Tahun 2020 saat pandemi begitu keras memberi kita pelajaran dan perubahan, saya menghabiskan banyak waktu di rumah. Memikirkan hal apa yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu di rumah. Saat itu, saya banyak membuat kue dan masak makanan sendiri yang akhirnya mempertemukan saya pada kesempatan untuk membeli sayur dan buah di Teman Sayur.
Pembatasan sosial dan kekhawatiran saat berada di tempat umum membuat saya berpikir kreatif mencari alternatif metode berbelanja. Teman Sayur kebetulan menyediakan cara pra-pesan sayur dan buah segar yang saya butuhkan saat itu.
Saya masih ingat pesanan pertama yang saya beli dikemas dengan kardus bekas dengan cap Teman Sayur di secarik kertas. Hingga akhirnya kemasan pakai ulang mereka habis, barulah mereka membuat kemasan tas kertas yang dibubuhi cap. Jika diingat-ingat, mereka bahkan tidak ragu untuk menggunakan tas kertas atau kain dan kardus bekas untuk kemasan mereka pada awal-awal mereka memulai usaha ini.
Tempe berbentuk segitiga yang dibungkus dengan daun pisang membuat saya tidak bisa lagi menunda kesempatan untuk memesan. Aroma khas daun pisang yang segar dan alami berpadu dengan wangi kedelai serta ragi jamur Rhizoma oryzae yang bereaksi dengan suhu panas sungguh merupakan sajian mewah. Selain itu, bentuk segitiganya sangat menarik karena saat itu kali pertama saya melihatnya. Proses transaksi inilah yang menjadi interaksi pertama saya dengan Teman Sayur. Di hari-hari selanjutnya membawa saya pada banyak momen reflektif dan belajar, salah satunya tentang betapa kreatifnya mereka mengemas sayur, tempe, dan berbagai kudapan olahan dari hasil panen Teman Sayur dengan ramah lingkungan.
Sayur, buah, dan olahan hasil panen Teman Sayur yang saya terima sebagian besar dikemas dengan daun dan tas kertas. Ini bukan kali pertama saya menerima kemasan kertas dan daun yang sederhana saat berbelanja, tapi mereka bisa membuatnya berkesan. Penanda identitas ‘Teman Sayur’ dibuat kecil saja dengan cap, turut menambah kesan alami tanpa usaha yang berlebihan. Seperti hal ini adalah kebiasaan yang biasa saja.
Jaje Apem Gula Aren yang mereka pasarkan dengan jumlah terbatas juga dikemas dengan daun pisang atau daun pandan. Perpaduan bahan-bahan alami yang dihasilkan dari kebun sendiri semakin nikmat ditambah aroma dari daun pisang. Apakah hanya perasaan saja? Saya yakin tidak, mereka pun pernah menulis, “Kami salut dengan para leluhur kita yang menemukan cara mengemas makanan dengan daun pisang. Selain karena mudah didapat, ternyata daun pisang mengandung banyak zat baik untuk tubuh. Seperti kandungan polifenol, sejenis antioksidan untuk melawan banyak masalah dalam tubuh. Tapi yang paling signifikan adalah aroma yang menggugah rasa.”
Selain Jaje Apem Gula Aren, ada donat labu atau donat kentang, moci, jaje lupis, dan kaliadrem turut melengkapi sajian olahan Teman Sayur. Tak hanya rasanya yang enak dan mengingatkan pada jajanan bikinan nenek dan ibu, kemasannya juga dibuat agar minim sampah. Daun pisang jadi begitu penting dan tepat fungsi disandingkan dengan kudapan itu. Hal yang menarik, moci yang merupakan jajanan khas Jepang, dibuat dengan bahan-bahan lokal hasil panen (labu atau ubi ungu) dan dibungkus daun pisang. “Menarik sekali perpaduan yang terjadi, mana enak lagi. Kepikiran aja Kak Kris ini,” begitu yang saya pikirkan dalam hati saat menikmati moci itu.
Jajanan dengan kemasan daun tentu bukan hal baru. Di pasar atau di toko kue akan mudah kita jumpai. Hal yang tidak semua orang miliki adalah kesadaran untuk membuatnya tampak indah–bagaimanapun mereka tetap berupaya untuk memasarkan produknya, selagi mempertimbangkan ketahanan dan keberlanjutannya.
Hal-hal yang (tampak) kecil dilakukan Teman Sayur di atas barangkali sesuatu yang sederhana, pengetahuan umum, dan sudah dilakukan sejak lama oleh para leluhur kita. Melihat mereka melakukannya dengan kesadaran akan upaya untuk mengurangi sampah adalah inisiatif yang keren!
Saya tahu, dengan kemampuan mereka, bisa saja mereka membuat kemasan wah dari kertas melalui proses desain dan cetak yang panjang. Tapi mereka memilih untuk mengutamakan kemasan alami yang dekat dengan mereka, murah, dan mudah didapat. Pilihan kertas buat mereka jadi opsi kedua jika tidak memungkinkan dikemas dengan daun-daunan.
Beberapa kali saya membaca narasi caption pada unggahan Teman Sayur di Instagram. Buat mereka, makanan adalah tentang memori. Tidak hanya tentang mengolahnya, tetapi juga mengemas dan menyajikannya. Mengingat kembali memori itu membuat saya kagum betapa cara-cara tradisional dan alami sudah ada sejak lama, jauh sebelum kata-kata sustainable atau berkelanjutan familiar kita dengar belakangan ini. Lalu melihat Teman Sayur melakukannya seperti kebiasaan saja, membuat saya ingin menuliskannya sampai di sini.