Oleh Ema Sukarelawanto
Entah siapa yang gelisah, lebih dari 42 seniman Bali dengan rela hati mengumpulkan karyanya dalam sebuah pameran seni rupa bertajuk “Entitas Nurani” di Gedung Kriya, Art Centre Denpasar yang akan dibuka Sabtu, 31 Mei 2008 pukul 17.00 wita. Pameran ini bisa disebut agak lain dari kebiasaan, karena saat pembukaan dihadirkan tiga kandidat calon Gubernur Bali yang akan masuk masa pemilihan 9 Juli mendatang. Para kandidat juga diberi kesempataan untuk membuka pameran, setelah usai menyampaikan komitmen budayanya di hadapan para seniman.
Entah siapa yang gelisah, para seniman dalam kehidupannya yang lebih mementingkan ruang kreasi sehingga kehidupan mereka cenderung menjadi personal. Perilaku ini secara tak sadar telah membangun jarak cukup serius kepada politik. Bahkan akumulasi itu tumbuh menjadi stigma dan apriori (kadang berlebihan) atas perilaku para politikus yang mewarnai perjalanan berbangsa. Anehnya penggiat politik, tak pernah membaca geliat pikiran para seniman, mereka justru membiarkan keasyikan personal para seniman sebagai sebuah peradaban yang lain, sehingga stigma itu bagai dipupuk untuk tumbuh.
Bali, memiliki kegelisahan bersama, tapa berpretensi untuk mewakili seluruh seniman Bali, paling tidak 42 orang perupa – dari lingkaran trasisi hingga modern yang sudah memiliki nama di ranah kesenian – memaknai pameran Entitas Nurani ini penting dilakukan untuk memperpendek jarak komunikasi antara seniman dengan politik, antara seniman dengan pemerintah.
Made Wianta, perupa yang cakap dalam pembaharuan kreatif, membaca gagasan ini sebagai sebuah kegelisahan lama, di mana porsi kesenian dan kebudayaan di Bali memang saatnya mendapat perhatian kelembagaan yang independen dari pemerintah daerah.
Entitas Nurani, merupakan kreasi para seniman muda yang rela membagi waktu di antara kesibukan mereka berkarya. Sesungguhnya menyodorkan gagasan dan memfasilitasi terjadinya dialog budaya yang diharapkan melahirkan komitmen penting dari para calon gubernur dalam upaya mengembangkan kesenian dan budaya masyarakat Bali . Meski ada pemikiran pesimis, bahwa ke depan komitmen itu akan dengan mudah dibohongi, akan menjadi prasasti tak bermakna, itu bisa disikapi sebagai penganiayaan nurani, yang harus disadari akan meruntuhkan jatidiri kemanusiaan secara verikal dan horizontal.
Tapi, bila peristiwa budaya ini tidak dilakukan saat ini, dan kemudian gagasannya kita lemparkan setelah salah satunya menjadi Gubernur, boleh jadi mereka akan berupaya untuk menghindar dengan kesibukan yan lain. Padahal secara realitas Bali ini bergerak karena budaya dan kesenian
Lepas dari segala kekurangan, dalam rentang waktu tak lebih dari sebulan, gagasan ini tetap berjalan dengan dukungan penuh para seniman. Ini boleh menjadi modal dan semangat bagi panitia untuk lebih fokus bergerak.
Di Gedung Kriya, kawasan Art Centre Denpasar, pukul 17.00 wita, 31 Mei 2008 acara ini akan diawali denga orasi budaya, oleh para calon Gubernur Bali, khusus mengenai visinya dalam menjaga dan mengembangkan budaya dan kesenian Bali. Selanjutnya, ketiga calon akan menuliskan komitmennya masing-masing dalam kanvas. Dalam kesempatan yang lain Kanvas ini, dalam kesempatan yang lain akan direspon menjadi karya seni, pada saatnya kita serahkan kepada siapapun yang terpilih menjadi Gubernur Bali.
Ntah apa yang terjadi setelah itu, apakah Gubernur masih ingat dengan komitmennya, lukisan yang kita serahkan ialah prasasti budaya diharapkan menjadi cermin dalam membangun strategi dan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan budaya.
Peristiwa ini boleh menjadi awal penyadaran, selanjutnya akan terus berkumpul dalam diskusi, bertolak dari apa yang dituliskan para kandidat, untuk bisa disikapi bersama.
Penggagas acara:
Wayan Redika (perupa)
Made Kaek (pemilik galeri)
Ucok Donny Silalahi (event organizer)
Ema Sukarelawanto (jurnalis)
Penyelenggara:
Paros Gallery
Didukung oleh:
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali
Pelaksana:
4D Communications
semoga pemimpin bali kedepan tidak melupakan bahwa bali itu pulau budaya dan pulau penuh seni, sehingga dalam proses kampanye nanti bisa memasukkan unsur kesenian sehingga kampanye pilgub bali bisa mendatang kan keuntungan bukan kehancuran… semoga