“Kutebas lehermu!” kata Weksirsa kepada mayat yang telah dihidupkannya. Mayat yang dihidupkan itu bukan menjadi Zombie, tapi benar-benar manusia yang hidup seperti sedia kala.
Mayat yang dihidupkan itu berterimakasih karena telah dihidupkan kembali oleh Weksirsa dan Mahisawadana. Tapi sayang, terima kasih saja tidak cukup. Ia harus membayar lebih karena telah dihidupkan kembali. Ia harus mati.
Mayat dihidupkan, lalu dibunuh lagi. Begitu runtutan prosesi ritual yang dijalankan oleh Calwan Arang dan murid-muridnya. Tapi untuk apa yang sudah jadi mayat dihidupkan kembali? Saya belum mendapatkan informasi dalam teks sejauh ini. Tapi ada suatu penjelasan secara lisan, bahwa dalam ritual segala jenis Banten yang dipersembahkan terlebih dahulu “dihidupkan” lagi. Konon, orang tidak boleh mempersembahkan bangkai, maka dengan mantra, yantra, dan mudra dihidupkan terlebih dahulu.
Barangkali, praktik semacam ini memiliki hubungan yang serius dengan praktik ritual Calwan Arang. Agar lebih jelas, kita mesti merunutnya dengan teks-teks Puja sebagaimana dilangsungkan oleh Pendeta. Tentu saja, merunut teks semacam itu tidaklah mudah. Jadi kita istirahatkan dulu rasa ingin tahu kita sampai di sini.
Leher mayat yang dihidupkan tadi, benar-benar ditebas. Darah menyembur. Kepalanya terlempar. Calwan Arang menggunakan darah itu untuk mencuci rambut. Sampai saat ini ada dua tokoh perempuan yang menggunakan darah untuk mencuci rambut. Perempuan pertama adalah istri Pandawa, Drupadi. Ia menggunakan darah Dusssasana untuk mencuci rambutnya yang telah tergerai setelah tragedi penelanjangan saat Pandawa kalah judi. Saat itu Drupadi bersumpah akan mencuci rambutnya dengan darah Dussasana.
Dalam teks Calwan Arang, kita menemukan lagi adegan semacam itu. Tapi kali ini bukan karena sumpah. Entah karena apa Calwan Arang mencuci rambut dengan darah manusia. Mungkin ada suatu ajaran yang dapat kita telusuri mempraktikkan praktik-praktik spiritual dengan metode ini.
Ajaran apa namanya, saya juga belum tahu. Yang pasti, adegan ini tidak sesederhana seperti melihat perempuan mencuci rambut di kali atau sungai. Satu hal yang penting lagi, setelah Calwan Arang mencuci rambutnya dengan darah, rambutnya menjadi kusut. Kusut dalam bahasa teks Calwan Arang disebut gimbal [magimbal pwa kesanira]. Jadi kata gimbal bukan kata baru.
Bagaimana dengan tubuh mayat yang dihidupkan tadi? Menurut teks Calwan Arang, ususnya dijadikan kalung oleh Calwan Arang. Semua bagian tubuh itu diolah dan dijadikan persembahan berupa Caru kepada semua Bhuta. Dari sisi ini, kita bisa melihat suatu praktik yang tercatat dalam teks dan barangkali memang benar-benar terjadi pada suatu masa. Persembahan Caru yang kini dikenal di Bali kebanyakan menggunakan binatang dan bukan manusia.
Tapi teks Calwan Arang berkata lain. Manusia juga dipersembahkan sebagai upakara Caru. Catatan ini penting diketahui, agar ditimbang-timbang apa pula penyebab praktik itu tidak bisa ditemukan lagi jejaknya.
Cerita-cerita tentang persembahan daging manusia hanya bisa dinikmati lewat penuturan para tetua. Tentulah ada suatu klasifikasi yang harus dipenuhi agar praktik itu bisa dilakukan. Salah satunya adalah kemampuan pemimpin upacara dan juga tentang “siapa yang mesti dikorbankan”.
Dalam kakawin Ramayana, ketika raja Dasharata melakukan puja Homa, yang didaulat untuk memimpin upacara adalah Resyasrengga. Resyasrengga didaulat, karena ia adalah Rsi yang mahir dalam Shastra [widagda ring shastra]. Pada tingkat upacara Homa klasifikasi semacam itu diperlukan, apalagi pada tingkat persembahan manusia.
