Oleh Juli Sastrawan
Warga Bali membahas kondisi pariwisata kini dan nanti pada Sabtu (13/4) di Twitter Space Balebengong. Diskusi santai ini memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk turut bersama membicarakan isu-isu terkini perihal pariwisata baik dari sudut pandang akademisi maupun praktisi pariwisata.
Diskusi pariwisata Bali membahas seperti apa pariwisata Bali saat ini dan seperti apa kira-kira bayangan pariwisata di masa depan dari sudut pandang akademisi dan juga praktisi di bidang tersebut. Diskusi juga menyentuh pada hal seperti pengembangan infrastruktur pariwisata, pengelolaan destinasi, hingga masalah-masalah mengenai pariwisata terkini.
Adapun pemateri dalam diskusi Ketika Wisata Menjelma Budaya (baru) adalah Made Sarjana dan Wayan Willyana. Sarana adalah Sekretaris Umum Ikatan Sosiologi Indonesia Wilayah Bali dan juga peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana sedangkan Wayan Willyana adalah seorang pemandu pariwisata.
Diskusi diawali dari bagaimana pariwisata Bali saat ini, apa saja masalah yang dihadapi baik di lapangan maupun di penelitian terkini. Wayan Willyana, sebagai tour guide menjelaskan bahwa dunia pariwisata Bali saat ini adalah dunia yang sudah tidak seperti dulu lagi, lebih bisa dibilang industri yang tidak lagi mudah mendatangkan uang. Hal ini disebabkan dari banyak faktor, termasuk adanya internet yang memudahkan tamu untuk mencari dan menentukan destinasi dengan apa yang mereka inginkan.
Wayan Willyana mengatakan, “dulu tamu mengikuti apa yang kita sarankan, tapi sekarang bahkan kita yang harus ngikutin tamu. Karena mereka kan cari di internet terlebih dahulu. Misalnya dulu restoran pariwisata dan restoran fancy itu terpisah, kalau tamu wisatawan makannya pasti di restoran-restoran yang ada di jalur pariwisata. Tapi sekarang kan mulai orang-orang datang ke Bali, dia sudah ada di dalam kepalanya mau makan apa dan di mana.”
Hal ini tidak hanya membuat mereka mau tidak mau mengikuti pasar, tapi juga keuntungan yang didapat semakin menipis, “Kita kerja di tour guide, gaji memang tidak seberapa tapi bagaimana kita kerja di lapangan itu yang dapat lebih dari warung-warung pariwisata yang sudah mapan. Kalau warung-warung konvensional itu kan mereka perlu tour guide untuk mempromosikan warung. Jadi di sana timbal baliknya. Sementara kalau tempat makan fancy, mereka tidak lagi membutuhkan tour guide lagi untuk mempromosikan, karena tamu sudah tau. Jadi peran tour guidenya memang tidak diperlukan di sana dan kita tidak dapat apa-apa.”
Mengetahui seperti apa keadaan pariwisata Bali dari sudut pandang praktisi, diskusi kemudian bergerak pada seperti apa pariwisata Bali dari sudut pandang akademisi. Made Sarjana menyebutkan bahwa dunia pariwisata Bali saat ini persaingannya makin ketat. Meskipun gap pendapatan pekerja di sektor pariwisata dengan pekerjaan lainnya, misalnya petani, tidak lagi seperti dulu. Ia sempat menceritakan jika wacana pariwisata dulu dan kini sudah berubah.
Dalam diskusi tersebut, Made Sarjana menceritakan, “Tahun 1990an saat saya masih mahasiswa itu isunya adalah gap antara steakholder pariwisata dengan petani itu sangat tinggi. Waktu itu ada harapan gap itu bisa diminimalkan. Pandemi bisa meratakan, hanya saja tidak sesuai harapan. Dulu kita berharap pendapatan petani itu meningkat sama seperti pendapatan teman-teman yang bekerja di pariwisata. Saat ini gap itu mengecil tapi pendapatan yang bekerja di pariwisata yang menurun bahkan sama dengan petani.”
