Dua karangan bunga itu tegak saling menghadap, mengapit gundukan tanah yang baru saja dipamiti.
Di sebidang tanah seluas lapangan bola di Banjar Geluntung Kelod, Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan itu, dua jenazah baru saja dikuburkan. Di dalam salah satu liang lahat itu bersemayam tubuh I Ketut Salun, 43 tahun.
Salun diketahui meninggal Kamis, 14 Juli lalu, tepat dua hari sebelum Hari Raya Kuningan. Jasadnya diketemukan pagi hari. Lehernnya terjerat tali di dahan pohon nangka di kebun belakang rumahnya. Bapak dua anak ini meninggal karena bunuh diri. Sepenggal keterangan itulah yang diceritakan pada kami oleh ipar Ketut Salun. Kamis siang lalu kami datang.
Kami berencana melihat prosesi penguburan sekaligus memberi donasi Rp 500.000 dari para pembaca Bale Bengong. Sayangnya, momen itu terlewatkan. Kami tiba saat orang-orang sudah beranjak meninggalkan kuburan menuju rumahnya.
“Tadi baru habis diupacarai. Ditanamnya sudah Kamis sore setelah jasadnya diketemukan. Pas dapat dewasa, hari baiknya, baru dibikinkan upacara. Sebelumnya khan ada Kuningan, dan Manis Kuningan,” jelas iparnya yang duduk di sebelah saya.
Tiga air minum kemasan gelas diantarkan ke bale tempat kami duduk. Perempuan berkebaya brokat cokelat mulai bercerita sesekali di sela pertanyaan. I Ketut Salun, cerita iparnya itu, memang agak pendiam. Sebelum meninggal, katanya, Salun sering mempersoalkan biaya sekolah putrinya, Wayah Widiasih yang baru menjadi siswi kelas 1 di SMAN 1 Marga, Tabanan.
Takut
Dugaan bahwa Salun bunuh diri karena mahalnya biaya sekolah dikatakan juga oleh Ni Ketut Suka, 36 tahun, istri Salun. “Beberapa hari terakhir, dia terus bilang takut tak bisa biayai anak sekolah SMA,” katanya.
Suka tak terlalu menanggapi keresahan suaminya. Penghasilan tak menentu sudah menjadi teman hidup mereka lebih dari 15 tahun ini. Suka buruh angkut pasir musiman. Dia kadang membuat kue rumahan. Sementara Salun, buruh serabutan di desa sesuai permintaan orang. Misalnya mencarikan kelapa, rumput, dan memelihara seekor sapi milik orang lain.
Siang itu Salun merapikan sisa-sisa persembahyangan di bale dangin. Di sana terdapat beberapa perlengkapan upacara serta satu bale panjang, di atasnya aneka bebanten masih berserak.
Kami hampiri dia. Sesekali kami bertanya tentang upacara penguburan suaminya. “Ya setelah ini, lagi sembilan hari ada upacara lagi, ngerorasin,“ katanya. Upacara kematian di Bali memang memiliki banyak ritual yang mesti dilewati. Meskipun jasadnya belum diaben, dibakar karena alasan biaya, keluarga tetap memperlakukannya dengan istimewa. “Selama tiga hari, kami membawa punjung ke kuburan,” tambah Suka.
Setelah suaminya meninggal, Ni Ketut Suka kini janda dengan dua anak perempuan berusia 16 dan 4 tahun. “Tidak ada hal aneh sebelum suami saya gantung diri. Dia memang pendiam dan suka memikirkan sesuatu sendiri,” kata Suka.
Pada hari pertama anak tertuanya sekolah, seluruh keluarga berkumpul di sebuah bale. Mereka serius membicarakan mengenai hidup dan pendidikan yang makin sulit. “Dulu nunggak bayar SPP lima kali masih bisa sekolah. Sekarang tidak bayar sekali sudah dilarang masuk,” keluh Nyoman Lanes, kakak kandung Salun.
