Harus ada aturan untuk melindungi masifnya toko oleh-oleh ataupun toko-toko yang masuk hingga pelosok desa.
Akhir Mei lalu, Mitra Bali memperingati ulang tahunnya yang ke-19. Tak hanya bergerak di bidang bisnis kerajinan, Mitra Bali juga menerapkan 10 prinsip fair trade dalam bisnisnya tersebut. Mereka juga mengampanyekan fair trade tak hanya di Bali tapi juga Indonesia. Ada 10 prinsip fair trade, antara lain mengurangi kemiskinan, kesetaraan gender, keberlanjutan lingkungan, dan tidak adanya tenaga kerja anak.
Mitra Bali anggota World Fair Trade Organization (WFTO), organisasi payung bagi lembaga-lembaga di dunia yang menerapkan fair trade.
Agung Alit mendirikan Mitra Bali pada tahun 1993. Salah satu motivasi Gung Alit, panggilan akrabnya, karena banyaknya pengrajin yang menjadi korban dalam sistem perdagangan di Bali. Ketika pemilik art shop justru menikmati keuntungan tingginya barang kerajinan, para pengrajin masih mendapatkan harga lebih rendah. Pengrajin tak mengetahui berapa harga karya mereka dijual kepada pembeli. Tak ada transparansi.
Hampir dua puluh tahun kemudian, tak adanya transparansi kepada para pengrajin tersebut masih terjadi. Tak hanya pengrajin, pedagang souvenir di pasar-pasar tradisional, seperti Kumbasari, Denpasar dan Sukawati, Gianyar pun kini terancam oleh masifnya pembangunan toko oleh-oleh besar di Bali.
Sekretaris Jenderal Federasi Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga peraih Ashoka Fellow ini menceritakan kegelisahannya terhadap nasib para pengrajin di Bali dan perjuangannya mewujudkan fair trade di Bali maupun Indonesia. Obrolan santai sambil wawa-wewe ini di kantor Mitra Bali di Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar dua pekan lalu.
Bagaimana komentar terhadap maraknya pusat oleh-oleh di Bali?
Menurutku itu bagian dari korporasi juga. Bentuk lain dari Wall Mart tapi di tingkat lokal. Jelas itu membunuh toko-toko kecil, terutama pasar oleh-oleh yang sudah punya ciri khas Bali, seperti Sukawati dan Guwang.
Apalagi toko oleh-oleh menawarkan komisi untuk guide. Toko di pasar oleh-oleh kemudian menawarkan komisi juga sehingga terjadi perang harga. Hancurlah mereka (pasar oleh-oleh kecil). Yang paling merasakan dampak itu middle man, bukan pengrajin. Ibu-ibu yang jualan di pasar itu middle man. Selain pengrajin, mereka juga middle man.
Penyebab jatuhnya mereka itu kebijakan?
Jelas. Kebijakan kan mewakili pemodal. Monopoli juga akhirnya. Kalau dibawa ke Krishna (salah satu pusat oleh-oleh di Bali), mereka akan dapat komisi. Sama kayak art shop. Mereka bekerja sama dengan sopir bus dari Jakarta.
Yang pernah aku lihat persis di Kertalangu Desa Budaya. Ada pasar oleh-oleh. Mereka yang menampung wisatawan dari Jawa, jadi tempat menginap sekaligus tempat belanja. Mereka punya tempat parkir besar dan memberikan komisi.
Apa di balik itu?
Pertanyaan di balik maraknya pusat oleh-oleh adalah seberapa jauh dia menetes ke bawah? Bagaimana pembayarannya dari toko oleh-oleh kepada middle man dan pengrajin. Apakah sudah cukup fair?
Sistem kerjanya juga sangat industrialisasi semua. Bahkan lukisan lebih lucu lagi. Mereka tak lagi melukis tapi cetak dengan scan-scan itu. Kayak menjiplak. Sudah kodian. Komodifikasi barang seni. Aku tak tahu harus melihat dari perspektif mana, berkah atau musibah. Kalau seniman sudah menjiplak itu bagaimana.
Pada akhirnya harus ada kesadaran pada kedua belah pihak. Konsumen maupun produsen. Konsumen juga harus dididik. Jangan berprisnip yang penting harga terjangkau. Daripada bingung mencari kan mending langsung ke toko oleh-oleh. Apalagi budget mereka juga terbatas. Ini beda dengan konsumen kelas menengah Jakarta. Kan tidak begitu. Lihat saja Teater Salihara. Tiketnya selalu habis.