Bahwa Calwan Arang yang mempraktikkan ritual itu, artinya pada Calwan Arang kita cari klasifikasi pemimpin upacara korban Caru itu. Sampai pada saat ini, kita mengenal Calwan Arang sebagai Guru, sebagai Ibu, Janda sakti yang menguasai ilmu menghidupkan dan mematikan. Tidak hanya itu, Calwan Arang adalah kesayangan Bhatari Bagawati. Bahkan persembahan yang dilakukan Calwan Arang disebut persembahan yang utama [adinika inaturanya].
“Aku sangat senang dengan persembahanmu, tapi berhati-hatilah dalam bertindak anakku Calwan Arang,” demikian kata Bhatari Bagawati. Konon Bhatari merasa senang dengan persembahan yang dipersembahkan oleh Calwan Arang. Sayangnya, permintaan Calwan Arang agar seluruh kerajaan terkena penyakit membuat Bhatari Bagawati harus menasehatinya agar hati-hati dalam bertindak.
Meski anugerah Bhatari sudah didapat, Calwan Arang ternyata harus tetap hati-hati juga. Jika pemilik otoritas anugerah itu menasehati agar hati-hati, bagaimana mungkin Calwan Arang tidak hati-hati? Tapi hati-hati kepada apa? Kepada siapa? Tidak dijelaskan dalam adegan itu, kepada apa dan siapa Calwan Arang mesti hati-hati.
Setelah anugerah didapat, Calwan Arang segera menari sekali lagi. Tidak di kuburan, tapi di perempatan [catus pata]. Karena itu seluruh penduduk kerajaan menderita penyakit. Jenis penyakitnya adalah panas tis [panas dingin]. Penyakit panas dingin macam apa yang bisa membunuh banyak orang dalam dua malam?
Banyak orang mati di kerajaan itu. kuburan kekurangan tempat. Banyak mayat membusuk di selokan. Bahkan di dalam rumah-rumah penduduk. Weksirsa masuk ke dalam rumah dan tempat tidur penduduk. Ia meminta-minta Caru berupa daging dan darah mentah. Pada mayat yang belum membusuk, ia mengambil darah dengan cara merobek leher mayat-mayat itu. Benar-benar hari-hari huru hara.
Di Kerajaan, para pinisepuh menghadap raja. Para mantri tidak ketinggalan. Keputusannya? Adakan upacara Homa. Homa adalah upacara penyelesaian yang dilakukan ketika wabah terus menyerang. Begitu yang ingin disampaikan oleh pencerita Calwan Arang. Yang dipuja adalah Hyang Agni. Puja Homa dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Tengah malam, Sang Hyang Catur Bhuja muncul dari api Homa. Catur berarti empat. Bhuja berarti lengan. Dia yang berlengan empat keluar dari api itu. Tidak hanya sekadar keluar, tapi ada petunjuk yang diberikan kepada para pemuja di kala itu. “Carilah Sri Munindra Baradah, ia ada di Semasana Lemah Tulis,” begitu petunjuknya. Konon hanya Baradah yang mampu meruat [menyucikan] kembali negeri yang sudah terlanjur porak poranda itu.
Raja memerintahkan Kanuruhan untuk pergi menghadap Baradah di Lemah Tulis. Sesingkat-singkatnya cerita, Kanuruhan berhasil menemui Baradah. Tapi bukan Baradah yang akan datang ke kerajaan itu. Adalah Mpu Kebo Bahula, murid Mpu Baradah yang diutus untuk pergi mendahului. Yang diutus tidak menolak, maka pergilah Mpu Kebo Bahula bersama Kanuruhan. Rencananya, Mpu Kebo Bahula akan melamar Ratna Manggali, anak Calwan Arang.
“Tuanku, hamba adalah murid Mpu Baradah. Bahula nama hamba. Tujuan hamba datang adalah untuk memohon belas kasihan kepada Tuanku. Sudi kiranya Tuanku mengabulkan permintaan hamba yang hina ini. Hamba ingin melamar Ratna Manggali,” begitu kata Mpu Bahula tanpa ragu.
“Tidak ada yang perlu kau takutkan anakku. Tapi kau haruslah sungguh-sungguh dari hatimu. Ratna Manggali akan aku serahkan, hanya jika kau cinta,” Calwan Arang merasa senang.
“Baiklah Tuanku, hamba ini pesakitan yang diperintahkan untuk mencari obat oleh guru hamba. Hanya Ratna Manggali obat segala penderitaan hamba. Hamba meyakininya tanpa ragu. Lalu apa maharnya?”
