi publik rapi. Bahkan anak-anak muda dengan dandanan bak majalah-majalah mode berjalan dengan santai menaiki bus-bus di seputar kota Seoul.
Men Coblong hanya bisa mengkhayal. Andaikata di jalan Tangkuban Perahu Denpasar ada bus nyaman, tentu Men Coblong memilih naik bus itu. Bus-bus milik umum yang bisa mengantar Men Coblong ke kantor tempatnya bekerja. Atau nongkrong di mal-mal terkemuka di kota Denpasar tanpa harus memikirkan parkir.
Namun, adakah orang-orang yang memiliki tangan untuk memutuskan kebijakan itu berpikir untuk serius menata kota Denpasar? Menata jalan-jalan utama jadi lebih menarik lagi? Bukankah kalau jalan-jalan ke kota ditata, kita jadi tidak lagi memerlukan kendaraan pribadi.
Biasanya di jalan banyak sekali mobil-mobil besar yang parkir serampangan. Memang duluuu, pernah ada aturan jika mobil parkir sembarangan maka kendaraan akan dikunci. Faktanya aturan itu hanya sebatas aturan tertulis tanpa eksekusi yang jelas dan tegas.
Cobalah Anda keluar rumah pasti banyak orang-orang yang bisa membeli mobil tetapi tidak bisa menyiapkan garasi. Walaupun banyak ada penyewaan garasi, biasanya orang-orang lebih memilih parkir di jalan, tanpa memiliki rasa malu. Tanpa merasa membuat tetangga terganggu.
Jangankan di jalan umum, di perumahan juga banyak kita temui orang-orang yang memiliki mobil-mobil bagus tentu mampu membelinya tanpa memikirkan garasi. Mereka tetap merasa nyaman, karena ya itu hanya himbauan. Begini bunyinya; dilarang parkir di jalan raya. Titik.
Makanya jangan heran, makin hari lalu lintas di kota Denpasar makin krodit. Padat dan menyesakkan. Bahkan saking padatnya, membuat beberapa orang jadi mager, malas bergerak.
“Kalau ke Bali itu repot ya cari kendaraan umum model bus-bus atau kereta, harus pesan kendaraan daring. Padahal jika ada bus-bus makin keren juga. Ke Kuta tidak perlu macet, karena kendaraan jadi sedikit,” suatu hari sahabat Men Coblong berkata dengan nelangsa.
Walaupun kendaraan daring mudah didapat, percuma saja. Toh tetap terjebak macet parah jika berada di jam-jam sibuk. Kapan ya Denpasar punya transportasi publik sehingga tidak perlu lagi ada pemandangan motor-motor yang naik ke trotoar. Motor-motor yang bak laron. Juga klakson mobil yang berteriak-teriak tidak sabar.
“Nggak mungkin. Masyarakat kita ini masih “barbar”. Baca aturan rambu di perumahan saja tidak bisa mau buat bus untuk umum yang nyaman. Masih belum terpikir itu. Sudah jangan terlalu banyak bermimpi. Saat ini yang benar itu pikirkan urusanmu, beres! Orang lain mau terganggu juga nggak peduli. Yang penting urusan kita beres,” sahut adik Men Coblong dengan tegangan tinggi.
Men Coblong terdiam, sulit sekali mengajak orang-orang tertib.
“Sudah jangan salahkan masyarakat, para penguasa saja tingkahnya tidak ada yang bisa dicontoh. Mereka hanya bisa buat aturan lalu dilanggar sendiri. Pelanggarannya justru lebih ganas daripada pelanggaran rakyat kecil seperti kita!” lanjut adik Men Coblong lebih keras.
Men Coblong terdiam. Sambil tetap berharap Denpasar kelak memiliki transportasi publik yang nyaman, minimal seperti Singapura. Masyarakat tertib, pejabat juga kudu wajib bercermin.
“Ah, kamu itu seperti punguk merindukan bulan,” sahabat Men Coblong tertawa. Sambil menepuk bahu Men Coblong. Men Coblong memonyongkan bibir, sambil meneguk kopi yang sudah pahit terasa makin pahit. [b]