Menelisik meningkatnya kasus DBD saat sibuk memerangi COVID-19.
Nampaknya penyakit demam berdarah dengue (DBD) ingin curi-curi kesempatan di tengah masyarakat dan pemerintah yang sedang sibuk memerangi COVID-19. Seperti berita Tirto.id dalam artikel “Update DBD Saat Pandemi Corona: Data Meninggal 254 Jiwa per 4 April”.
Di tengah meluasnya wabah COVID-19 di berbagai negara termasuk Indonesia, masyarakat juga perlu mewaspadai penyakit DBD. Per 4 April 2020 lalu jumlah yang meninggal akibat DBD telah mencapai 254 orang di Indonesia.
DBD bukan masalah baru di Indonesia. Dia merupakan masalah klasik yang dapat dikatakan masalah tahunan. Apa yang membuat kasus DBD saat ini berbeda adalah kita semua sedang mengalami Pandemi COVID-19. Dalam situasi sulit saat pandemi ini, secara mengejutkan DBD mulai merebak. Banyak media mewawancara pejabat terkait yang telah memberitakan tren kasusnya meningkat secara nasional.
Beberapa provinsi melaporkan mulai adanya kenaikan jumlah kasus, termasuk Provinsi Bali. Kenaikan kasus di Bali dikonfirmasi dan dijelaskan oleh Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Wayan Widia dalam wawancaranya yang dimuat dalam berita Radar Bali pada 6 April 2020. Dalam wawancara berjudul ‘Fokus Tangani Corona, Kasus DB di Bali Naik Hingga 100 Persen Lebih’ itu, Widi menyampaikan beberapa data seperti di bawah.
Sebagai catatan tambahan, Kabupaten Buleleng selain menjadi kabupaten dengan kasus tertinggi di Bali. Juga menjadi kabupaten dengan kasus tertinggi kedua secara nasional di bawah Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kenapa Meningkat?
Menurut WHO dalam laporannya, sebagian besar negara di Asia Tenggara merupakan daerah endemis DBD. WHO juga menjelaskan adanya pola musiman DBD. Di Indonesia sendiri peningkatan kasus memang terjadi pada Januari hingga Februari.
Salah satu faktor dalam peningkatan kasus DBD yaitu kondisi iklim. Kondisi iklim yang berubah-ubah pada bulan-bulan tertentu menjadi alasan kuat peningkatan kasus DBD. Menurut studi di Kota Yogyakarta pada 2004-2011 curah hujan yang berkisar di atas 200 mm dan hari hujan lebih dari 20 hari, dengan perkiraan perubahan suhu antara ± 25-27 derajat Celcius dan kelembaban sebesar 80-87 persen berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kasus DBD sampai lebih dari 200 kasus.
Bali sendiri memiliki curah hujan cukup tinggi pada awal 2020 ini. Selain itu perubahan musim yang tak tentu yang menjadi alasan dalam peningkatan kasus DBD. Selain karena kondisi iklim, salah satu alasan yang cukup berperan dalam peningkatan kasus DBD adalah sanitasi lingkungan. Kasus DBD sangat erat dikaitkan dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Akibatnya, saat kasus DBD sedang meningkat sering didengungkan upaya-upaya sanitasi lingkungan dan pemberantasan sarang nyamuk.
Terlepas dari faktor-faktor tersebut, kita saat ini sedang berada di kondisi berbeda dengan sebelumnya. Pemerintah, masyarakat, dan praktisi kesehatan sedang sibuk dengan masalah penyakit menular yang membahayakan ini, COVID-19. Akibatnya, kita tidak peduli pada penyakit lain yang sama membahayakan.
Apalagi, kasus DBD memang merupakan masalah kesehatan yang kerap terjadi setiap tahun. Dia meledak kasusnya di tahun-tahun tertentu sehingga kasus DBD kerap disepelekan. Di sisi lain, kebiasaan masyarakat dan pemerintah Indonesia terkait kasus DBD yang cenderung reaktif, yaitu mencegah setelah ada kasus, dan hasilnya kasus DBD meningkat sangat cepat di berbagai daerah di Indonesia tidak terkecuali Bali.
Apa akan ada wabah dalam pandemi? Ya, bisa saja, jika kita semua tidak waspada!
