Pariwisata di Bali ibarat pisau bermata dua.
Dari sisi positif, dia membuka lapangan pekerjaan baru. Pariwisata pun meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pariwisata juga menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat Bali, terutama aspek sosial dan budaya. Kedatangan wisatawan ke Bali menyebabkan masyarakat sering berhubungan atau melakukan kontak dengan orang luar.
Kontak dengan budaya-budaya baru itu tampaknya mengubah cara masyarakat Bali untuk berinteraksi dengan alam dan lingkungan sosialnya. Masyarakat semakin eksploratif, konsumtif, praktis, dan individualis.
Perilaku masyarakat yang silau pariwisata ini berimplikasi terhadap ketaatan terhadap peraturan yang ada. Bagaimana misalnya menyikapi lahan benilai ekonomi tinggi namun menurut aturan tak lahan tersebut tidak boleh dibanguan? Kita tahu jawabannya. Masyarakat Bali memilih melanggar peraturan dengan segala risiko hukumnya. Mereka tak mau membiarkan keuntungan dari pariwisata raib begitu saja.
Sebagai contoh aturan tentang sempadan pantai banyak dilanggar pemilik lahan yang berdekatan dengan pantai. Dilematis lagi, karena sebagian besar pemilik lahan di kawasan-kawasan strategis seperti itu bukan pemilik pemerintah tapi masyarakat.
Bagaimana melarang aktivitas masyarakat hanya dengan aturan dari dalam dokumen tanpa ada upaya koordinasi dari pemerintah?
Masyarakat dengan mudah berkilah, “Kenapa lahan saya tidak boleh dibangun? Apa untungnya bagi saya jika saya mengikuti aturan tersebut?”
Ini tentu kembali ke konsep, insentif dan desentif. Perlu ada pembagian silang antara masyarakat yang diuntungkan (masih boleh membangun) dan masyarakat yang dirugikan (tidak boleh membangun) karena adanya aturan sempadan.
Jalan tengahnya tentu bukan berapa meter jarak sempadan pantai namun apa yang boleh dibangun pada kawasan tertentu. Itu yang semestinya menjadi bahan pertimbangan bersama. Dengan demikian masyarakat tidak dirugikan dan pemerintah sebagai stakeholder mampu menata wilayah dan masyarakatnya.
Ada beberapa contoh pembangunan fasilitas pariwisata yang merangsek daerah pantai meskipun pantai tersebut public area. Dalam peraturan pun tidak diperbolehkan membangun di situ. Namun, karena pertimbangan ekonimi akhirnya,.. ya boleh juga!
Contoh tersebut terjadi di pantai Batu Mejan, Kuta Utara; pantai Labuan Sait, pantai Suluban, Kuta Selatan; dan pantai Bingin, Kuta Selatan. Di tempat-tempat ini fasilitas pariwisata dibangun mepet pantai sehingga menghilangkan public area.
Gambar di atas hanya sedikit contoh dari banyaknya kasus pembangunan yang melanggar sempadan pantai. Masih banyak lagi contoh pelanggran seperti pelanggaran sempadan sungai, daerah kawasan suci dan sebagainya.
Namun, aturan pun semakin samar-samar saja kalau sudah dihubungkan dengan kegiatan pariwisata yang menghasilkan dollar.
Tumpang tindih aturan provinsi dan kabupaten serta niat mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah Bali agar lebih lunak dengan memenuhi kepentingan investor tak pernah selesai dibahas. Entah itu tentang sempadan pantai atau kesucian pura.
Sering sekali kita dengar aktivitas hotel yang jelas-jelas melanggar peraturan namun sudah mendapat izin Pemerintah Kabupaten. Padahal, dia tidak mendapat restu dari pemerintah provinsi. Ini tidak lagi masalah ketidakberesan peraturan saja, tetapi masalah koordinasi struktural antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pusat justru tak bisa menahan atau membendung perencanaan atau pembangunan yang sudah direstui pemerintah kabupaten.
Inilah kehebatan otonomi daerah. Pemerintah kabupaten lebih unggul dari pemerintah provinsi. Padahal, jika koordinasi berjalan dengan baik, pemerintah provinsi dan kabupaten harus memiliki kesamaan visi dan sinergi. Pertama, peraturan dibuat bersama. Kedua, penegakan bersama terhadap peraturan yang disepakati tersebut. Bukan malah saling berebut kepentingan.
Keseimbangan
Ketika era reformasi tiba, beberapa kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan ke daerah. Hal ini merupakan bentuk otonomi daerah. Salah satunya bidang perencanaan. Sebagai pemangku daerah yang tahu potensi dan masalah daerahnya, tentunya perencanaan ini diharapkan memperoleh hasil optimal.
Namun apa yang terjadi? Raja-raja kecil bermunculan. Eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan di hari esok. Atas nama rakyat segalanya boleh dijual. Yang penting dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Atas nama desa adat, pembangunan villa boleh melanggar sempadan pantai dan sempadan kesucian tempat ibadah. Pelangagran boleh dilakukan asal mendatangkan kesejahteraan untuk masyarakat.
Menurut saya perencanaan yang baik sekarang dan ke depan adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bisa dilakukan melalui model konsultatif maupun kemitraan.
Partisipasi masyarakat model konsultatif antara pihak pejabat pengambil keputusan dan masyarakat yang berkepentingan. Anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu. Namun, keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut.
Adapun partisipasi masyarakat model kemitraan adalah di mana pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra relatif sejajar. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, dan membahas keputusan.
Ada beberapa alasan pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan (Wingert dalam Mashud: 2006). Pertama, masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted). Kedua, sebagai strategi mendapatkan dukungan masyarakt (public support). Bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.
Ketiga, sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif. Keempat, sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Sebab, bertukar pikiran dengan masyarakat dapat menigkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasess).
Alasan terakhir, sebagai upaya untuk “mengobati” masalah-masalah psikologis masyarakat. Misalnya perasaan ketidakberdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.
Tentu saja pendapat, kritik dan saran yang disampaikan ini harus diterima. Hal ini demi kebaikan proses perencanaan agar hasilnya bisa dinikmati masyarakat secara penuh dan menyeluruh. Perencanaaan yang berhasil dan ideal tentu menjadi harapan bersama. Perencanaan akan berimplikasi terhadap kualitas kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek.
Kualitas hidup yang baik tersebut merupakan mimpi bagi seluruh komponen bangsa. Dengan demikian, kita tak hanya menjadi bagian dari negara dunia ketiga, namun naik peringkat menjadi negara dunia kedua, atau bahkan pertama. Hal ini bisa terwujud jika manajemen, perencanaan dan manajemen wilayah serta komponen penting lainnya jauh di atas rata-rata. [b]
Menarik ulasannya, nampaknya keseimbangan dari berbagai kepentingan harus memang ditata, sehingga istilah pisau bermata dua tidak banyak menelan korban masyarakat kita.
Good post..
trims komentnya.. mari bljar brbgi tlisan, & pmikiran..