Para tuna netra ini mahir memainkan musik dan bahkan berselancar di dunia maya.
Murid-murid di sekolah ini berseragam olahraga hijau. Di punggung mereka tertulis, SLB/A Negeri Denpasar. Pagi itu, setelah olahraga, mata pelajaran pertama dan kedua, mereka berkumpul di aula. Mereka sedang kedatangan tamu dari TK Anak Mas.
Dede, salah seorang dari mereka, murid kelas 3 SMA di sana. Ia satu-satunya murid berseragam yang berdiri di podium. Di depannya turut bersanding keybord Yamaha berwarna silver. Satu melodi dimainkan. Bersamaan, Devi (8), suara bocah kelas 2 SD di sana, pelan mengudara.
Memeluk hari penuh dengan ceria/ Bertahan ku di balik kabutmu / Kita nikmati bersama indahnya dunia/ Seperti pelangi seperti bintang/ Meski ku berbeda…
Bocah itu bernyanyi dengan fasih. “Dia sudah pernah rekaman,” kata Gede Purnama, guru Seni Budaya. Lagu yang dinyanyikan Devi berjudul Indahnya Dunia. Liriknya diciptakan Ayu Wandari, siswi SLB A Negeri yang juga bersekolah di SMA PGRI 1 Denpasar. Adapun aransemennya dikerjakan Rahtut, personil Triple X.
Menjelang siang, kira-kira pukul 11.00 mereka bubar. Beberapa anak berkumpul di ruangan seni. Lima murid menuju posisi mereka, mencari alat-alat musik yang biasa mereka mainkan. Dede memainkan keybord, Andi menabuh drum, Santika memetik bass, Aris main gitar, dan Riski bernyanyi. Bergantian mereka melagukan The Reason-nya Hoobastank dan What I’ve Done-nya Linkin Park.
“Untuk mencari kunci gitarnya langsung dengerin aja bisa nyari-nyari. Tapi ga ya serapi itu,” jawab Santika. Sesekali dia mengomando temannya di setiap jeda untuk mencari nada yang pas.
Meraba
Bel berdentang tiga kali, jam pelajaran usai siang itu. Sebagian dari mereka telah dijemput orang tua. Sisanya ada yang tinggal di asrama.
Pukul 12.30 Wita. Meja di kantin telah diisi anak-anak asrama. Waktunya makan siang dengan menu sayur kol berkuah dan daging babi sisit. Kokinya, Ni Wayan Kariani yang sudah setahun lebih memasak buat anak-anak ini.
“Aku suka makan ayam kecap dan sayur kangkung,” seloroh Mang Dewi. Komang Trisnadewi (18) juga tinggal di asrama itu. Dia, sejak tahun 2010 sudah bersekolah di SMA PGRI 1 Denpasar. Sepulang sekolah, segera ia menunaikan tugas piketnya. Menyiapkan dan membereskan makan pagi, siang dan sore.
Sehabis makan siang, jadwal mereka adalah istirahat. Di ruang makan sudah ditempel jadwal mereka sehari-hari. Anak-anak itu menuju ruang tidur masing-masing. Anak perempuan di gedung atas sisi selatan ruang makan sedangkan anak lelaki di gedung atas sisi utara.
Di bibir tempat tidur, Riski dan Gusde ngobrol. Riski asal Banjarmasin. Dia baru sebulan di SLBN/A Negeri Denpasar ini. Dulu ia sempat bersekolah hingga bangku SMP. “Mata saya glukoma,” ujarnya sembari memetik gitarnya lirih. Riski belajar main gitar dari temannya via telepon. Dengan meraba-raba senar ia memetakan tiap kunci.
Di sisi kanan mereka, ada Rifan dan Enriko bermain catur. Catur mereka, salah satu bidang warnanya timbul dan satu kelompok bidak catur dibedakan dengan tanda pentol jarum. Tiap-tiap bidak berdiri ditancapkan pada sebilah pendek bambu. Bergiliran mereka meraba masing-masing bidak dan mencari posisi pasnya untuk memakan pion lawan. Sudah ada 2 kuda dan 1 pion didapat Enriko. Sedangkan Rifan mendapat 2 pion dan 1 kuda.
Anak-anak lain tampak asik dengan kegiatannya. Gunawan di pojok ruangan masih memegang ponselnya yang sedang memutar lagu pop Indonesia. Dede yang berjalan medekat ke arah Rifan juga memegang ponsel. Tapi ia sedang mendengarkan siaran berita liputan siang SCTV di Youtube. Sayup terdengar: “…tiga orang terluka dalam kecelakaan itu…” Rifan pun menimpali, di mana itu.