DBD merupakan masalah klasik, tiap tahun kasusnya pasti ada, pencegahannya masyarakat semua pasti telah mengetahui, lalu mengapa masih terdapat peningkatan kasus? apa karena DBD merupakan masalah klasik sehingga kerap disepelekan, jika kita menyepelekan kasus DBD tanpa adanya upaya pencegahan yang dilakukan baik oleh pemerintah atau masyarakat sendiri maka akan terjadi peningkatan kasus dengan cepat tanpa masyarakat sadari dan mewabah, walaupun merupakan masalah klasik, DBD memiliki tingkat penyebaran yang cukup cepat jika tidak ditangani segera, sama membahayakannya dengan kasus yang saat ini menjadi pandemi yaitu COVID 19.
Memang jika dilihat dari Case Fatality Rate (CFR) dari DBD di Bali dalam Profil Kesehatan Provinsi Bali 2018 hanya menyentuh 0,21 persen, sama dengan pembulatan 3 orang meninggal tiap 1.000 kasus. Namun, apakah ini lantas membuat kita harus menurunkan kewaspadaan terhadap penyakit ini? Harusnya tidak.
Hal ini karena adanya COVID-19 yang berstatus pandemi, jika ditambah dengan banyaknya masyarakat terjangkit DBD dan tidak mendapat pertolongan maksimal dari fasilitas kesehatan karena fasilitas kesehatan sedang fokus berperang dengan COVID-19, maka bukan tidak mungkin angka kematian karena DBD akan meningkat.
Ini tentu mengerikan jika dibayangkan. Di tengah pusaran ketidakpastian kapan pandemi COVID-19 akan usai, Bali malah didera meningkatnya kasus dan kematian akibat DBD. Berbisik ‘jikping pang joh’ saja tidak cukup. Ayo waspada!
Terkait Lingkungan
Sudah cukup banyak penelitian menyatakan bahwa DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan. Dia kerap dikaitkan dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Pencegahan merebaknya DBD harus dimulai dari membuat keadaan lingkungan sekitar tidak memungkinkan bagi nyamuk, sebagai vektor penyakit DBD, untuk berkembang.
Jangan sekali-kali mengira bahwa DBD hanya akan terjadi jika lingkungan rumah kita sendiri yang buruk. Sebab, masih besar kemungkinan DBD terjadi karena lingkungan sekitar kita,misalnya tetangga atau bangunan di sekitar, buruk.
Nyamuk tidak dapat mengenal batas rumah atau batas lingkungan banjar, misalnya. Jadi, ketika ada lingkungan yang memungkinkan nyamuk berkembang dan dengan daya terbang nyamuk (sekitar 100 meter) mencapai lingkungan rumah kita, maka bukan tidak mungkin kita akan terjangkit DBD.
Terlebih nyamuk Aedes Aegypti dapat juga berkembang dengan baik di daerah-daerah yang bersih seperti bak mandi, tempat air tirta, gentong air, dispenser dan belakang kulkas yang sangat tidak kita sadari bisa menjadi tempat perindukan nyamuk sehingga jarang untuk diperhatikan.
Pencegahan klasik yang selalu akan kita dengar saat kasus DBD meningkat yaitu informasi upaya 4M Plus: menutup, menguras, mengubur dan memantau. Mungkin masyarakat sudah bosan bukan mendengar kalimat ini? Bosan mendengar tidak boleh jadi alasan untuk tidak dilakukan malah saat banyak mendengar kita harus banyak melakukan.
Upaya 4M Plus ini merupakan upaya efektif dalam pemberantasan kasus DBD yang dapat dimulai dari skala kecil yaitu rumah tangga sampai skala besar. Sangat penting untuk kita ingat saat rumah kita saja yang bersih tetapi tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Contohnya banyak genangan air, drainase (selokan) yang masih kotor, maka akan tetap saja ada kemungkinan terdapat perindukan nyamuk di sekitar lingkungan kita dan membuat terjangkit DBD. Upaya sanitasi lingkungan bersama secara partisipatif efektif dalam pencegahan kasus DBD di masyarakat.
Kurangnya Apa?
Tidak dipungkiri pemerintah punya andil besar dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kasus DBD di masyarakat. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah terkait pencegahan dan penanggulangan kasus DBD adalah menyebarluaskan informasi terkait DBD baik di media elektronik atau di media sosial.
