Bali pada umumnya dikenal sebagai pemeluk agama Hindu terbesar di Nusantara.
Beragam upacara keagamaan bernafaskan Hindu selalu menjadi “referensi” bagi umat Hindu di wilayah lainnya di Indonesia, seperi Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Namun tak menyangka, di Bali pun terdapat umat Hindu minoritas di tengah “kemayoritasannya”.
Lokasinya di Banjar Untal-untal, Desa Dalung, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Sebagian masyarakat Bali mungkin tahu hal ini. Pertama kali masuk ke banjar tersebut, saya dan rombongan mahasiswa disambut bangunan berarsitektur Bali. Gapura megah nan mewah itu terletak di sebelah kanan jalan. Namun, itu bukan Pura maupun puri para raja terdahulu sebagai peninggalan sejarah. Bangunan tersebut tempat sembahnyang umat Nasrani lengkap dengan simbol di gapura bangunan tersebut.
Jika dilihat sepintas, tak menyangka itu adalah “Rumah Allah” lengkap dengan bale kul-kulnya.
Namun, lebih mengagetkan lagi, tepat di depan bangunan tersebut terdapat gapura sangat sederhana. Begitu kontras dengan gapura pertama. Itulah Pura masyarakat Untal-untal, di mana tempat berlangsungnya interaksi upacara yadnya desa, setiap hari raya tiba.
“Kok gini, ya. Ini Bali, lho. Wajar kalau di luar Bali seperti ini,” ucap salah satu teman.
Sungkan
Memang benar adanya. Bangunannya yang begitu kontras terlihat menjadi keprihatinan kawan saya, termasuk saya sendiri. Setelah itu, kami coba untuk menanyakan warga keberadaan tokoh di sana, seperti Kelian Dinas dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
Tepat di sebelah selatannya terdapat warung. Terlihat dua perempuan menyambut dengan senyum. Seperti warung orang Bali pada umumnya, begitu sederhana.
Kami mencoba menanyakan keberadaan rumah Kelian Dinas dan PHDI setempat. Dengan santun ia menggunakan bahasa Bali halus (Sor Singgih). Kami pun sungkan. Namun, dengan berat hati kami tanyakan dengan Bahasa Indonesia, meskipun tak nyaman menggunakannya.
“Tak apalah, yang penting ia ngerti maksud kami,” pikir saya. Dalam warung saya perhatikan tak ada plangkiran, tempat yang diyakini umat Hindu sebagai tempat beristananya para dewata sekaligus tempat melakukan ritual setiap hari (mabanten) sebelum berkegiatan termasuk berdagang dimulai.
Akhirnya saya temukan pengganti plangkiran tersebut. Bentuknya pun jauh menyerupai dari tempat untuk melaksanakan upacara keagamaan Umat Hindu seperti biasanya; Salib! Ternyata itu pengganti plangkiran pemilik warung bersangkutan.
Saat teman sedang asyik menanyakan beberapa informasi tentang desa, saya tak berkutik banyak, dan mencoba memilih diam untuk sementara waktu.
Belum lagi di depan rumah warga setempat. Dengan gagah saya lihat papan nama warga bertuliskan ”I Putu Yohanes”, sebuah kombinasi nama sekaligus identitas umat di sana.
Pinjam
I Made Mulia, tokoh PHDI setempat, bertutur banyak mengenai desa dan keadaan umat yang heterogen di sana. Memang mayoritas pemeluk agama di sana Nasrani. Namun demikian, hidup berdampingan selalu terjalin dengan rukun. Bahkan, menurut pengakuannya, umat Nasrani yang terdiri dari pemeluk Katolik pun sering membantu Umat Hindu saat melaksanakan upacara keagamaan.
“Mereka juga waktu ini mapunia (sumbangan dalam bentuk materi), dari uang hingga konsumsi, untuk proses upacara karya Ngenteg Linggih ini,” katanya. Dia menuturkan upacara yang terselenggara pada 10 Agustus lalu.
Selain itu, menurutnya, selama ini umat Nasrani banyak membantu untuk hal teknis. Hal ini karena jumlah umat Hindu di sana hanya 23 Kepala Keluarga (KK), sisanya urban ke Denpasar. Apalagi upacara sekelas Ngenteg Linggih jelas dibutuhkan banyak tenaga dan biaya.
“Untung saja KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, red), dan masyarakat lain mau ke sini membantu,” tambahnya.
Meskipun usianya tak muda lagi, namun ia semangat dalam menjalankan swadharmanya. Sedikitnya umat Hindu di sana tidak membuat ia malu dan putus asa. Bahkan ia merasa jengah untuk terus membangun Hindu dan menggandeng umat lainnya yang ada di sana sebagai nyame (saudara).
Menurut Mulia, kalau umat Hindu melakukan upacara, mereka rajin membantu. Begitupun kalau di Gereja ada kegiatan, krama di Hindu akan membantu. “Pokoknya saling membantu,” tambahnya. “Bahkan gong pun kami pinjam di Gereja. Soalnya, saya kenal baik dengan pengelola di sana,“ urainya.
Ia juga menceritakan seorang oknum yang memanfaatkan keadaan umat Hindu di sana sekadar sebagai ajang pencitraan semata.
“Ada dulu orang ke sini bilang mau ngabdi. Namun, nyatanya cuma cari nama,” ungkapnya kesal terhadap seseorang yang pernah menawarkan bantuan untuk umat Hindu di sana.
Lelaki berusia setengah abad lebih tersebut mengaku bahwa selama ini ia belajar banyak dari umat lain dalam pembinaan umat. [b]
he, maf mas anton , lambat kirim foto,,udah saya kirim sih fotonya, kalau bisa di ganti ya, 🙂
wuichhh, saya jg kaget bacanya, apalagi pas liat fotonya.
ternyata benar yg pernah diceritakan oleh teman saya, ada umat hindu yg minoritas di pulau bali.
tapi tetap bangga melihat umat hindu dan umat beragama yg lainnya bisa hidup berdampingan.
salam kenal mas. 😀
keberagaman adalah keindahan Indonesia, salut buat Bali, meskipun dikenal sebagai mayoritas masyarakatnya memeluk Hindu tetapi hidup secara berdampingan dengan damai dengan umat lain, semakin kumencintai Indonesia
Kadang, ada orang yang tidak senang melihat keharmonisan dalam keragaman. Apa karena yang dilihat tidak seseragam mereka ya? Maaf, semoga dalam bulan yang ”suci?” pikiran baik datang dari segala penjuru.
Mau ralat sedikit.. itu bukan gereja Katolik tapi gereja Kristen Protestan..