Tentu hal ini tidak bisa didiamkan begitu saja. Menurutnya, mesti terus dilakukan kajian dan dicarikan cara agar meminimalisir gap itu. Made Sarjana juga menambahkan semakin ketatnya persaingan itu juga bisa disebabkan dari dikembangkannya DSP (Destinasi Super Prioritas) yang ada di 5 lokasi; Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan di Kupang. Ia juga menjelaskan jika di berbagai daerah, pemerintah daerah juga ikut mengembangkan pariwisata. Dulu ada daerah yang tidak tersentuh pariwisata, sedangkan saat ini pemerintah daerah mendorong agar daerahnya menjadi destinasi pariwisata. Hal ini bisa menjadikan usaha untuk mendatangkan wisatawan itu jadi semakin ketat di Indonesia.
Meskipun menurutnya selalu ada sisi positif dan negatifnya. “Memang ada plus minus, ketika destinasi pariwisata semakin banyak, crowded di Bali itu bisa dipecah, bisa disebar. Kalau melihat pariwisata saat ini yang nampaknya menjadi harapan bagi warga Bali, semua ingin mendapat sesuatu, mesti dirancang pariwisata berkualitas,” paparnya.
Salah satu permasalahan dalam pariwisata Bali juga muncul lantaran masyarakat menginginkan sesuatu yang cepat, yang instan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya petani yang sekarang memiliki kecenderungan untuk mengontrakkan lahannya dan wisatawan yang mengontrak, malah membangun villa. Di satu sisi, memang Petani mendapatkan uang cash, namun ini berdampak pada sawah dan pariwisata Bali ke depan. Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana ini melanjutkan, “petani mendapatkan uang cash memang, tapi sekitar sepuluh sampai empat puluh tahun lagi baru kembali sawahnya dan sawahnya sudah berbentuk villa. Hal ini kita tidak pernah tau pada tahun itu menjadi apa,” sebutnya.
Pernyataan itu disampaikannya atas konsep pariwisata Back to Nature yang kebablasan dan tidak sesuai harapan. Hal ini lantaran wisatawan memprivatisasi tempat yang telah dia sewa, tidak mengembalikan pengelolaan konsep Back to Nature itu pada masyarakat setempat. “Kalau misalnya datang ke Jatiluwih dilayani oleh masyarakat Jatiluwih. Datang ke Kintamani dilayani oleh masyarakat Kintamani. Kan itu yang diharapkan,” terangnya.
Hal ini disertai pernyataan dan ketakutannya bahwa jika hal ini tidak terbendung, tidak ada pengendalian di mana boleh dan tidak membangun, alhasil semuanya akan sembrawut. Hal ini akan menjadi masalah untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan ke depan. Diskusi ini berhasil menciptakan atmosfer yang interaktif dan inklusif. Menggunakan platform Twitter, peserta dari berbagai latar belakang, termasuk warga yang tinggal di daerah yang terdampak pariwisata juga bisa ikut urun pendapat. Hal ini tidak hanya bagus karena akses mengenai isu pariwisata mudah dijangkau, tapi juga bisa mendapat informasi-informasi terkini mengenai isu-isu yang dekat dengan kita, khususnya pariwisata.
Di akhir sesi diskusi, Wayan Willyana menyebutkan bahwa permasalahan pariwisata di Bali ini tidak lagi permasalahan kultural, melainkan adalah permasalahan struktural. Dia juga mengakhiri jika hal ini terus terjadi, pelan pelan pariwisata tidak akan menjanjikan lagi. Di pihak lain, Made Sujana menegaskan pentingnya meningkatkan kesadaran dan melakukan apa yang kita bisa untuk pariwisata Bali.
Selain itu, menurutnya penting untuk bekerja bersama-sama, “Pada intinya mari kita terus kembangkan kesadaran wisata ini terutama ekses negatifnya. Sehingga kita masih mendapatkan rejeki dari pariwisata dan budaya kita tetep kita bisa antisipasi, propanisasinya yang berlangsung cepat karena semua bergantung kita. Dalam pariwisata kan tidak bisa memberi tanggung jawab pada satu pihak saja,” ajaknya.
Secara keseluruhan, diskusi pariwisata Bali dengan tema Ketika Pariwisata Menjelma Budaya (baru) adalah wadah yang bagus dan inklusif untuk memantik perbincangan dan kritis terhadap apa yang terjadi dengan Bali saat ini. Berangkat dari diskusi ini kita juga bisa mengetahui seperti apa Bali hari ini serta bisa bersama-sama lebih mawas terhadap masa depan Bali.