Youth Impact Weekend dibuka di Samsara Living Museum pada Jumat, 6 Desember 2024. Kegiatan ini merupakan program kerjasama Samsara Living Museum dengan United Nation Development Programme (UNDP) dengan mengusung tema “Konservasi Ekosistem Hutan untuk Pencapaian FOLU Net Sink Melalui Pendekatan Pariwisata Berbasis Budaya”.
Sebagai pembuka, terdapat informasi umum mengenai FOLU Net Sink 2030 yang dijelaskan oleh Sekretariat FOLU. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, The Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 merupakan suatu kondisi yang ditargetkan melalui upaya mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dan lahan, dengan tujuan agar tingkat penyerapan emisi melebihi tingkat emisi pada tahun 2030. Kebijakan ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi dampak perubahan iklim. FOLU diproyeksikan menyumbang hampir 60% dari total target penurunan emisi gas rumah kaca yang ingin dicapai secara mandiri. Dibutuhkan sumber daya yang sangat besar untuk mewujudkan skenario ini, sehingga pemerintah memerlukan dukungan dan kolaborasi berbagai pihak, termasuk lintas lembaga, pemerintah, masyarakat, dan lainnya.
Langkah Bali dalam mewujudkan FOLU Net Sink 2030
Sebagai rangkaian acara ini, dipaparkan Laporan Status Pencapaian FOLU Net Sink Provinsi Bali oleh Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bali, Dr. Drs. I Made Rentin, AP., M.Si. “Dalam pelestarian hutan dan lingkungan pun kita mengedepankan kelestarian dari sisi hutan adat. Lalu ada sumber daya ekonomi melalui ekowisata, jadi ikon utama Bali dari pariwisatanya. Perda dan beberapa regulasi dilahirkan dari pariwisata berbasis budaya,” ungkapnya.
Dalam pemaparannya, Provinsi Bali disebutkan telah memiliki beberapa peraturan yang mendukung capaian kebijakan FOLU Net Sink 2030, antara lain:
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 75 tahun 2018 tentang Perhutanan Sosial
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP)
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 tahun 2019 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 06 tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Wariga
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 03 tahun 2023 tentang Perayaan Rahina Tumpek Uye
Terdapat pula konsep Ekonomi Kerthi Bali yang juga dinilai mendukung capaian kebijakan ini. Ekonomi Kerthi Bali memiliki enam sektor unggulan sebagai pilar perekonomian Bali, yang terdiri dari Sektor Pertanian dalam arti luas termasuk Peternakan dan Perkebunan dengan Sistem Pertanian Organik; Sektor Kelautan dan Perikanan; Sektor Industri Manufaktur dan Industri Berbasis Budaya Branding Bali; Sektor Industri Kecil Menengah (IKM), Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi; Sektor Ekonomi Kreatif dan Digital; serta Sektor Pariwisata. Dipaparkan pula Capaian Perhutanan Sosial tahun 2024 yang meliputi pengesahan surat keputusan beberapa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) daerah di Bali. Terakhir, peran yowana atau generasi muda juga diharapkan dapat membantu keberlangsungan capaian FOLU melalui optimalisasi sektor unggulan tersebut.
Diskusi dari perspektif tim kerja, akademisi, dan penasihat
Sesi dilanjutkan dengan diskusi panel mengenai pembahasan strategi konservasi, inovasi kebijakan, teknologi, serta peran komunitas lokal di dalam konservasi hutan. Ketua Bidang III Konservasi Tim Kerja FOLU Net Sink 2030, Dr. Ir. Wiratno, M.Sc menyoroti peran desa yang berbatasan dengan hutan nasional, potensi local wisdom, serta nilai-nilai budaya untuk berkontribusi pada konservasi. “Di Indonesia ada 87.000 desa, 27.000 lebih adalah desa yang berbatasan dengan hutan negara, sekitar 20 persennya. Lalu ada 26,9 juta hektar kawasan konservasi yang meliputi Taman Nasional Bali Barat, TWA Buyan-Tamblingan, termasuk hutan Gunung Agung, dikelilingi oleh 6.700 desa. Jadi kita harus bekerja dengan masyarakat untuk menjaga taman nasional, taman wisata alam, dan hutan lindung ini,” jelasnya.