Berat
“Biaya gedung kan harusnya tidak perlu bayar, tapi sekarang tiap tahun semua murid bayar,” tambah Wayan Karen, sepupu laki-laki Salun. Ia mengatakan biaya pendaftaran anak Salun Rp 700 ribu dan SPP sekitar Rp 170 ribu per bulan membuat risau sepupunya itu. Tapi biaya itu sudah dibayarkan orang tuanya sebelum Salun gantung diri.
“Kami di sini ada 4 KK tinggal di satu areal, kalau ada yang perlu uang pasti dibantu sebisanya, apalagi untuk sekolah anak. Tapi Salun ini memang tidak suka punya utang,” ingat Karen. Karena berharap sekolah mau membantu meringankan biaya anak Salun di SMA. “Katanya sekolah mau, begitu katanya di koran,” ujarnya meniru omongan tetangganya.
Menyandang beban yang dianggap terlalu berat, Salun memilih jalan bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya. Bila saja perkara mati, seperti dalam kumpulan Cerpen Aryantha Soetama Tak Jadi Mati, disiasati dengan tidak benar-benar membinasakan diri, barangkali Salun bisa “lahir” kembali dengan gairah hidup yang baru, yang lebih menggebu.
Kini, Salun yang ada hanya sebuah lembar foto tersenyum memperlihatkan sebaris giginya. Barangkali itu kenangan termanis tentangnya yang terabadikan dalam potret itu. “Senyumnya seperti itu, persis sama ketika baru diturunkan dari pohon dan talinya dilepaskan,” ujar sang ipar.
Tidak Boleh
Menyikapi kematian Salun tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali Drs Ida Bagus Anom, tidak mau berkomentar secara khusus. “Saya tegaskan, Gubernur sudah mengirim surat edaran, tidak boleh ada satu pun siswa yang tidak bisa bersekolah lagi di Bali hanya karena biaya,” katanya.
Menurut Anom, surat edaran Gubernur Made Mangku Pastika itu harus disosialisasikan pemerintah kabupaten dan kota ke seluruh warganya. Apalagi menurut Anom, sudah banyak program bantuan pendidikan yang digulirkan untuk warga miskin. “Prioritas Gubernur adalah peningkatan SDM Bali. Dana pendidikan sudah lumayan, hampir 20 persen dari APBD Bali,” tambahnya.
Ia mencontohkan pemberian biaya operasional pendidik (BOP), dan beasiswa khusus untuk siswa miskin.
Beasiswa yang diberikan kepada siswa miskin untuk SD Rp 600.000 per orang setahun, SMP Rp 900.000/orang setahun dan SMA/SMK Rp 1,2 juta per orang setahun. “Tidak ada alasan bagi anak usia sekolah tidak menikmati pendidikan. Apalagi Bali ingin wajib belajar 12 tahun,” ujar Anom.
Pihak sekolah negeri kecuali rintisan sekolah berbasis internasional dilarang meminta pembayaran iran pendaftaran dan biaya sekolah karena sudah ada dana biaya operasional sekolah (BOS) dan BOP.
Anom mengatakan dana BOS pemprov Bali terakhir sebesar Rp 18 milyar untuk SD-SMP, dana BOP untuk SMA Rp 33 milyar, dan SMK Rp 33 milyar. Dana BOP itu rinciannya untuk masing-masing siswa SMA sebesar Rp400.000/orang setahun dan Rp500.000/orang setahun untuk SMK. Semuanya diatur sekolah sehingga tidak boleh menarik uang lagi dari siswa.
Di atas kertas, dana bantuan pendidikan itu terlihat meyakinkan untuk mengurangi besarnya beban orang tua menyekolahkan anaknya. Di lapangan, biaya-biaya itu tetap tak tersentuh warga miskin seperti Salun. Mereka kemudian jadi tumbal biaya pendidikan yang kian mahal. [b]
Artikel ini digabungkan dengan tulisan Luh De Suriyani.