Selain itu, pemerintah juga mengerahkan juru pemantau jentik (jumantik) masing-masing desa. Para jumantik untuk melakukan penyuluhan serta pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang meliputi pemeriksaan jentik dan pemberian bubuk abate di tempat yang sulit dijangkau. Kegiatan lainnya adalah fogging saat daerah telah terdapat kasus DBD.
Upaya-upaya pemerintah sudah cukup baik dalam rangka pencegahan dan penanggulangan DBD, tetapi kurangnya apa? Kurangnya adalah kinerja jumantik yang diragukan karena tidak dapat menjangkau semua rumah untuk PSN. Selain itu terkadang tidak benar-benar melakukan pemeriksaan jentik. Hanya memberi abate kepada masyarakat untuk ditaburkan di genangan air.
Selain itu yang paling penting adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya antisipasi dini terkait kasus DBD. Perlu kita ketahui bahwasanya pencegahan dan penanggulangan kasus DBD merupakan upaya bersama secara partisipatif baik masyarakat dan pemerintah. Jika tidak ada upaya bersama maka tidak akan mungkin maksimal dalam pemberantasan DBD.
Diperlukannya kolaborasi pemerintah dan masyarakat yang sigap dalam pemberantasan DBD.
Terdengar sederhana, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dengan kolaborasi pemerintah dan masyarakat niscaya akan meningkatkan kesempatan kita untuk menghindari kemungkinan terburuk (meningkatnya kasus dan kematian karena DBD dalam situasi pandemi COVID-19). Kerja sama dua arah tentu lebih baik dibanding hanya satu arah. Baik itu hanya masyarakat yang berjuang ataupun hanya pemerintah yang berjuang. Lebih baik keduanya berjuang. Pemerintah dengan programnya, masyarakat dengan partisipasinya.
Pemerintah memiliki tugas untuk menjamin kesehatan masyarakatnya dan tentunya memiliki andil besar dalam pencegahan dan penanggulangan DBD agar tidak menimbulkan masalah kesehatan serius khususnya di tengah pandemi. Program-program pemerintah terkait pencegahan dan penanggulangan DBD seperti penyuluhan, mengerahkan jumantik untuk PSN, serta fogging tentu harusnya dilaksanakan dengan gencar saat kasus-kasus meningkat seperti saat ini. Namun, melihat kondisi pandemi COVID-19 yang belum mereda, maka perlu dikaji agar program-program pencegahan ini dapat bisa dijalankan sesuai kondisi yang terjadi di masyarakat.
Misalnya pemanfaatan media elektronik maupun media sosial bisa digencarkan untuk melakukan penyuluhan secara digital bagi masyarakat terkait kasus dan pencegahan DBD. Tujuannya agar setidaknya masyarakat bisa lebih aware tentang kondisi yang mereka hadapi selain pandemi COVID-19.
Terkait kinerja jumanti, pastinya mengalami kendala di lapangan. Oleh karena itu perlu ada koordinasi pemerintah dengan kelian banjar atau kepala lingkungan setempat. Mereka bisa memberikan arahan terkait melakukan jumantik secara mandiri di rumah masing-masing. Jumantik juga bisa melaporkan hasilnya ke kelian banjar atau kepala lingkungan.
Dengan begitu sinergitas atau kolaborasi bersama antara pemerintah dengan masyarakat dapat terjalin. Pemerintah juga perlu memastikan layanan kesehatan atau sarana kesehatan yang mumpuni dalam menghadapi kasus DBD nantinya. Dengan demikian tidak kewalahan saat terjadi peningkatan kasus dan keterlambatan dalam penanganan kasus DBD. Jangan jadikan pandemi COVID-19 sebagai alasan untuk tidak fokus pada masalah lain dan tidak melakukan pencegahan.
Peran vital lainnya, dimainkan oleh masyarakat. Berpartisipasi dalam program pemerintah, menjadi jumantik bagi keluarga sendiri, melakukan pemberantasan sarang nyamuk di lingkungan rumah dan juga menerapkan pola hidup bersih dan sehat tentunya dapat meningkatkan kemungkinan masyarakat untuk terhindar dari penyakit DBD. Antisipasi dini bagi masyarakat sangat penting, jangan mencegah setelah terdapat kasus.
Dalam situasi sulit ini jangan biarkan DBD curi kesempatan. Ayo waspada! [b]