Forum Peduli Gumi Bali (FPGB) dengan tegas menolak upaya revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali.
Selasa kemarin, beberapa beberapa perwakilan FPGB yang terdiri dari Walhi Bali, Mitra Bali, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali, Sloka Institute, Frontier-Bali, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Bali, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unud dan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Denpasar mendatangi gedung DPRD Bali. Mereka ditemui oleh Wayan Disel Astawa, S.E selaku ketua pansus RTRW Propinsi Bali serta jajaran DPRD Bali lainnya.
Kedatangan mereka untuk menolak rencana perubahan RTRW yang dihasilkan pada rapat bupati se-bali yang dimotori pansus penyempurnaan RTRWP Bali.
Dalam dialog yang berlangsung sekitar satu jam itu, FPGB menyampaikan dasar-dasar penolakan revisi atas perda RTRWP. Beberapa poin revisi yang menjadi perhatian antara lain radius kawasan suci, ketinggian bangunan dan radius kawasan suci.
Komang Sastrawan, wakil Koordinator FPGB menyatakan bahwa ketinggian bangunan seharusnya tidak perlu kembali dikaji ulang karena jika diubah akan bertentangan dengan nilai kearifan lokal yang diwarisi secara turun temurun.
Kadek Sumadiarta, Ketua KMHDI Bali secara tegas menolak bila radius kawasan suci harus direvisi. Hal ini dinilai bertentangan dengan bhisama tentang radius kawasan suci yang menjadi acuan bagi masyarakat Hindu Bali. “Kami juga menolak bila bhisama dihilangkan dari pasal RTRWP,” tegas Ketua KMHDI Bali ini.
Sempadan pantai yang juga menjadi kontroversi karena bersinggungan dengan akses publik dan kepentingan ekonomi pun tak luput dari pembahasan. Haris, salah satu perwakilan FPGB menyatakan bahwa sempadan pantai haruslah mengacu pada UU no 26 tahun 2007. Dalam UU tersebut ditetapkan sempadan pantai harus berjarak minimal 100 meter.
“Hal ini tidak lain ialah sebagai upaya untuk adaptasi dan mitigasi bencana agar tidak banyak terjadi kerugian material,” jelas Haris yang juga Sekjen Frontier Bali. Haris menambahkan, sempadan pantai ini juga berfungsi sebagai ruang publik untuk melakukan aktifitas adat dan budaya.
Jajaran DPRD Bali pun menanggapi pernyataan FPGB. Suwandi, S.Sos, Wakil Ketua DPRD Bali menanggapi bahwa bhisama ini dihilangkan dari pasal utama agar Perda RTRW ini selaras dengan hukum nasional. “Sekalipun kata-kata bhisama dihilangkan, tetapi rohnya tetap dipertahankan dalam konsep kawasan Maha Wana, Tapa Wana dan Sri Wana,” jelas Suwandi.
Namun oleh Kadek Sumadiartha, hal ini dianggap mereduksi bhisama itu sendiri. “Bisa saja nantinya jarak kawasan suci yang ditetapkan bhisama akan dikurangi,” tegas Ketua KMHDI Bali ini.
Wayan Disel Astawa, Ketua Pansus Penyempurnaan RTRWP Bali, menyatakan bahwa kontroversi yang menyangkut sempadan pantai ini sudah dikonsultasikan kepada Dirjen Pekerjaan Umum (PU). “Dirjen PU menyatakan bahwa aturan 100 meter jarak sempadan pantai merupakan aturan normatif yang bisa disesuaikan dengan kondisi topografis wilayah,” papar Disel.
Namun, Haris berpendapat bahwa penafsiran Dirjen PU tersebut belum bisa dijadikan acuan untuk merubah aturan 100 meter yang ditetapkan undang-undang. “Secara hirarki peraturan, undang-undang mempunyai posisi lebih tinggi, dan penafsiran itupun bersifat lisan, serta belum mempunyai kekuatan hukum,” tegas perwakilan FPGB ini.
Sastrawan, Wakil Koordinator FPGB menyatakan bila pansus tetap memaksakan revisi RTRW maka akan dilakukan upaya hukum. ”FPGB melalui salah satu anggotanya akan melakukan upaya hukum yakni gugatan Judicial Review,” tegas Sastrawan yang juga Deputi Eksternal Walhi Bali ini. [b]