“Anakku Bahula, bukan mahar itu yang terpenting. Tapi cinta dan kesungguhan. Apapun yang kau berikan, akan aku terima.”
Maka siaplah segala mahar diberikan oleh Mpu Bahula. Di antaranya sedah panglarang [sirih], pirak panomah [perak], patiba sampir [selendang], dan spatika nawaratna dipata [permata]. Dengan seperangkat mahar itu, Mpu Bahula dan Ratna Manggali dinikahkan. Bagaimana prosesi pernikahan mereka, tidak diceritakan. Saya ragu, apakah setelah ritual sakral pernikahan itu, Ratna Manggali dan Mpu Bahula juga menggelar acara resepsi.
Jenis riasannya pun tidak dijelaskan, siapa pula juru riasnya juga tidak ada penjelasan. Jangankan penjelasan tentang hal-hal semacam itu, bahkan pemimpin upacara pernikahan pun tidak disebutkan siapa. Hal ini akan menarik mengingat kedua mempelai memiliki orang tua yang sama-sama sakti. Maka seorang yang ditugaskan untuk menyelesaikan upacara pernikahannya pun, pastilah tidak kalah hebatnya.
Setelah mereka menikah, Calwan Arang tetap melakukan pemujaan kepada Bhatari Bagawati. Lipyakara sering diturunkan, ia juga sering pergi ke kuburan. Kejadian itu terus diperhatikan oleh Mpu Bahula. Sampai pada suatu saat, Mpu Bahula bertanya kepada Ratna Manggali. “Dewiku, Ratna Manggali. Apa sebabnya ibu selalu pergi dan baru kembali saat tengah malam? Kemana perginya? Aku sungguh khawatir.”
Cinta dan percaya, membuat Ratna Manggali tidak menaruh sedikit pun kecurigaan kepada Bahula. “Suamiku, janganlah sampai mengikuti jejak ibu yang demikian. Sungguh tidak baik perbuatan itu. Ibu saat malam selalu memuja Bhatari Bagawati. Menurunkan Lipyakara dan pergi ke kuburan. Itulah sebabnya banyak orang mati di kerajaan.”
“Dewiku, perkenankan aku mengetahui dan melihat Lipyakara itu. Aku juga ingin mempelajarinya.”
Tidak perlu pikir panjang, saat Calwan Arang pergi, Ratna Manggali menyelinap ke tempat penyimpanan. Mengambil Lipyakara dan menyerahkannya kepada Bahula. Dengan alasan untuk dipelajari dan ditanyakan kepada Pendeta Baradah, Bahula pergi menuju Lemah Tulis membawa Lipyakara.
Bahula sampai di Lemah Tulis. Baradah segera dihadapnya. Sebagaimana tradisi ketika itu, Bahula mendekati Baradah sambil membawa Lipyakara dan menjilati debu di kaki Baradah. Hasil jilatan itu diletakkannya di ubun-ubun [Bahula mamawa lipyakara, manambah eng jeng sang Mredu, teher mandilati lebu kang aneng talampakanira Sang Yogiswara, enahakenireng wunwunan]. Ada tradisi yang dipraktikkan oleh garis perguruan tertentu sebagai cara menghormati guru dengan menjilat debu di kaki guru dan diletakkan di ubun-ubun. Tradisi semacam ini, bisa kita baca dalam teks Calon Arang.
Mpu Bahula menyerahkan Lipyakara kepada Mpu Baradah untuk dilihat dan dipelajari. Saat mulai membukanya, Mpu Baradah terkejut, ternyata ajaran di dalamnya sangat utama. Isinya konon ajaran tentang kebenaran [kayogyan], tentang kesiddian [kasidyan], ajaran agama [telas pwa yeng agama].
Ajaran kebenaran, berarti ajaran tentang Dharma. Ajaran tentang kesiddhian, berarti suatu ajaran untuk sampai pada tingkat mendapat permata pikiran. Cirinya adalah semua yang dicari didapat, yang dinanti datang. Lalu apa yang dimaksud dengan telas pwa yeng agama? Artinya ajaran agama itu telah habis. Habis berarti tuntas, selesai, sampai, menjadi. Artinya isi Lipyakara adalah tentang menjadi Agama. Apakah yang dimaksud ajaran agama? Tidak sesederhana yang sedang kita pikirkan.
Comments 1