
Sedot di bawah menggenang di atas. Jakarta banjirnya tak kunjung waras.
Prediksinya malah akan semakin bringas. Pulau Dewata akan tiru Jakarta yang banjirnya tak kunjung waras.
Kalau terus sedot di bawah tanpa batas. Jangan heran kalau kelak menggenang di atas dan bringas.
Zulis Suparni Wangke, wanita paruh baya, warga Cempaka Putih, Cengkareng, menunjukkan kondisi rumahnya yang mengalami penurunan permukaan tanah. Ia menunjuk atap rumahnya yang berbahan seng. “ini dulu tingginya tiga meter,” kata Zulis.
Atap rumah Zulis sekarang tingginya sebahu badannya yang hanya sekitar 160 cm.
Wilayah lain di Jakarta, yaitu Muara Baru Cilincing, Jakarta Utara mengalami penurunan tanah sedalam 4,1 meter. Sedangkan di Cengkareng Barat permukaan tanah turun sedalam 2,5 meter.
Beberapa penelitian menjelaskan, jika penurunan permukaan tanah ini karena pengambilan air tanah secara berlebihan. Ia bukan saja mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan tanah, tetapi juga mengakibatkan terjadinya intrusi air asin atau air laut.
Jakarta Coastal Defence Strategy memprediksi sebagian daerah di Jakarta akan mengalami penurunan permukaan tanah sedalam 6,6 m pada 2030 mendatang.
Itulah ringkasan laporan berjudul “Menunggu Jakarta Tenggelam”. Laporan itu dikeluarkan oleh Amrta Institute dan Yayasan Tifa dalam bentuk video berdurasi 13 menit 40 detik. Ia menjelaskan tentang ledakan penduduk Jakarta, pemenuhan kebutuhan air warga dan industri yang berkembang di Jakarta, hingga bahaya jika air tanah disedot secara berlebihan.
Fenomena penurunan permukaan tanah berakibat banjir tak kunjung henti melanda sebagian wilayah Jakarta hampir setiap tahunnya.
Bagaimana dengan Bali?
Bali dihuni 3.890.757 jiwa atau 690 jiwa per km², berdasarkan sensus penduduk pada 2010. Angka itu naik, jika dibandingkan dengan sensus penduduk pada 2000 yaitu Bali dihuni 3.146.999 jiwa atau 559 jiwa per km².
Bali yang memiliki luas 5.637 km² bukan hanya diharuskan menampung sedikitnnya 3,8 juta manusia, tetapi juga diharuskan menerima tamu bernama “turis”. Data Dinas Pariwisata Provinsi Bali 2014 mencatat, Bali kedatangan turis sebanyak 3.278.598 sepanjang 2013. Jumlah itu bahkan lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil sensus penduduk Bali pada tahun 2000 yaitu 3,1 juta lebih penduduk.
Bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 2002 menyepakati bahwa air adalah hak asasi manusia.
Bertambahnya jumlah penduduk serta membludaknya turis masuk ke Bali memaksa Pulau Dewata harus memenuhi kebutuhan manusia terpenting nomor dua setelah oksigen, yaitu air.
Bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 2002 menyepakati bahwa air adalah hak asasi manusia. Hal itu tercantum pada pasal I.1 keputusan PBB. “The human right to water is indispensable for leading a life in human dignity. It is a prerequisite for the realization of other human rights”.
Artinya, setiap negara bertanggungjawab menyediakan air bersih untuk minum dan untuk sanitasi kepada semua warga mereka. Tanpa air maka hak asasi lainnya tak bisa dijalankan.

Sayangnya air tak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dari daerah sampai pusat. Dari desa sampai ibukota.
Bahkan, dalam acara debat kandidat presiden periode 2014-2019 dalam berbagai kesempatan, masalah air tak dibahas berlebihan, bahkan nyaris tak mendapat porsi.
Penduduk yang terus bertambah dibarengi bertambahnya jumlah turis masuk ke Bali setiap tahunnya, menyebabkan kebutuhan akan air menjadi tinggi.
Pernyataan Pejabat Pembuat Komitmen Perencanaan dan Program Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Gede Made Darmawan tahun 2013 lalu menjelaskan bahwa kebutuhan masyarakat Bali terhadap air mencapai 3,6 miliar kubik per hari. Padahal, air yang tersedia dan bisa dimanfaatkan hanya sekitar 2,7 miliar kubik per hari.
Catatan Bali Publika malah di atas itu, total kebutuhan akan air di Bali mencapai 5,3 miliar kubik. Sementara ketersedian air di Bali hanya 4,7 miliar kubik. Wilayah Badung, Denpasar, Gianyar, Klungkung dan Buleleng mengalami defisit air. Air berlebih ada di Tabanan, Jembrana, Bangli dan Karangasem.
Walaupun beberapa data dan penelitian menyebutkan bahwa Bali mengalami defisit air, hal ini tak menyurutkan niat pemerintah memberikan izin pengembang untuk terus membangun sarana akomodasi di Bali.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat perkembangan akomodasi Bali meliputi hotel berbintang, hotel melati dan pondok wisata, jumlahnya meningkat dari 2.212 pada tahun 2012, menjadi 2.572 pada 2013. Tentu saja, peningkatan sarana akomodasi itu berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan air guna mencukupi bisnis turisme tersebut.
Ahli Hidrologi Universitas Udayana (Unud) yang juga merupakan dosen Fakultas Pariwisata Unud, I Nyoman Sunartha menjelaskan kebutuhan air untuk satu hotel mencapai 1.500 liter per hari.
“Hampir semua hotel dan sarana akomodasi pariwisata lain di Bali menggunakan air tanah dalam atau air tanah yang kedalamannya mencapai 40 meter lebih,” kata Sunartha.
Penggunaan air tanah untuk kepentingan komersial sebenarnya diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia nomor 15 tahun 2012. Untuk mencegah agar air tanah tak disedot secara berlebihan, pada pasal 7 menjelaskan bahwa pemegang izin penggunaan air tanah wajib memasang water meter untuk memantau pengambilan air tanah.
“Vila saja banyak yang tak berizin, apalagi hanya urusan air,” ujar Sunartha.
Namun, ada peraturan, ada pelanggaran.
Sunartha menerangkan bahwa banyak hotel, vila, dan sarana akomodasi lain yang menggunakan air tanah tanpa izin, bahkan tak memasang water meter. “Vila saja banyak yang tak berizin, apalagi hanya urusan air,” ujar Sunartha.
Ada pelbagai alasan mengapa air tanah diminati pelaku bisnis sarana akomodasi pariwisata. Sunartha menjelaskan, bahwa kualitas air tanah lebih baik jika dibandingkan dengan air permukaan. Selain itu, bagi pelaku bisnis sarana akomodasi tak tertib aturan, “maling” air tanah jauh lebih gampang dan tak berisiko.
Penyedotan air tanah secara berlebihan oleh pelaku bisnis turisme, baik secara legal maupun ilegal tentu berbahaya. Ini dapat menyebabkan warga lokal sulit memperoleh air bersih guna mencukupi kebutuhan minum sampai sanitasi. Di sisi lain, intrusi air laut dan penurunan perrmukaan tanah yang berakibat banjir menjadi ancamannya.
“Bali bisa saja seperti Jakarta, banjir di mana-mana. Itu karena penyedotan air tanah berlebihan. Selain itu, makin berkurangnya lahan hijau karena berubah menjadi vila dan hotel juga berdampak pada berkurangnya daerah resapan air, akibatnya banjir,” kata Sunartha.
Lalu, kita hanya pasrah menghadapi semua kemungkinan bencana itu? [b]