Teks dan Foto Anton Muhajir
Pertanyaan yang langsung muncul setelah melihat nama pembicara diskusi Jurnalisme Warga tersebut adalah, “Kenapa mesti dia?”. Pertanyaan itu muncul begitu saja setelah baca nama KRMT Roy Suryo Notodiprojo sebagai salah satu pembicara di diskusi yang diadakan Dewan Pers di Denpasar hari ini.
Dalam undangan resmi yang dikirim panitia, pembicara yang akan hadir di diskusi tersebut adalah Bambang Harymurti (Anggota Dewan Pers), Priyambodo RH (Kantor Berita Antara/ Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo), dan Enda Nasution (Ketua Blogger Indonesia). Btw, sejak kapan blogger Indonesia ada ketuanya?
Dari tiga pembicara yang disebut dalam undangan, hanya Priyambodo yang hadir. BHM, panggilan akrab Bambang Harymurti, diganti Wina Armada, anggota Dewan Pers yang lain. Ini bisa dimaklumi. Lha, Enda Nasution sebagai blogger diganti Roy Suryo jelas sebuah kesalahan, menurut saya.
Roy Suryo jelas bukan blogger. Nama ini bahkan menjadi semacam guyonan di kalangan blogger, aktivis dunia maya, ataupun praktisi teknologi informasi. Roy Suryo adalah pakar jadi-jadian yang dilahirkan oleh media. Atau katakanlah dia memang “pakar”. Tetap saja dia bukan blogger ataupun praktisi jurnalisme warga. Maka kalau dia hadir untuk menggantikan blogger, sekali lagi bagi saya, jauh panggang dari api.
Enda, biasa disebut Bapak Blogger oleh sesama blogger bukan Ketua Blogger Indonesia seperti ditulis panitia, diundang dalam kapasitas sebagai blogger. Kalau dia tidak bisa hadir, maka penggantinya akan lebih baik kalau juga blogger. Syukur-syukur malah dari pengelola junalisme warga.
Ya. Priyambodo juga blogger. Ini sesuatu yang kemudian baru saya tahu dalam diskusi. Tapi dalam diskusi ini, kapasitasnya adalah mewakili Antara dan LPDS, bukan blogger.
Lha ini tidak. Ketika blogger tidak bisa hadir, penggantinya malah orang yang selama ini dianggap sebagai “musuh bersama” para blogger. Salah satu alasan dia jadi nama yang identik dengan antipati adalah karena selama ini dia cenderung melihat blog dan kekuatan dunia maya lain sebagai ancaman daripada sebuah peluang. Sikapnya ini terlihat jelas dalam makalah tertulis yang dibagikan pada peserta diskusi setengah hari tersebut.
Roy Suryo sendiri datang pukul 12 lebih sementara diskusi dimulai dari pukul 9 dan berakhir pukul 1.30. Saya keluar dari diskusi, karena ada pekerjaan lain, persis ketika orang ini baru duduk di kursi pembicara. Jadi saya hanya menyimpulkan sikap tersebut dari makalah yang saya terima.
Makalah setebal 41 halaman ini lebih banyak menyoroti penyalahgunaan internet. Di lembar kedelapan misalnya dia mengutip www.clearcommerce.com bahwa Indonesia adalah negara kedua yang paling banyak menyalahgunakan internet setelah Ukraina.
Lalu di halaman-halaman berikut dia menyajikan fakta berbagai masalah di internet mulai tulisan “Satrio Kepencet” yang menuduh wartawan Kompas menerima dana dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), kasus “Rekayasa Foto” SBY, kasus hacking data Pemilu 2004 KPU, sampai pada gambar-gambar bugil dua bersaudara selebiritis seksi, Sarah Azhari dan Rahma Azhari. Saya tidak melihat relevansinya sama sekali dengan jurnalisme warga.
Pendapat saya ini kemudian dibenarkan Gus Tulank yang mengikuti diskusi sampai usai. “Dia menyampaikan hal yang jauh dari relevansi tema diskusi tentang jurnalisme warga,” kata Tulank.
Dek Didi, teman lain dari Bali Blogger Community (BBC) yang hadir pada diskusi itu pun menyatakan hal yang sama saat sesi diskusi. Bahwa apa yang disampaikan Roy Suryo dalam diskusi amat jauh relevansinya dengan jurnalisme warga. Roy Suryo terlalu melihat perkembangan dunia maya, baik blog, jejaring sosial, dan seterusnya sebagai sebuah ancaman.
Untungnya sikap berbeda justru disampaikan oleh dua pembicara lain, Priyambodo dan Wina Armada. Keduanya masih melihat bahwa jurnalisme warga adalah sebuah peluang. Ini senada dengan apa yang disampaikan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal dalam sambutannya.
“Jurnalisme warga semakin lama semakin penting. Di banyak negara publik lebih percaya pada jurnalisme yang dikembangkan oleh warga, misalnya lewat blog, daripada media arus utama,” kata Ichlasul dalam sambutan pembukaan.
Pernyataan Ichlasul ini didukung juga Priyambodo. “Jika publik berkehendak, apa pun bisa terjadi di internet. Jurnalisme warga ikut menentukan demokratisasi,” katanya.
Namun, saya kemudian menangkap bahwa Ichlasul menyiratkan ketakutan pada ketakutan baru jurnalisme warga ini. “Jurnalisme warga ibarat pisau bermata dua. Dia bisa destruktif kalau pemberian informasinya tidak terkendali,” tambahnya.
Karena itulah, menurut Ichlasul, jurnalisme warga perlu diatur agar tidak tak terkendali dan liar. Namun Ichlasul tidak memberikan contoh sama sekali tentang bagaimana informasi liar dan tak terkendali itu bisa menjadi ancaman.
Toh, negara ini sepertinya memang melihat perkembangan kebebasan informasi terutama di dunia maya itu sebagai sebuah ancaman. Salah satu bukti adalah munculnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memberikan ancaman penjara bagi para pengguna teknologi informasi ini.
Menurut Wina Armada, materi UU ITE sangat keras karena ada ancaman penjara di atas lima tahun. Apalagi ada pasal yang mengatakan bahwa tersangka bisa langsung ditahan. Masuk penjara dulu baru diadili kemudian. “Benar atau salah itu urusan nanti. Yang penting ditahan dulu. Ini ancaman besar bagi blogger ataupun jurnalisme warga,” kata Wina.
Inilah kenyataannya. Aturan-aturan yang dibuat terkait dengan informasi di dunia maya itu justru menebar ketakutan bagi para penggunanya. Jadinya ironis. Lha wong belum apa-apa kok sudah ditakut-takuti dengan ancaman penjara. Suara-suara di dunia maya itu harusnya diberikan peluang sebagai sebuah kekuatan baru. Negara harus menjaminnya. Merawat dan mengembangkan, bukan dengan menebar ketakutan.. [b]