Dulu orang Bali dikenal sebagai masyarakat komunal agraris.
Sebelum berkembangnya industri pariwisata serta ragam matapencaharian yang mengedepankan teknologi informasi, kehidupan sehari-hari orang Bali bergantung pada aktivitas bercocok tanam dan nelayan.
Sebagaimana yang tecermin dalam laku ritual serta keyakinan spiritualnya, pola agraris orang Bali begitu dekat dengan nature (alam lingkungan) yang kemudian membentuk culture (budaya) yang masih terdapat hingga kini.
Akan tetapi tantangan demi tantangan terus terjadi. Mulai dari degradasi ekologi Bali akibat aneka faktor hingga peralihan cara pandang penduduknya atas konsep agraris-komunal. Tak terpungkiri turut pula mengubah kondisi sosial-kultural masyarakat pulau ini.
Bali Tempo Doeloe seri kedelapan yang akan digelar pada Minggu, 23 Februari 2014 besok mengetengahkan topik ‘Masa Silam Budaya Menanam’. Diskusi ini berupaya merunut perubahan-perubahan ekologi dan sosial-kultural masyarakat Bali tersebut. Acara ini menampilkan dua pembicara yakni Prof. Wayan P. Windia, SH., M.Si dan Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si.
Kegiatan yang mengetengahkan pemutaran film perihal kehidupan agraris Bali pada awal abad ke-20 dan dipadukan dengan diskusi tersebut digelar oleh karena mencermati budaya menanam orang Bali yang kian terkikis. Sudah tidak banyak penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani. Pengalihfungsian lahan terus menerus terjadi.
Sementara itu, penghargaan atas air, tanah dan juga lingkungan makin memudar, begitu kontradiksi dengan filosofi Bali yang merawat keharmonian ekologi sebagaimana terutang dalam Tri Hita Karana.
Di sisi lain, sebagai akibat masuknya jenis tumbuhan ataupun produk pangan luar, orang-orang Bali mulai kesulitan menemukan tanaman endemik (indigenous species) yang sebenarnya mewakili kearifan lokal masyarakat pulau ini. Sebut saja liligundi, bungan gadung, ataupun jenis buah-buahan seperti juwet, yang kini tidak lagi dikenal oleh generasi era kini.
Acara ini diselenggarakan untuk menggugah kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan kultur agrarisnya sebagai bagian dari upaya merawat kehidupan budaya Bali. Lingkungan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Kondisi perubahan yang dialaminya bukan hanya mencerminkan perkembangan tipologi alam, namun sekaligus juga paradigma masyarakatnya atas apa yang disebut tradisi dan kemodernan, antara nilai kebersamaan komunal dan individual, berikut ketegangan nilai lain yang terjadi di Bali.
“Bali Tempo Doeloe #8 kali ini juga menelisik unsur-unsur budaya agraris yang mulai hilang dari kosa kehidupan masyarakat kini yang makin urban lagi modern, seperti wujud dan fungsi beberapa tanaman usadha yang pernah ada, termasuk peran-perannya bagi kehidupan sosio-kultural orang Bali,” ujar Putu Aryastawa dari Bentara Budaya Bali.
Selain itu, diskusi yang terbuka untuk umum ini juga akan diperkaya dengan ulasan mengenai transformasi ekologi Bali yang diakibatkan oleh beberapa faktor, di antaranya pariwisata, perubahan laku masyarakat dan lain sebagainya.
Narasumber diskusi, Prof. Wayan P. Windia, SH., M.Si adalah guru besar Universitas Udayana dan terkemuka sebagai ahli hukum adat yang mencermati transformasi sosial kultural masyarakat Bali. Kerap tampil dalam berbagai seminar nasional dan internasional karena pandangannya dinilai mendalam dan visioner menyangkut Bali sebagai entitas budaya dengan kekayaan seni-seni tradisi dan ritualnya, berikut silang pandangnya dengan pariwisata. Selain menulis di berbagai media, juga menulis buku antara lain: Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Bali Mawacara, dan lain sebagainya.
Sedangkan Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si merupakan dosen pengajar Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Menamatkan program S2 di Fakultas Biologi UGM, dan kini tengah menyelesaikan program doktornya. Kerap diundang sebagai pembicara pada berbagai seminar tingkat nasional dan internasional, di antaranya: Seminar Nasional KR Cibodas, Seminar Etnobotani IV Cibinong Sience Center LIPI, 9th International Flora Malesiana Symposium, Biotechnology for SustainableFuture, serta aktif melakukan penelitian dan kajian, khusunya di bidang etnobotani, menyangkut spesies tanaman indigenous Bali yang dimanfaatkan sebagai ramuan obat-obatan tradisional atau usadha. Beberapa kajiannya dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. [b]
Teks dan foto Bentara Budaya Bali.