Anak-anak berseragam olahraga berkumpul di halaman sekolahnya.
Pagi itu, siswa SD 1 Jatiluwih, Tabanan satu per satu bergegas mengganti pakaian mereka dengan seragam kegiatan bertuliskan “Hancur Subak, Hancur Budaya Bali”. Leo, salah satu murid, terlihat sumringah wajahnya.
Menurut Ketua Subak I Nyoman Sutama kegiatan bersama anak-anak SD setempat ini baru sekali ia ikuti. Sebelumnya hanya ada tamu lokal, mancanegara atau mahasiswa yang ingin meneliti tentang subak serta pariwisata di Bali.
Kegiatan dimulai pukul 8 pagi. Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani mengatakan senang bisa berkegiatan bersama 40 anak-anak dari kelas 3, 4 dan 5.
“Hari ini kita akan belajar bersama sama mengenal Subak lebih dekat bersama Pak Nyoman, kakak fasilitator, petani serta guru yang hadir,” tambahnya.
Sebelum melihat subak, dua fasilitator yaitu Kak Herni dan Lhya membagikan alat tulis untuk bekal anak-anak mencatat. Kelompok dibagi menjadi tiga. Setelah semuanya siap, anak-anak berjalan lebih kurang 1 km menuju sawah. Dalam perjalanan anak-anak ramai meneriakan yel yel tentang subak.
Usai berjalan melewati pematang sawah, anak-anak duduk rapi di tempat yang telah disediakan. Pak Nyoman menjelaskan tentang subak. Menurut keterangan beliau subak telah menjadi warisan Dunia, tepatnya pada 29 Juni 2012. Saat itu, Badan PBB untuk urusan Pendidikan, Keilmuan dan Budaya (UNESCO) pada sidang ke 36 di Rusia mengesahkan bahwa budaya Subak di Bali sebagai World Culture Heritage.
Peristiwa yang menarik ketika anak-anak secara bergantian menanyakan apakah subak itu, apa yang terjadi jika subak tidak ada, mengapa sistem subak kadang ada air kadang air disurutkan, apa perbedaan gandum dengan beras?
Ketika kita berkegiatan di luar ruangan maka semua mata pelajaran bisa terkait.
Hujan pertanyaan menandakan anak-anak sangat menyukai belajar di luar ruangan.
Menurut Catur ketika kita berkegiatan di luar ruangan maka semua mata pelajaran bisa terkait. Ambil contoh ketika melihat padi, kita bisa belajar biologi. Melihat pohon kita bisa menghitung diameter pohon yang terkait dengan pelajaran matematika.
Kehidupan sosial serta masyarakatnya juga bisa dipelajari. Masih banyak kegiatan yang bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran.
Guru guru pun dilatih untuk kreatif sehingga membuahkan hasil anak didik secara maksimal.
Meski sekarang Bali sedang dihadapi dengan berkurangnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan, pekerjaan sebagai petani juga dianggap sebagai pekerjaan kelas bawah. Akibatnya, banyak orang pergi ke kota.
Hal ini berbalik dengan pernyataan Pak Nyoman ketua subak.
Menurut Pak Nyoman, daro sistem subak justru kami mengambil tenaga dari luar, banyak turis asing yang datang untuk melihat subak, sehingga berjamuran warung warung makan. Beras merah organik pun kami olah dengan disangrai sehingga bisa menjadi teh tuturnya.
Matahari hampir berada tepat di atas kepala. Anak-anak bergegas kembali ke sekolah. Tiga kelompok kemudian mempresentasikan hasil temuannya.
Agar mempresentasikannya maksimal, satu kelompok dipecah menjadi dua. Maka, terdapat enam kelompok. Menariknya, mereka mempresentasikan dengan cara berbeda. Ada yang membuat lagu, puisi serta menceritakan gambar yang mereka buat bersama.
Karena sempitnya waktu, tidak semua kelompok mempresentasikan temuannya.
Di daerah lain semakin hari subak juga menemui tantangan. Misal saja ketika ada pemekaran wilayah, sumber air kini tidak lagi berasal dari desanya, tentu bisa menjadi masalah.
Untuk itu penting dilakukan pendidikan lingkungan hidup agar semuanya bisa lebih arif mengelola lahan pertanian. Pak Nyoman berharap agar kegiatan ini bisa berlanjut. Harapan besarnya agar subak ini bisa menjadi muatan lokal yang masuk di mata pelajaran anak-anak sekolah di Bali. [b]