
Manawadharmasastra IX. 27 – 28 menyebutkan:
“Utpadanamapatyasya jatasya paripalanam,
Pratyaham lokayatrayah pratyaksam strinibandhanam”
Terjemahannya: Melahirkan anak, memelihara yang telah lahir, dan kehidupan sehari-hari bagi orang laki, semua itu wanitalah yang menyebabkannya.
“Apatyam dharmakaryani susrusa ratiruttama,
Daradhinastatha swargah pitri rnanatmanascaha.”
Terjemahannya: Keturunan, terselenggaranya upacara keagamaan, pelayan yang setia, hubungan sanggama yang memberi kenikmatan, dan mencapai pahala surga bagi nenek moyang dan seseorang, tergantung pada istri itu sendiri.
Dalam sebuah keluarga maupun sistem kekerabatan, perempuan kerap dibingkai memegang peranan lebih banyak dibanding laki-laki. Untuk merujuk pentingnya peran perempuan. Namun pada praktiknya ini jadi beban dan keharusan. Bukan hanya mengurus rumah, anak, dan suami, perempuan juga dituntut untuk bisa telaten dalam hidup bermasyarakat, seperti ngayah atau membantu mempersiapkan upacara keagamaan dari jauh-jauh hari.
Seorang ibu muda ketika ditanya terkait pendapatnya mengenai kewajiban istri sebagaimana dalam sloka di atas menyebutkan mau tidak mau dia setuju dengan hal tersebut. “Karena sebagai masyarakat Hindu tetap ada yang namanya sanggah atau merajan yang menjadi poros suatu keluarga yang notabene-nya berada di keluarga cowok, kecuali orang itu nyentana/pade gelahang,” terang Purnama.
Hal serupa juga disampaikan oleh Widhiantari ketika ditanya tentang peran seorang istri di rumah. “Peran seorang istri adalah untuk meneruskan keturunan, kemudian bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, suami, dan seluruh keluarga besar,” ungkap Widhiantari.
Prinsip pembagian peran dalam masyarakat patrialineal biasanya mengasumsikan perempuan menjalankan peran yang feminim karena sifatnya yang dianggap lemah lembut, mengayomi, memelihara, dan merawat. Bertolak belakang dengan laki-laki yang menjalankan peran maskulin karena sifatnya yang dianggap asertif dan dominan, sehingga lebih cocok berada di luar rumah.
Kami menulis mengenai beban merawat keluarga dalam kondisi saat ini terutama lanjut usia. Makin banyak lansia telantar di Bali. Hal ini mendorong diskursus bahwa alternatif perawatan oleh orang lain itu penting agar beban tak hanya di perempuan. https://balebengong.id/kondisi-perawatan-penduduk-lanjut-usia-di-bali/
Oktaria Asmarani atau yang kerap disapa Rani, seorang pegiat gender dan perempuan menyebutkan bahwa pembagian peran ini berawal dari kebiasaan nenek moyang zaman dahulu, yaitu ketika berburu dan meramu. Namun, pembagian peran ini menjadi salah ketika nilai-nilai tersebut dianggap sesuatu yang permanen dan lekat. “Kalau kita menggunakan perspektif gender atau feminis, harusnya pekerjaan-pekerjaan tadi itu tidak bisa dilekatkan oleh satu orang aja,” ungkap Rani ketika diwawancarai via Zoom.
Berbicara tentang beban adat masyarakat Hindu di Bali, masyarakat menganggap bahwa perempuan dan laki-laki sudah memiliki porsi masing-masing. Perempuan fokus pada upakara, pembuatan banten, jejaitan, dan membantu dalam prosesi upacara. Sementara itu, laki-laki adalah perwakilan dari keluarga atau keturunan yang melanjutkan pura keluarga.
Beban tersebut dianggap setara oleh masyarakat. Padahal, dilihat dari kesehariannya, perempuan banyak sekali berperan dalam adat. Laki-laki biasanya banyak terlibat menjelang hari upacara dan pada saat upacara, sedangkan perempuan harus mempersiapkan jauh-jauh hari. Terlebih lagi perempuan dibebankan urusan domestik dan pekerjaan lainnya apabila ia bekerja.
Selain itu, masyarakat juga mengasumsikan perempuan memiliki kewajiban dalam merawat keluarga. Bukan hanya anak dan suami, tetapi juga mertua maupun orang tua. Hal ini berkaitan dengan stereotipe bahwa perempuan seharusnya merawat dan mengayomi, sehingga mereka memiliki insting untuk merawat orang-orang yang ada di rumah, entah itu orang yang sehat maupun sakit.
“Dan dianggap itu bukan sebuah pekerjaan yang sulit gitu loh, selalu dianggap pekerjaan yang sekunder aja, kayak oh ya udah ngerawat orang tua ya udah ngerawat aja gitu,” ujar Rani. Menurut Rani, berada di rumah dan mengurus orang tua merupakan beban kerja yang berat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. “Itu nggak bisa disamain dengan kita kerja kantoran atau kerja-kerja di luar rumah karena ada beban emosionalnya sendiri yang berbeda,” imbuhnya.
Hal ini tidak hanya terjadi di ranah domestik, tetapi juga profesional. Anggapan masyarakat terhadap perempuan berimbas pada kerja-kerja perawatan yang lagi-lagi diasumsikan sebagai pekerjaan perempuan. Jika mengamati pekerja di daycare anak atau homecare untuk lansia biasanya didominasi oleh pekerja perempuan.
Rani menyebut fenomena itu seperti melempar tanggung jawab dari perempuan satu ke perempuan lain. Hal ini bisa diubah hanya dengan cara laki-laki juga turut membantu melakukan kerja-kerja perawatan. Bukan berarti ketika laki-laki bisa melakukan kerja perawatan dan mengurus rumah tangga lantas membuatnya layak mendapatkan pujian. Sementara, ketika perempuan mengurus rumah tangga tidak dipuji karena itu memang tugasnya.
Peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah kewajiban dan tidak dibebankan kepada satu orang saja. “Menurutku untuk urusan pembagian gender ini harusnya kita bisa lebih fleksibel,” ungkap Rani.
Hal ini juga diungkapkan oleh Purnama. Ia menyebutkan bahwa dalam pembagian peran keluarga seharusnya perempuan dan laki-laki bisa saling bekerja sama. Widhiantari juga sepakat dengan hal tersebut. “Kita tetap harus saling bekerja sama, tidak membedakan apakah itu pekerjaan laki-laki atau pekerjaan perempuan, semua harus bekerja sama. Misalnya membersihkan rumah itu harus istri, kita nggak, kita harus saling membantu. Siapa yang punya kesempatan, siapa yang punya waktu untuk membersihkan sesuatu di rumah, kita bekerja sama. Antara laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya,” terang Widhiantari.
Kesetaraan bukan berarti semuanya sama. Kesetaraan adalah ketika apa yang dilakukan laki-laki semuanya harus dilakukan perempuan, begitu pun sebaliknya. Bukan berarti kodrat perempuan hanya sumur, dapur, dan kasur. Perempuan juga layak bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Situasi ini juga berlaku bagi laki-laki, bukan berarti hanya laki-laki yang bisa menafkahi keluarga, perempuan pun bisa melakukannya. Begitu pula laki-laki tidak bisa lepas dari tanggung jawab mengurus rumah.
situs slot gacor toto slot toto slot link slot https://sipulan.depok.go.id/img/`