Dede sang pemain keyboard, bercerita ia suka mendengar berita lewat ponselnya. Mereka, anak-anak ini juga familiar dengan perangkat teknologi. “Ini memakai Talks,” ujar Dede. Talks semacam aplikasi pembaca layar yang memudahkan mereka menggunakan perangkat seperti ini. Selain Dede, ada juga Yulius yang memerlihatkan ponsel Nokia Birunya. “Ini dia lagi bilang kontak yang di hape,” katanya menjelaskan suara laki-laki bule dengan aksen Britishnya yang cepat.
Ngeblog
Selain ponsel, mereka juga dikenalkan dengan fitur-fitur yang bisa digunakan dengan mengakses internet. Di ruang komputer, Dede memperlihatkan blognya. Dia baru menulis sejak April 2011. Postingan-nya masih ada 4 tulisan, 2 di antaranya berupa cerpen.
“Sejak 2009 mereka telah dikenalkan dengan perangkat komputer,” ujar Fajar Apriani Guru teknologi informasi (TI) di sana. Sejak kelas 1 SMP mereka sudah diajar mengenal hardware. Di kelas 2 mereka telah dikenalkan dengan huruf-huruf latin di keyboard. “Patokannya ini tanda huruf F dan J,” tambahnya.
Komputer itu dilengkapi dengan aplikasi pembaca layar, macam JAWS dan NVDA. Dengan bantuan perangkat itu, anak-anak ini bisa membaca tiap teks yang diucapkan oleh suara dari dalam komputer.
Dede lalu saya kenalkan dengan situs Balebengong.net agar ia juga bisa berbagi cerita. Teman-temannya yang lain, seperti Santika dan Aris juga memiliki blog. Beranjak ke tingkat SMA, mereka sudah dikenalkan dengan email dan blog. “Kalau kita bisa melihat dengan mata, ya mereka menggunakan pendengarannya,” ujar Fajar. Fajar bersama dua guru lainnya mengajar IT di sana.
Di ruangan sama, juga terdapat alat serupa printer. Ada kata Norway di sana. “Ini kami ngeprint di sini,”ujar Fajar. Alat pencetak itu buatan Norwegia dan diberikan tahun 2000 lalu. Ada 5 buah namun cuma satu yang masih berfungsi. Dan satunya lagi agak rusak dan tinggal 1 ini,” ujar Fajar. Untuk mencari suku cadangnya, menurut Fajar, di Indonesia agak susah. Pernah ia temukan ada di Bogor, tapi entah itu asli atau palsu. Sedangkan Braillo Norway Model 200 Series II ini bahkan sudah tidak dicetak lagi di Norwegia.
Mesin pencetak ini menjadi vital sebab buku-buku pelajaran bertulisan latin yang dipakai, harus dicetak ke huruf braille dengan mesin ini. Kertasnya pun khusus. “Dulu sekalian dikirimi kertas berkontainer dari Norway,” ujar Fajar.
“Yang susah itu karena (mesin printer) tinggal 1 dan suku cadangnya tidak ada di Indonesia,” keluh Fajar. Sekolah ini memang sekolah negeri. Untuk biaya operasional ditanggung pemerintah daerah dan pusat. Tamu yang datang berkunjung ke sini, kerap menyumbang logistik seperti makanan dan pakaian.
Mereka, kata Kepala SLB/A Negeri Denpasar, Drs. Ngakan Made Dirgayusa, menggunakan kurikulum yang sama: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hanya saja ada beberapa materi yang disesuaikan dan ditransliterasi ke huruf Braille. “Untuk satu halaman berhuruf latin bisa sampai 2-3 halaman berhuruf braille,” jelas Fajar.
Mereka mendapat materi akademik yang sama dengan sekolah umumnya. “Ada dua mata pelajaran tambahan, orientasi mobilitas dan kespro,” kata Fajar. Materi orientasi mobilitas ini wajib dan itu berupa pelatihan saraf motorik, seperti berjalan di tangga, menyeberang jalan dan lainnya. Selain itu mereka juga diajarkan memijat dan keterampilan seni musik.
Ketut Rahadi, guru pijat adalah alumni sekolah ini. Sehabis kuliah ia melanjutkan sekolah dengan mengambil Konsentrasi Pendidikan Sekolah Luar Biasa di Bandung. Setelah tamat ia menjadi pendidik di sini. “Ada lulusan sini yang juga melanjutkan di IHDN, ada di UPI, Unesa,” uajrnya.
