Oleh I Nyoman Winata
Bebotoh secara umum adalah sebutan untuk mereka yang mencari kerja dari tajen. Kalau dulu sebutan bebotoh tidak punya konotosi positif sedikitpun. Pokoknya bebotoh adalah sesuatu yang jelek. Bebotoh bahkan bisa disamakan dengan kriminil. Kalau punya orang tua atau saudara sebagai bebotoh kita akan malu. Masyarakat memberi cap jelek kepada mereka yang disebut bebotoh. Mereka yang disebut bebotoh juga malu memunculkan dirinya ke permukaan. Apalagi sampai dengan terbuka menyebut diri bebotoh, jelas tidak mungkin. Itu dulu…
Kini bebotoh tidak selalu berkonotasi negatif. Masyarakat tidak lagi selalu mencap jelek bebotoh. Mereka yang menjadi bebotoh sudah mulai bisa diterima ditengah-tengah masyarakat. Menjadi bebotoh juga tidak lagi memalukan. Bahkan kini, bebotoh berani dengan tegas terbuka menyatakan diri sebagai bebotoh. Tidak ada rasa malu apalagi takut disebut bebotoh. Terbukti dengan seringnya ada demonstrasi dari para bebotoh terutama pada saat-saat tajen dilarang.
Kaum politisi (politisi-politisian?) Bali mungkin menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas fenomena ini. Merekalah yang dengan lancang mengesahkan keberadaan bebotoh. Mengangkat mereka dari lembah kenistaan menjadi lebih terhormat. Ini tidak lepas dari kemampuan para bebotoh menghimpun sejumlah massa. Bebotoh adalah mesin penghasil suara yang signifikan untuk menjaring suara dalam pemilu atau pilkada. Meskipun jelas ini sebagai praktik paling rendah dari cara-cara berpolitik, toh politisi Bali saat ini senang melakukannya.
Mangku Pastika misalnya, menurut berita di BP Jumat (19/11), bertemu dengan para bebotoh untuk meminta dukungan politik maju sebagai Cagub. Hal serupa terjadi pada pasangan cabup di Gianyar. Pasangan “Bayu” menerima kedatangan puluhan orang di Puri Gianyar yang dengan tegas disebutkan dalam berita sebagai bebotoh. Jelas tidak ada lagi rasa malu atau risih dari calon-calon pemimpin ini kalau mereka nantinya didukung para bebotoh. Kita tidak tau bagaimana kalau bakal calon gubernur dan calon bupati ini memang benar-benar menang. Pastilah kebijakan mereka nantinya mau tidak mau akan mengakomodasi kepentingan bebotoh.
Bebotoh konon berasal dari kata momo (nafsu–disini nafsu yang dimaksud adalah nafsu buruk)) dan tohin (diutamakan). Jadi memotoh atau bebotoh merujuk pada aktivitas manusia-manusia yang senang mengutamakan nafsunya. Dari akar katanya ini, maka tidak ada kesan positif sedikitpun yang bisa diharapkan dari bebotoh. Bagaimana mungkin manusia yang mengutamakan “momo” akan bisa berbuat kebaikan? Sesungguhnya sangat tidak pantas jika bebotoh diberikan ruang untuk hidup apalagi berkembang. Bebotoh harusnya diperangi, dibatasi ruang hidupnya agar tidak menjadi racun mematikan. Kalau sekarang bebotoh malah dikoordinir, diakui keberadaannya bahkan dimanfaatkan, maka benarlah kalau sekarang ini adalah jaman kalabendu.
Saya jadi teringat kata bijak Wibisana ketika kakaknya Rahwana mendapat anugrah Kesaktian luar biasa di Hyang Siwa ; “Kini tiba saatnya dimana jika manusia berjalan dalam jalan dharma kebenaran, maka ia tidak akan bisa hidup,”. Rahwana-rahwana (para politisi)di Bali tinggal menunggu berkah dari penguasa sesungguhnya (rakyat) saat pilkada untuk berkuasa. Pasukan raksasa Rahwana (para bebotoh) kekuatannya sedang dihimpun. Maka ketika mereka benar-benar berkuasa, sepertinya tidak akan ada lagi jalan bagi dharma dan kebenaran di tanah Bali. [b]
halo pak winata
apa kabar televisi lokalnya? waah, masih simak politik bali ya. Ayo bli, maju ke gedung DPRD (nyalon, maksudnya)
salam,
luh de
hallo juga luh de,
tv nya baek-baek aja.
kadang tergelitik juga dgn kondisi Bali
cita-citanya sih hanya jadi KPID Bali aja…
Di DPRD gak ada tempat buat saya..Kalo nggak, ya.. jadi preman terminal wae..