Hubungannya dengan pasar oleh-oleh bagaimana?
Dengan kualitas barang. Kualitas produk di pasar oleh-oleh juga sama dengan kualitas barang lima ribuan. Kembali ke kemampuan daya beli. Konsumen yang masif itu kan belum tentu cerdas. Dari segi bisnis memang oke tapi dari sisi seni jelas jauh. Seni sudah serupa komoditas kacang. Itu bagian dari pop culture.
Seharusnya bagaimana menghadapi itu. Kan banyak pengrajin dan art shop bangkrut?
Kalau di kerajinan itu bervariasi kasusnya. Banyak yang gulung tikar bukan karena kerajinan tidak laku tapi karena pembayaran tidak beres. Banyak hotel dibangun di desa-desa sehingga pengrajin beralih jadi tukang agar punya pendapatan lebih pasti. Kalau jadi buruh bangunan mereka bisa dapat Rp 50.000 per hari dan pasti sedangkan jadi pengrajin belum tentu dibayar (oleh pengepul). Bukan kerajinan tidak laku tapi pembayaran tidak beres.
Sistemnya bagaimana selama ini kok tidak bisa dibayar?
Sederhana. Kalau pekerja di kampung. Biasanya tergantung barang dan tingkat kesulitan. Kalau kerajinan bintang, itu bi sa dikerjakan di sela waktu luang. Mereka tak punya sumber pendapatan tunggal. Bervariasi. Ada dari kerajinan, buruh bangunan, dan mengerjakan lahan orang.
Kayak kerajinan sederhana, seperti bintang, bisa dikerjakan pada malam hari. Paginya dia ke ladang atau jadi buruh bangunan. Itu rantai pertama.
Kalau putihan, bawa ke pemesan sebagai middle man yang juga pengrajin tapi karena order besar jadi dilempar ke petani lain. Mereka individu, bukan koperasi. Mereka biasanya disebut boss. Dari middle man kita pekerjakan. Mereka pekerjakan tukang cat. Pengrajin itu tidak semua bisa ngecat. Ada yang pintar bikin putihan tapi belum tentu pintar ngecat. Sebaliknya yang tukang cat belum tentu bisa bikin putiha.
Dari middle man kemudian ke toko oleh-oleh. Dari sini yang sulit dilacak apakah tokonya memberi uang muka atau tidak. Kalau kami pasti memberi uang muka kepada pengrajin. Dari toko oleh-oleh baru kemudian konsumen.
Jadi, ada empat pihak dalam rantai pemasaran kerajinan. Pengrajin, middle man, toko oleh-oleh, kemudian konsumen?
Iya. Kalau ekspor lain lagi. Pengrajin, middle man, agen (kargo) yang mereka juga main, ekspor. Kadang ada pengrajin, middle man, middle man di negara tujuan, baru konsumen. Tapi bisa juga pengrajin, middle man, middle man, middle man lagi baru konsumen akhir. Itu harus dipotong.
Kalau rantai di Mitra Bali bagaimana?
Yang kami lakukan kurang lebih sama tapi kami fair di pembayaran. Kami melakukannya di depan, sesuatu yang jarang ditemukan di tempat lain. Kami juga memberikan pelatihan. Pembayaran itu penting karena ada konsep solidaritas dan saling membantu. Kadang kami malah belum dapat pembayaran dari buyer tapi kami sudah bayar 50 persen kepada pengrajin. Kami juga membantu bahan baku kepada pengrajin. Kami melatih mereka desain dan tren terbaru. Juga membantu memperbaiki tempat kerja.
Apa bedanya pembayaran di Mitra Bali dengan tempat lain?
Bervariasi. Ada yang minta 30 persen ada yang 50 persen. Kalau kami di Mitra Bali mengikuti bagaimana maunya pengrajin. Ini yang tak ada berani melakukannya. Kalau dengan orang baru, kami biasanya 30 persen. Setelah tim kami ke lapangan, tahu bagaimana dia bekerja dan dia bagus melayani pekerjaan, maka kami akan berikan 50 persen.
Berapa lama proses untuk tahu dia baik atau tidak?
Satu kali order saja. Tapi kami berkali-kali ke rumahnya. Setelah itu kami pasti bayar 50 persen tapi dengan catatan dia mau memperbaiki jika ada barang yang belum memenuhi standar. Setelah dua tiga kali order lagi dan dia bagus, maka terserah dia mau berapa persen uang mukanya. Kami pasti kasih. Malah kadang begitu barang sampai di sini, kami langsung lunasi.
