Awal bulan ini, aktivis ForBALI mengalami intimidasi dan pemukulan.
Pada saat Presiden Joko Widodo membuka pawai Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivis ForBALI dihalang-halangi bahkan dipukul. Alasannya absurd banget, karena memakai kaos Bali Tolak Reklamasi.
Dua aktivis Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), Suriadi Darmoko dan I Wayan Adi Sumiarta, bahkan mengalami pemukulan. Dari semula hanya dihalang-halangi dan intimidasi, mereka kemudian dipukuli orang-orang berpakaian preman yang mengaku ditugaskan atasannya.
Selain Moko dan Adi, belasan warga lain yang memakai kaos Bali Tolak Reklamasi saat menonton pawai PKB pun mendapat intimidasi dari aparat kepolisian maupun intel.
Pada saat yang sama, seperti biasa terjadi saat ada presiden ke Bali, baliho-baliho tolak reklamasi pun diturunkan tentara dan polisi. Kejadian yang terus berulang berkali-kali.
Sebagai bentuk kritik bentuk kritik terhadap pihak kepolisian yang membiarkan terjadinya tindak pidana, ForBALI pun melaporkan kejadian-kejadian tersebut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Eksekutif Nasional WALHI, Divisi Hukum ForBALI, dan ForBALI simpul Jakarta mendampingi korban Darmoko melakukan pengaduan kepada Komnas HAM Selasa kemarin. Laporan itu diterima langsung oleh Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani bersama staf di ruang pengaduan.
I Made Ariel Suardana, Koordintor Divisi Hukum ForBALI menyampaikan tiga pokok pengaduan kepada Komnas HAM. Pertama, perusakan dan penghilangan baliho tolak reklamasi Teluk Benoa oleh aparat keamanan jelang kedatangan Presiden.
Kedua, intimidasi dan larangan oleh aparat kepolisian kepada masyarakat untuk menggunakan kaos baju Bali Tolak Reklamasi pada pembukaan PKB ke-38 yang dihadiri Presiden RI.
Ketiga, kekerasan di muka umum pada saat yang sama di Lapangan Bajra Sandi, Renon, Denpasar, Bali oleh sekelompok orang yang diduga sebagai aparat negara kepada dua aktivis ForBALI. Tindak kekerasan tersebut juga disaksikan langsung aparat kepolisian. Namun, aparat di tempat kejadian tidak berusaha menghentikan tindakan tersebut dan dengan sengaja telah melakukan tindakan pembiaran.
Menurut Made Suardana, pemukulan terhadap aktivis ForBALI seharusnya dapat segera dilakukan tindakan hukum Penyelidikan, Penyidikan dan Penangkapan terhadap pelaku.
“Pihak Kepolisian seharusnya bisa melakukan tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan tersebut karena peristiwa tersebut bukan merupakan delik aduan. Terlebih lagi ada aparat Kepolisian di lokasi itu,” papar Made Suardana.
Sangat Terlatih
Suriadi, korban pemukulan menuturkan, dia dan Adi dihadang dan dikumpulkan pada satu titik. Selain mereka juga ada masyarakat lain memakai baju tolak reklamasi yang juga dipaksa kembali oleh Kepolisian. Usai dikumpulkan, menurut Suriadi terjadi adu mulut dengan pihak yang diduga aparat berpakain sipil. Beberapa aparat kepolisian berpakaian dinas ikut menyaksikan.
“Atas perintah atasannya kami dilarang menonton pembukaan Pesta Kesenian Bali oleh orang yang kami duga sebagai aparat karena kami memakai baju bali tolak reklamasi. Jika kami ingin menonton kami disuruh buka baju atau pulang dan ganti baju dulu,” papar Suriadi.
Suriadi dan Adi mereka bertahan dan tetap meminta diberikan jalan untuk menonton pembukaan Pesta Kesenian Bali. Sebab, memang tidak ada larangan tertulis menggunakan baju tolak reklamasi dalam menonton pembukaan Pesta Kesenian Bali. Aparat yang melarang juga tidak bisa menunjukkan aturan yang melarang mereka menggunakan baju tersebut.