Lima murid angkatan pertama, dari keterangan Ida Ayu Pradnyani Mantara, Ketua Yayasan Dria Raba, pernah bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru Umum di SMAN 7 Denpasar. “Sekitar tahun 1970an. Mereka ikut sekolah integrasi,” tambahnya putri ketiga pendiri yayasan ini, Ida Ayu Putu Surayin.
Seperti halnya Mang Dewi dan Ayu Wandari yang bersekolah di SMA PGRI 1 Denpasar. Mereka menjadi murid dengan model sekolah integrasi. “Jika ada yang mau, dan dilihat kemampuan otaknya bagus bisa melanjutkan ke SMA umum,” lanjutnya. Bu Dayu, sebutannya bagi anak-anak, sedang menanti realisasi kebijakan sekolah inklusif. “Ada beberapa sekolah yang ditunjuk pemerintah, untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus,” jelasnya.
Aib
Sekilas sejarahnya, pendiri sekolah ini Ida Ayu Putu Surayin pernah disekolahkan pemerintah daerah ke Bandung tahun 1952. Tiga orang dengan konsentrasi yang berbeda. Dan sekitar tahun 1956 pulang ke Bali, bersama sekitar 15 orang mengajukan ke pemerintah provinsi untuk mendirikan sekolah.
Kemudian ia membangun yayasan, dan mulai mengajar. “Murid pertama kali dapat tiga, setelah bulan berikutnya ada murid nambah setelah dicari langsung,” ujarnya. Seiring itu untuk membiayai operasional sekolah, Ida Ayu Putu Surayin mengajukan ke pemerintah agar sekolahnya ditanggung pemerintah. “SK SLB/A Negerinya keluar tahun 1962,” jelasnya.
Tanah ini, menurutnya dihibahkan dari penglingsir Puri Pamecutan. Dibantu mendirikan bangunannya oleh TNI Front Nasional Pembebasan Irian Barat dan segenap pihak. Untuk urusan operasional yayasan, ada dibantu Departemen Sosial RI. “Rp 3.000 per kepala per hari untuk 25 anak,” ujarnya. Sisanya, tambahnya, dicarikan dana swadaya.
Dulu, kisah Dayu Prad, pernah ada anak hingga 50 orang. “Di tahun 1960-1970an, saya sering diajak ibu keliling desa-desa, nyariin anak-anak yang kaya gini. Dulu suka disembunyiin. Anak-anak ini dianggap aib, dicemooh makanya disembunyiin,” ceritanya.
Seiring itu di awal 1990an publik mulai terbuka dengan menitipkan anaknya yang berkebutuhan khusus di SLB/A Negeri Denpasar. “Tahun ini SLB/A negeri ini memiliki total murid 73 murid dengan gabungan anak tuna netra dengan berkebutuhan khusus,” jelas Kepala SLB/A Negeri Denpasar. Sedangkan di asrama, ada 37 anak.
Anak-anak di sekolah ini berusia 7-24 tahun. Mereka kehilangan penglihatan ada yang sedari kecil, atau ada yang tiba-tiba. Santika karena saat SD pernah dilempar sepatu di matanya, dan perlahan pandangannya mengabur dan menjadi gelap gulita. Enriko karena pemberian dosis antibiotik yang berlebihan. Gus Ita yang dulunya pintar menggambar, baru kehilangan penglihatannya ketika mau masuk bangku SMA.
Menjelang sore, di ruang makan, Mang Dewi, Santika, Rifan, Enriko, Dede, Gunawan, Andi duduk satu meja. Dua di antara mereka, Gunawan dan Andi baru selesai mencuci. Santika baru saja datang dari Bank BRI berjalan kaki dengan tongkatnya. Mang Dewi sedang mengerjakan tugas Bahasa Inggrisnya, menulis teks pidato dengan huruf braille.
Dibantu Reiglet biru, semacam alat bantu untuk menulis huruf Braille dan penanya ia menulis. Mang Dewi sudah 11 tahun, sejak tahun 2000 di sini. Ia bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya tinggal di Pecatu.”Kalau ingin pulang dijemput,” katanya. Dede, Gede Satria, sejak tahun 1999 menjadi penghuni asrama.
Di sela percaakapan, Sumerta anak kelas 3 SMA SLB/A N ini sedang membenahi posisi jemuran lipat. Enriko hidungnya baret karena terjatuh. Mereka bisa mendengar berita, lagu, memainkan musik bermain catur, mencuci pakaian, mengangkat rak tivi kecil, mebanten, dan lainnya. Mandiri. “Ya kalau mereka ga mandiri, siapa lagi yang mengurus diri mereka,” ujar Dayu Prad. [b]