Sekitar setahun lalu, saya dan calon istri (saat itu) sedang sibuk mempersiapkan upacara perkawinan kami.
Acara akan diselenggarakan pada September 2011 di Bali dan mengikuti semua prosesi perkawinan tradisional Bali. Prosesi ini termasuk acara marerasan (lamaran), mesakapan (upacara perkawinan itu sendiri), dan majauman (silaturahmi dan membawa mas kawin tipat+bantal). Walaupun kami tidak merencanakan acara megah dan mahal, tapi kami paling tidak menginginkan semuanya berjalan lancar, sesuai tatacara yang ada.
Kami ingin mengikuti tatacara perkawinan yang baik dan benar. Selain itu, kami juga ingin benar-benar mengerti mengenai hal-hal yang dibicarakan para tetua adat, terutama pada saat marerasan dan majauman. Baik saya maupun calon istri adalah orang Bali dan menjalani pendidikan sekolah dasar dan menengah di Bali. Akan tetapi kami sadar betul kemampuan Bahasa Bali kami, terutama Bahasa Bali yang digunakan pada acara-acara resmi, masih jauh dari memadai.
Saya bertekad memanfaatkan sisa waktu 5 bulan untuk belajar Bahasa Bali sebaik-baiknya. Karena saya tinggal di luar Bali, saya tidak akan mendapatkan banyak kesempatan untuk belajar percakapan. Saya hanya memasang target untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Bali halus pasif saja.
Yang ingin saya pertajam terlebih dahulu adalah kosa kata Bahasa Bali, terutama kosa kata bahasa halus. Kemampuan berbahasa Bali halus aktif akan saya asah kalau ada kesempatan tinggal lebih lama di Bali dan setelah kosa kata meningkat dan tidak “malu-maluin” lagi.
Untuk menunjang proses belajar, saya memborong lima jilid buku dari Bali. Kelima buku tersebut saya kelompokkan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah dua buku kumpulan teks Bahasa Bali halus, masing-masing karya Ni Wayan Arnati dan I Nyoman Suwija. Kedua buku ini memuat contoh teks percakapan Bahasa Bali halus. Di dalamnya termasuk contoh percakapan yang biasa digunakan pada acara marerasan. Kategori kedua mencakup tiga buah kamus Bahasa Bali, yaitu karya Sri Reshi Anandakusuma, I Gusti Made Sutjaja, dan I Nyoman Djendra.
Menghambat
Pada awalnya saya sangat bersemangat. Metode belajar seperti inilah yang pernah saya gunakan, dengan hasil lumayan, untuk meningkatkan kosa kata Bahasa Inggris saya. Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian, saya mulai menyadari bahwa terdapat beberapa hal mendasar yang menghambat kemajuan belajar saya.
Pertama, kamus tidak lengkap. Dari tiga kamus yang saya gunakan, tidak ada satu pun yang bisa dibilang lengkap. Dari hasil sampling saya terhadap satu paragraf teks Bahasa Bali dari buku Ni Wayan Aryati, baik kamus Anandakusuma maupun kamus Sutjaja hanya memuat sekitar 70 persen dari kata-kata yang ada pada teks. Kamus Djendra bahkan lebih parah lagi, hanya 50 persen dari kata-kata yang ada pada teks yang terdapat dalam kamus.
Contoh kata-kata yang tidak ada pada kamus Sutjaja: abet, asapunika, atiti, pamekas, rna, sanggra. Contoh kata-kata yang tidak ada pada kamus Anandakusuma: antuk, satmaka, yadiastun. Contoh kata-kata yang tidak ada pada kamus Djendra: ampura, pianak, tresna.
Tujuh puluh persen adalah sebuah angka sangat rendah untuk ukuran sebuah kamus. Bayangkan jika seorang pelajar tidak bisa memahami 30 persen dari teks yang sedang ia pelajari. Kata-kata yang tidak ada di kamus pun bukan kata-kata yang tidak umum dipakai. Abet (perilaku), yadiastun (akan tetapi), sanggra (sambut), adalah kata-kata yang sering digunakan baik dalam bahasa tulis atau pun percakapan sehari-hari.
Kedua, tidak ada bantuan untuk mencari kata berimbuhan. Pembaca yang tidak familiar dengan awalan (“daar” menjadi “madaar”) ataupun bunyi sengau (“tunas” menjadi “nunas”) akan sangat kesulitan menggunakan kamus Bahasa Bali. Ketiga kamus yang saya teliti hanya mencantumkan kata-kata dasar. Jika anda ingin mencari kata “nyongcong”, “katur”, “nigtig”, maka anda harus tahu terlebih dahulu bahwa kata dasar dari masing-masing kata adalah “congcong”, “atur”, dan “tigtig”.
Jika kata berimbuhan dicari dalam bentuk lengkapnya dalam kamus-kamus Sutjaja, Anandakusuma, dan Djendra, angka 70 persen itu akan turun lagi secara signifikan.
Ketiga, tidak ada informasi mengenai kata halus atau tidak halus. Bahasa Bali mengenal banyak tingkatan bahasa. Tidak sekadar tingkatan bahasa halus dan bahasa biasa. Bahasa halus pun memiliki beberapa tingkatan, antara lain Alus Singgih, Alus Madya, dan Alus Sor. Bahasa biasa juga masih bisa dibagi menjadi Bahasa Kepara (kata-kata tidak halus dan tidak kasar), Bahasa Mider (kata-kata universal, bisa dipakai pada kalimat halus maupun kasar) dan Bahasa Kasar.
Tidak ada satu pun dari tiga kamus yang diteliti yang mencantumkan perbedaan tingkatan ini secara terperinci.