Tapi nahas, upaya mereka bertahan akhirnya disikapi dengan kekerasan. Usai mendengarkan teriakan “keluar” lantas mereka didorong dan dipukuli. “Saya dipukul tepat di rahang kanan sampai tersungkur. Teman saya Wayan Adi Sumiarta dipukul leher belakang sebanyak tiga kali. Pukulan tersebut sangat terlatih karena diarahkan ke titik vital,” ujar Suriadi.
Sementara itu, Khalisah Khalid dari Eksekutif Nasional WALHI menyampaikan perlunya jaminan dan perlindungan terhadap aktivis lingkungan hidup. Mereka rentan mengalami tindak kekerasan. “Negara wajib melindungi masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, karena itu merupakan perintah UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” ujar Khalisah.
“Komnas HAM sebagai lembaga HAM Negara mestinya dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk melakukan pencabutan perpres 51 tahun 2014 dengan pertimbangan dan perspektif HAM,” desak Khalisah.
Lucu
Secara terpisah, Koordinator ForBALI Wayan Gendo Suardana, menyampaikan bahwa ForBALI memilih mengadukan ke lembaga negara seperti ke Komnas HAM. Artinya mekanisme hukum yang ada tetap ditempuh kecuali ke pihak kepolisian.
Hal ini sebagai bentuk kritik kami kepada kepolisian yang membiarkan terjadinya tindak pidana penganiayaan di depan mata mereka. Bahkan sebelumnya mereka terlibat aktif dalam menghalang-halangi kebebasan berekspresi warga.
Menurut Gendo, Komnas HAM mesti mengetahui bahwa di republik ini terjadi peristiwa lucu, di mana aparatur negara bersenjata ketakutan hanya dengan kaos Bali tolak reklamasi. Mereka sampai harus menghalang-halangi hak warga berekspresi. “Lucunya aparat malah membiarkan terjadinya pemukulan oleh oknum yang diduga adalah bagian dari aparat keamanan hanya demi kepentingan menghalangi kaos BTR digunakan warga yang menonton PKB,” ujar gendo.
Dari pengaduan yang disampaikan oleh ForBALI, menurut Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani memang ada dugaan pelanggaran HAM sehingga pihaknya akan memantau langsung kasus reklamasi Teluk Benoa. “Dari pengaduan yang disampaikan, kami menilai ada dugaan pelanggaran HAM karenanya kami akan memantau langsung,” ujar Siane.
Terkait rencana reklamasi Teluk Benoa itu sendiri, Komnas HAM juga menyampaikan akan memberikan perhatian khusus kepada isu reklamasi Teluk Benoa. Selain karena ada ancaman penghancuran lingkungan hidup, sosial, budaya dan religi masyarakat Bali, yang lebih penting adalah karena perjuangan masyarakat Bali yang menolak rencana rekalamasi Teluk Benoa semakin membesar.
“Potensi pelanggaran HAM akan semakin membesar seiring perjuangan masyarakat Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa semakin membesar. Jangan sampai kejadian-kejadian serupa terulang lagi,” ujar Siane.
Menurutnya, jika sebuah proyek seperti reklamasi Teluk Benoa yang mendapat penolakan dari masyarakat seperti dalam kasus reklamasi Teluk Benoa, harusnya proyek ini dibatalkan. “Proyek yang ditolak masyarakat itu asas kemanfaatannya diragukan. Apalagi kawasan tersebut dulunya konservasi dan diubah menjadi pemanfaatan,” lanjutnya.
“Ini kan proyek yang dilegalkan karena adanya Perpres tersebut. Karenanya, harusnya bisa dibatalkan,” pungkas Siane Indriani.
Di dalam surat pengaduan yang disampaikan, ada tiga hal desakan dari ForBALI kepada Komnas HAM. Pertama, meminta Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan atas pengaduan ini berdasarkan bukti-bukti awal sebagai bentuk kesungguhan dan itikad baik kami selaku pengadu.
Kedua, melakukan penyelidikan tindak pidana yang diakukan secara terstruktur dengan menggunakan aparat negara termasuk tindakan pembiaran. Terakhir, menerbitkan rekomendasi untuk dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. [b]