Selanjutnya, perspektif akademisi disampaikan oleh Prof. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc, PhD selaku Dosen Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana mengenai pentingnya konservasi hutan serta kolaborasi antar sektor. Ia menegaskan bahwa setiap orang baik masyarakat, institusi, maupun komunitas lokal harus menjadi garda depan untuk melakukan konservasi hutan dan mengurangi emisi. “Kalau saya lihat dari sisi akademisi sebagai dosen, kami mencetak environmental leaders berbasis budaya kepada mahasiswa. Kami telah mengajarkan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan lingkungan seperti climate change dan ilmu berkelanjutan,” ungkapnya.
Akademisi juga terlibat dalam melakukan penelitian dan inovasi dalam konservasi hutan, seperti inovasi teknologi hijau, studi tentang karbon, hingga diseminasi penelitian. “Salah satunya yang dikembangkan di Bali adalah Taman Gumi Banten. Selain untuk tanaman upakara, ini juga bisa dikembangkan menjadi ekowisata,” tambahnya. Sebagai langkah akhir, akademisi juga melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan melakukan edukasi, aksi seperti sumbangan pohon dan penanaman mangrove, serta pelatihan ekowisata.
Selanjutnya, Senior Advisor for Natural Resources & Climate Governance UNDP, Dr. Erwin Widodo, menjelaskan topik kaum muda sebagai pelopor perubahan dalam konservasi hutan dan ekowisata berkelanjutan. UNDP memiliki program Climate Promise sebagai katalisator perubahan dalam bidang konservasi sebagai langkah mengurangi emisi. “Kami memberikan inisiatif, so that we can promise our children in the future, agar mereka bisa menikmati alam sebagaimana mestinya di masa mendatang,” tuturnya.
Menurutnya, cycle of education penting dilakukan untuk menyesuaikan konteks dan metodologi pendidikan antar generasi. Pada salah satu slide-nya, ia menyinggung soal Totoro, salah satu karakter anime yang dianggap sebagai simbol keharmonisan lingkungan hutan. Pesan konservasi alam melalui media animasi ringan dinilai menjadi salah satu pendekatan yang bisa dilakukan ke generasi muda. Selain itu, Erwin juga menyarankan generasi muda untuk menjadi influencer untuk alam; dengan mempromosikan kesadaran tentang konservasi hutan melalui pendekatan konten visual yang kreatif dan menarik.
Apakah generasi muda sepenuhnya dilibatkan?
Target FOLU Net Sink 2030 merupakan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Di Bali, upaya untuk mencapai target ini semakin mendesak mengingat potensi Bali sebagai kawasan wisata yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, sejauh mana target nasional ini telah diterjemahkan ke dalam aksi nyata di tingkat lokal, khususnya dalam melibatkan partisipasi aktif generasi muda?
Kembali pada konteks sesuai tema kegiatan ini yakni konservasi ekosistem hutan melalui pendekatan pariwisata. Sesi diskusi panel yang diharapkan partisipatif nyatanya masih belum bisa memberikan solusi. Ini tercermin dari kurangnya kehadiran generasi muda sebagai audiens kegiatan ini. Dominasi masih terlihat dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, sehingga perspektif generasi muda kurang terwakili.
Selain itu, sesi diskusi pun masih berfokus pada capaian dan rencana terkait FOLU Net Sink 2030, namun belum ada langkah atau aksi konkrit untuk menyelesaikan berbagai permasalahan khususnya terkait hutan di Bali. Contohnya, konflik di Taman Wisata Alam (TWA) Batur hingga perambahan hutan yang menimbulkan bencana pun belum disinggung. Belum lagi perihal mitigasi penduduk di kawasan hutan rawan bencana dan sebagainya, khususnya di musim hujan seperti saat ini.