Keempat, tidak ada standardisasi ejaan. Masalah lain yang saya hadapi adalah tiadanya standardisasi ejaan. Apakah yang benar itu “due” atau “duwe”? “Rauh” atau “rawuh”? “Madasar” atau “medasar”? Karena belum adanya kesepakatan mengenai ejaan, maka proses pencarian di kamus pun menjadi jauh lebih sulit. Pengguna kamus harus melakukan pencarian 2-3 kali sebelum menemukan kata tepat. Itu pun jika kata yang dicari terdapat dalam kamus tersebut.
Kelima, tidak ada penjelasan terhadap istilah-istilah khusus. Istilah-istilah seperti “tedun”, “yadnya”, “sukla” terkait erat dengan budaya Bali. Mereka tidak memiliki padanan persis dalam Bahasa Indonesia. Akan tetapi, semua kamus yang saya punya tidak berusaha menjelaskan definisi dari masing-masing kata tersebut.
Mereka hanya mencantumkan satu-dua kata Bahasa Indonesia yang artinya tidak sama persis dengan Bahasa Balinya. “Tedun” tidak sama persis artinya dengan “turun”. “Tedun” juga berarti “datang” atau “hadir”, dalam kaitan kehadiran roh suci dalam upacara Agama Hindu. “Yadnya” tidak hanya memiliki arti “upacara” saja. “Sukla” pun rasanya tidak pas jika hanya diterjemahkan sebagai “belum dijamah”.
Karena berbagai permasalahan yang baru saja saya uraikan, proses belajar sementara saya hentikan. Pada akhirnya, saya bisa menangkap 80-90 persen dari percakapan pada saat acara, baik marerasan atau pun majauman, berlangsung. Dan sebenarnya peran saya dan istri dalam pembicaraan formal pun sangatlah terbatas.
Yang masih tertinggal adalah rasa penasaran. Apakah permasalahan-permasalahan yang saya temukan itu terbatas hanya pada kamus-kamus yang kebetulan saya beli? Apakah ada kamus lain yang lebih baik? Apakah saat ini sedang ada upaya untuk menyusun kamus yang lebih berguna? Jika tidak ada, masih pantaskah jika kita sering-sering mengeluh mengenai menurunnya minat dan penggunaan Bahasa Bali di kalangan generasi muda, tanpa berbuat apa-apa untuk meningkatkan kualitas bahan ajar Bahasa Bali itu sendiri?
Catatan:
Kamus-kamus Bali-Indonesia/Inggris yang saya gunakan dalam penulisan artikel ini adalah:
Sutjaja I G M (2000), Practical Balinese-English English-Balinese Dictionary, Denpasar, Bali Post
Ananda Kusuma S R (1986), Kamus Bahasa Bali, Denpasar, CV Kayumas
Djendra I Njoman (2009), Kamus Ideal Bahasa Bali 100.000, Denpasar, Yayasan Dharma Pura
Hasil pencarian di Internet menunjukkan bahwa ada beberapa kamus Bahasa Bali lain di pasaran. Akan tetapi, saya belum berhasil mendapatkan kamus-kamus tersebut di toko buku di Denpasar:
Barber C (1977), A Balinese-English Dictionary, Aberdeen University
Kersten J (1984), Bahasa Bali, Penerbit Nusa Indah, Ende
Shadeg N (1977), A Basic Balinese Dictionary, Dharma Bhakti, Denpasar
Simpen I W (1985), Kamus Bahasa Bali, PT Mabhakti, Denpasar
Sutjaja I G M (2004), Kamus Indonesia – Bali – Inggris, Lotus Widya Suari / Universitas Udayana, Denpasar
Van der Tuuk H N (1897), Kawi – Balineesch – Nederlandsch Woordenboek, Landsdrukkerij, Batavia
Warna I W et al (1993), Kamus Bali-Indonesia, Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali, Denpasar
Tambahan: Saya berhasil mengakses kamus Shandeg (1977), yang digunakan sebagai referensi oleh kamus online (http://kamus.baliwae.com). Hasilnya tidak jauh beda, hanya 66% kata sample yang ditemukan dalam kamus ini. Tapi, kamus ini memiliki keunggulan yaitu dilengkapi dengan keterangan Alus Sor-Singgih dan versi onlinenya bisa menemukan kata berimbuhan 🙂
Silahkan datang ke rumah saya dan anda bisa periksa koleksi saya; mungkin yang anda cari ada di saya (Apa yang anda cantumkan di sini semuanya ada di saya). Sutjaja
Sdr. Sudewa, mungkin kita harus memulai memecah segala macam teks tulis berbahasa bali menjadi [1] koskata, dan [2] kosa-kalimat. Dari dasar kerja seperti ini kita akan memiliki data dasar untuk kosakata terpakai dalam berbagai macam teks dan sekaligus data dasar pemakaiannya. Penentuan biasa/lumrah, alus (sor atau singgih), umum/generik (untuk loanwords terutama) dan kasar untuk setting tertentu akan bisa ditentukan dari sini. Bagaimana dengan penggunaan kata-kata yang tampak ‘kasar [sekali]’ sebagai penanda keakraban untuk kelompok penutur tertentu?
Tolong saya diemail untuk rencana besar yang selalu berkecamuk di benak saya. Kita butuh uniting dan united force untuk ini. Slam, Sutjaja
Terima kasih atas komentarnya …
Pak Sutjaja emailnya apa?
Suksma
Suksma, puniki genah tiang ring email: [email protected]. Rarisang angge genah mabligbagan sareng-sareng. Janten jaga mikolihang pikenoh banget pisan. Punika sane aptiang tiang. stj
nice prof. sangat membantu untuk anak-anak belajar bahasa Bali.