Kalau di tempat lain?
Paling mentok 30 persen. Setelah itu harus menunggu at leas satu bulan. At least. Kalau Mitra Bali hanya mingguan. Malah kadang langsung lunas. Tapi kan tidak fair kalau aku yang bilang begitu. Lebih baik tanya pengrajin.
Kenapa pembayaran uang muka 30 persen itu tidak fair?
Karena mereka pasti akan menahan. Namanya bisnis murni kan ya pasti cari untung. Kalau bisa ditahan dulu pembayarannya, maka mereka akan tunda. Tapi kami tidak karena kami menerapkan fair trade. Bahkan middle man harus harus kita potong. Kami prioritaskan pembayaran.
Sekarang dengan berapa banyak pengrajin?
Pengrajin tak bisa dilihat dari kuantitas. Kalau dulu kami bekerja dengan sekitar 50 group. Unit keluar. Masing-masing unit keluarga ada yang 40 kepala keluarga. Paling sedikit 10 KK. Ini kan bukan produk massal.
Mereka rata-rata mengerjakan sambilan?
Jam kerjanya beda. Mereka tidak pakai waktu kantoran. Dia setengah. Paling mulai 10 atau 11 pagi. Mereka tak punya sumber pendapatan tunggal. Misalnya juga punya kebun jeruk. Dia juga pengrajin. Bisa saja dia juga buruh bangunan atau punya sapi.
Besarnya sumbangan pendapatan dari kerajinan terhadap seluruh pendapatan?
Bervariasi. Biasanya yang sudah memutuskan sampai punya toko kerajinan, itu hampir 80-90 persen. Kadang dia juga calo tanah. Kalau rata-rata 60 persen.
Kira-kira berapa persen sumbangan kerajinan kepada ekonomi Bali?
Mungkin 40 persen. Dari 40 persen itu sebagian besar pengrajin menengah. Kalau terlalu kecil mereka tak bisa hidup karena pasti dieksploitasi. Mereka mau bikin kerajinan karena cepat dapat duit meski mereka merugi. Itu saja. Jualan saja mereka tak bisa. Makanya kami juga berikan pelatihan untuk mereka.
Bagaimana Mitra Bali menerapkan prinsip-prinsip fair trade?
Memang susah menjelaskannya. Tapi contohnya begini. Mana ada pengusaha yang mau membangunkan WC untuk pengrajin di kampung. Kayak begitu bagaimana menempatkan. Contoh lainnya adalah warga di Abuan, Kecamatan Kintamani, Bangli. Dari sisi jumlah kerajinan mereka menyumbang kecil kepada Mitra Bali. Sekarang mereka justru beralih ke jeruk. Kami support mereka karena itu yang lebih baik bagi mereka.
Sebelumnya kami dukung mereka untuk menanam pohon belaluan yang juga bisa jadi bahan baku kerajinan. Tapi panennya menunggu enam tahun. Belum lagi harus menghadapi puting beliung dan penyakit. Kalau jeruk bisa dapat lebih banyak. Di mana kita bisa menempatkan fair trade dalam konteks itu? Kalau kita saklek (kaku) ya tidak mungkin kita diperbolehkan. Daripada dia jual tanah dan masuk jurang kemiskinan.
Bagaimana penerapan prinsip-prinsip lain, misalnya perempuan, dalam fair trade?
Ini memang agak sulit. Jujur saja kita memang belum punya program khusus untuk pengrajin perempuan. Yang bisa kami lakukan adalah dia membayar ongkos tukang. Dia harus membuktikan bahwa perempuan tersebut dibayar. Kalau memang skillnya bagus, maka bayarannya sama.
Untuk menolak child labour, dia harus menyerahkan KTP ke sini. Dari situ kami melacak. Kalau dia masih di bawah umur, berarti tidak boleh bekerja. Kalau hanya untuk transfer skill. Harus ada tertutlis.
Pemantauan tak hanya dari Mitra Bali kan?
Ada sertifikat dari WFTO. Untuk makanan FLO (Fairtrade Labeling Organization). Tapi itu milik WFTO juga. Dua tahun sekali sertifikasinya akan diperbaharui. Ada self assesmnet. Kita undang pengrajin. Mereka yang melakukan scoring tanpa aku ada di sana. Yang memberikan skor adalah pengrajin dan staf. Hasilnya kemudian dikirim ke WFTO. Mereka kemudian akan melakukan inspeksi lewat pembeli setiap tahun. Pembeli dari Amerika, Belanda, dan seterusnya. Mereka juga melakukan self assesment.
