Teks dan Foto Anton Muhajir
“Banyakan gengsi. Tidak mau kerja nyuci piring,” jawab Luh Manik, kakak ipar saya pekan lalu.
Saya sedang makan di warung soto karangasem tempat dia jualan di Jalan Nangka Selatan, Denpasar. Siang itu Luh Manik sendirian. Dia melakukan semua pekerjaan seorang diri mulai dari meracik soto, melayani pelanggan, hingga cuci piring.
Sudah sekitar tiga bulan Iluh, panggilannya di keluarga besar kami, bekerja tanpa pembantu. Sebelumnya ada ibu berumur kira-kira 35 tahun yang membantunya melayani pelanggan dan cuci piring. Namun, setelah bekerja sekitar enam bulan, ibu-ibu dengan satu anak itu berhenti begitu saja.
Iluh kini bekerja sendiri. Dia gagal lagi mencari pekerja, yang sebenarnya berperan penting untuk membantunya di warung.
Tapi, dia lebih beruntung dibandingkan dengan mertua saya, I Nengah Widana dan Ni Nengah Ariani. Pasangan pedagang soto sapi ini sampai sekarang tak juga mendapatkan pekerja di warungnya. Maka, ibu mertua saya pun harus bekerja sendiri. Tidak ada pembantu.
Mereka pernah punya pekerja. Tapi juga tak lama. Sejak masih jual soto di Pasar Badung lalu pindah di dekat Pasar Satria hingga jualan di rumah hingga saat ini, mereka tetap juga tak dapat pekerja.
Komentar bapak mertua saya kurang lebih sama. “Anak-anak sekarang kegedean gengsi. Tak mau kerja susah. Mau kerja santai tapi tidak punya modal,” katanya.
Tapi, susahnya cari pekerja ini juga terjadi di tempat kerja yang lebih sedikit butuh kerja fisik. Ya, tidak hanya susah mencari kasar seperti pelayan di warung soto, mencari pekerjaan yang lebih “halus” pun tak jauh berbeda. Salah satu indikator gampangnya, lihatlah betapa banyak iklan lowongan kerja di koran yang terus dilakukan berulang-ulang.
Tapi, ini hanya hitung-hitungan sekilas, bukan berdasarkan riset serius tentang susahnya cari pekerja profesional. Poinnya, menurut saya, peluang pekerjaan di Bali, khususnya Denpasar, sebenarnya banyak. Lihatlah betapa banyak pekerja dari luar Denpasar atau Bali yang datang berduyun-duyun berebut gula. Kalau tak ada gula, semut tak akan datang begitu saja.
Ironisnya, ketika peluang demikian banyak, pengangguran di Bali justru naik. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2010 lalu, jumlah pengangguran di Bali naik menjadi 3,57 persen dari sebelumnya 2,93 persen dibanding total jumlah angkatan kerja sebanyak 2,2 juta.
Menurut dari yang ditulis Bali Post, per Maret 2010 ada 75.635 orang menganggur di Bali. Rinciannya, 11.718 orang penggangguran (15,49 persen) berkualifikasi lulusan universitas, 7.079 orang (9,36 persen) berkualifikasi akademi/diploma, 17.032 orang (22,52 persen) berkualifikasi SMK, 21.482 orang (28,40 persen) berkualifikasi SMA, 9.080 orang (12,00 persen) berkualifikasi SMP dan 9.244 orang (12,22 persen) berkualifikasi SD ke bawah.
Kalau banyak peluang pekerjaan, kenapa masih saja banyak pengangguran? Itu juga salah satu fakta aneh. Kalau menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Provinsi Bali Drs. I Made Artadana, M.Si, masih banyaknya penganggur itu karena jumlah tenaga kerja memang lebih banyak dibanding peluang pekerjaan.
Tapi, mertua saya, Pak Ngah berpendapat yang lebih mengena. “Anak-anak muda sekarang lebih malas. Mereka tidak mau kerja keras. Carinya pekerjaan yang santai tapi mereka tak punya modal,” katanya.
Ada benarnya. Pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi atau menguras tenaga, misal, berdagang memang tak terlalu menarik bagi anak-anak muda. Kakak ipar saya, misalnya, tak suka berdagang soto seperti keluarga besarnya. Begitu pula dengan sepupu-sepupu saya yang lain.
Padahal, di keluarga besar kami yang perantau dari Karangasem, berdagang soto sapi inilah yang mengangkat ekonomi keluarga. Maka, semua paman saya jualan soto sapi ini. Kini cuma satu dua yang melanjutkan usaha ini. Lainnya tak terlalu tertarik.
Luh Manik juga mengatakan hal sama. “Anak-anak sekarang lebih senang jadi penjaga toko handphone daripada dagang soto,” katanya. Ini tak merujuk pada keluarga kami saja tapi juga pada para penganggur lain di Bali dan di mana saja.
Gengsi memang jadi salah satu sebabnya. Berwiraswasta seperti dagang soto, meskipun bisa menghasilkan pendapatan jauh lebih besar, jelas dianggap lebih “rendah” dibanding menjaga toko telepon seluler.
Namun, selain gengsi, akibat lain dari banyaknya pengangguran ini juga karena kurangnya akses informasi dari para penganggur. Mereka mungkin tertarik bekerja pada bidang tertentu, namun informasi mereka tentang pekerjaan tersebut agak minim.
Solusinya? Aduh, serasa saya Kepala Dinas Tenaga Kerja saja. 🙂 Mungkin dengan tak lagi melihat gengsi ketika mencari pekerjaan. Selalu ada tahapan di mana tiap pekerja menjadi bawahan. Kecuali mendapat jabatan karena warisan, ya, lain lagi.
Cara lainnya dengan rajin bergaul mencari informasi lowongan. Baca lowongan pekerjaan, cari info di internet, dan semacamnya. Saya yakin bahwa makin banyak informasi kita punya maka makin banyak pilihan bagi untuk melakukan sesuatu termasuk mencari pekerjaan.
Ada solusi paling gampang: membuat pekerjaan sendiri. Tapi, ini perlu kantong dan muka tebal. Dan itu yang susah. [b]