Pangsa terbesarnya ke mana?
Kami ekspor terbanyak ke Amerika. Kayak krisis kemarin kami drop sehingga pindah ke Eropa. Kalau per buyer, Italia paling besar.
Kalau di Indonesia belum banyak yg menerapkan fair trade?
Secara gaung lebih meningkat. Dilihat dari keanggotaan FFTI bertambah terus. Malah ada perusahaan tambang yang ikut. Ada juga perusahaan khusus produk recycle dari Jakarta. Tapi kami harus selektif. Sekarang ada 10 anggota. Sebagian besar masih di produk kerajinan. Kalau simpatisan banyak. Ada yang belum jadi anggota WFTO tapi sudah masuk FFTI. Banyak yang bisnis murni, bukan LSM.
Isu fair trade juga berkembang dengan nama lain, misalnya social entrepreunership. Itu yang lebih mudah dipahami daripada fair trade. Mitra Bali sendiri bukan LSM tapi small scale business.
Tapi isu fair trade di Indonesia belum terlalu berkembang?
Yang lebih banyak berkembang justru dengan nama lain. Social entrepreuner justru lebih top. Padahal itu intinya fair trade. Ada yang CSR (Corporate Social Responsibility). Kayak itu bagaimana menempatkan apa yang kami lakukan di Abuan. Order di sana juga tak banyak. Tapi kami peduli pada keberlanjutan.
Sayang kami tak banyak duit di FFTI. Kalau duit ada, kami maunya kembangkan ke seluruh Indonesia. Buton harus mengembangkan lagi. Lombok, Sumbawa. Tapi dana tidak ada. Tak ada dana tak ada yang mau berjalan.
Kalau tanpa fair trade aku tak tertarik untuk berbisnis. Lebih baik jad pegawai bisa Bahasa Inggris. Selesai.
Mitra Bali dulu punya toko di Centro, Kuta. Sekarang masih?
Sudah tidak ada. Dulu manajernya sangat perhatian dengan fair trade tapi ownernya tidak. Kami dikejar untuk bisa setor tiap bulan Rp 25 juta. Kami harus bersaing dengan toko-toko besar. Ya tidak mungkin. Kami punya barang-barang kecil nyetor Rp 15 juta per bulan saja sudah besar.
Yang menarik lagi waktu aku dapat Ernst & Young, di antara sekitar 200 pengusaha. Semua pegang peta pulau Bali dan ngajak jual beli tanah. Ngeri sekali.
Jadi semua hidup karena melanggar aturan?
Kalau dulu ada PP 10. Kalau ada yang mau buka toko semacam Circle K, mereka bisa kena PP 10. Seharusnya ada aturan main untuk melindungi masifnya toko oleh-oleh ataupun toko-toko yang masuk hingga pelosok desa. Gubernur yang harus melakukan itu. Otonomi Bali harus di tingkat provinsi, bukan di tingkat dua. Tidak seperti sekarang karena semua daerah berlomba-lomba meningkatkan PAD meskipun itu menghancurkan Bali sendiri.
Tulisan lebih pendek dalam Bahasa Inggris dimuat The Jakarta Post.
pengerajin jarang yg bisa makmur karena hasil kerjanya dihisap oleh cukong di atasnya. seperti dibilang gung alit, mata rantai hingga barang sampai di kosumen terlalu panjang. tapi pertanyaannya:apa betul bangkrutnya pengerajin dan art shop karena kehadiran pasar oleh2 semata?saya kira faktor penyebabnya tidak tunggal. ada juga penyebabnya karena bad-habit dari art shop itu sendiri. yang jelas tata hubungan pengerajin-pengepul-artshop/pasar seni, kudu dibuat clear.siapa yang harusnya melakukan itu?ya, pemerintah lewat Dinas Perdagangan.masalahnya kini, pernah nggak hal-hal begini jadi kajian serius pihak pemda ataupun otoritas lainnya yg berwenang? ada nggak yg memikirkan persoalan ini seserius Mitra Bali, misalnya? makanya saya setuju kalo Gung Alit kita dapuk jadi Kepala Dinas Perdagangan Propinsi suatu saat nanti? Bagaimana setuju???