Oleh Luh De Suriyani
Dua orang teman merekomendasikan Yamato, rumah makan Jepang di Sanur ini pada saya dan suami. Saya bilang belum pernah ke resto Jepang dan makan pakai sumpit. Ini akan menjadi pengalaman pertama.
Setelah janjian dengan pemilik Yamato, melucurlah Legenda kami ke Bypass Sanur. Saya bertanggung jawab ngecek jalanan bagian kanan. Suami saya ngecek bagian kiri jalan. Ternyata Yamato setelah perempatan pantai Sanur, sekitar 400 meter, kanan jalan dari arah utara.
Ada lampion kuning dipasang seperti penjor. Celingak-celinguk mencari pintu masuknya yang ternyata ada di dalam bengkel Mercedez. Rumah makan plus tempat tinggal pemiliknya ini memang berdampingan dengan bengkel itu. Jadi pintu masuknya jadi satu.
Sampai depan pintu ada tulisan open at lunch time 11.30-14.00 and dinner. Bukanya cuma pas makan siang dan makan malam. Oya, pas buka pintu sempat bingung. Ditarik daun pintunya kok susah? Eh, ternyata pintunya digeser.
Di dalam rumah makan ini sudah ada dua empat pria dengan wajah Japanesse. Pemilik resto terlihat menemani tamunya. Pemandangan yang langka. Kalau restoran Indonesia kan rata-rata bosnya cuma duduk manis di belakang meja. Tapi ini tidak. Bos restonya ikut menuangkan minum untuk tamu dan ngobrol.
Tiga makanan Jepang dipilihkan untuk kami. Sushi Seafood Roll Rp 37.000, Genghis Khan BBQ Rp 100.000 (untuk berdua), dan Zhangi Rp 34.000. Semua makanan dihidangkan sekaligus, tidak bertahap seperti misalnya appetizer dulu, lalu main course, dan dessert.
“Ini pengalaman pertama saya makan masakan Jepang. Apakah ada hal khusus yang harus diperhatikan?” tanya saya pada Sachiko Sakoda. Perempuan ramah ini menjawab tidak ada.
“Oya, saya juga belum pernah pakai sumpit. Tolong bawakan saya sendok garpu kalau-kalau saya kesulitan berat pakai sumpit,” pinta saya pada pelayan, yang menjawabnya dengan senyuman. Saya takut, sumpit saya tidak berhasil meraup makanan. Jadi, harus ada senjata cadangan, sendok garpu tadi.
Saya sudah tak tahan menyantap potongan sushi yang menawan sekali penyajiannya. Saya berhasil menyepitnya dengan sumpit. Takut jatuh, sushi itu saya makan hampir tandas. Tinggal serpihan nori, kulit pembungkus nasi sushi-nya.
Hmm, mengejutkan sekali. Nasinya pulen, seperti rasa ketan. Di dalamnya ada beragam potongan seafood seperti cumi, belut, bagian perut tuna, dan alpukat. Saya pikir sulit untuk makan seafood mentah. Eh, ternyata no problemo. Menurut saya, untuk sepiring besar sushi isian komplit begini, harga sushi ini di Yamato cukup murah. Wah, kalau nori gampang nyarinya, saya juga mau bikin sushi di rumah. Enyak..enyak..
Tapi karena kami liputan untuk majalah kuliner, kami semua tidak perlu bayar. gratis. ?
Hidangan kedua yang saat itu masih digodok pelayan adalah Genghis Khan BBQ. Wow, namanya saja sudah bikin merinding. Sajian ini terdiri dari daging domba yang diiris tipis-tipis lalu dipanggang di atas perangkat yang telah disiapkan. Minyaknya menggunakan saus saja. Karena tipis, daging ini dalam waktu singkat sudah matang.
Sayur-sayurannya juga menggoda. Potongan terong, bombay, labu, jamur, taoge, paprika, dan kol dipanggang juga bersama daging dombanya. Bau gurihnya langsung menyambar hidung.
Pelayan memberikan kami semangkok yang sudah siap santap. Fresh sekali. Daging dan sayurannya masih juicy, ditambah bumbunya yang minimalis itu memberikan citarasa asli bahan-bahan racikannya.
Menurut Sachiko, Genghis Khan adalah masakan yang cukup populer di Jepang.
“Kenapa namanya Genghis Khan? Bukannya itu kaisar China. Adakah kaitannya dengan hubungan Jepang dan China?” Empunya resto diam sejenak, dan mengatakan itu pertanyaan yang sulit dijawab. Dia tahunya nama itu sudah generik untuk makanan ini.
Nah menu terakhir Zhangi. Ayam dibungkus tepung tipis dan sangat crispy. Setelah 30 menit berangin-angin, si ayam tepung ini masih crispy sekali. Yang lucu, di luarnya crispy, daging ayamnya malah juicy, masih berair dagingnya. Why? Bagaimana masaknya tuh?
Menurut Sachiko, di Jepang, orang tidak terlalu suka daging ayam goreng yang garing, seperti olahan KFC itu. Lebih suka yang agak berair, jadi terlihat dagingnya lebih fresh dan baru.
Sungguh pengalaman menarik untuk saya. Benar kata jargon, makanan itu tak hanya untuk perut tapi untuk jiwa juga. Haha.. Kalau makanan enak, lalu dapat tambahan budaya baru, saya merasa lebih menghargai lebih banyak orang, koki asing yang meraciknya di dapur, atau orang beraneka bangsa di Yamato ini.
Soal tamu asing, menurut Sachiko memang tak hanya warga Jepang yang suka makan di Yamato. Cukup beralasan, karena saya lihat di daftar menunya ada banyak pilihan makanan Jepang yang telah dikombinasikan dengan gaya barat. Misalnya berbagai daging BBQ dan sup.
Selain makanan, Yamato memotivasi saya untuk lebih giat belajar pakai sumpit. Di masa depan, sepertinya akan sangat banyak makanan kaki lima di Indonesia yang memaksa kita pakai sumpit. Bahasa Mandarin dan Jepang sudah banyak yang mahir. Nah, sekarang giliran buka warung makanan China dan Jepang pakai gerobak dan tenda. Kalau ndak bisa nyumpit, pasti pedagangnya sewot.
Laper jadinya nok…
Kanggoang disini makan nasi pecel aja..
Udah murah, cuma 3rb rupiah perut meledak. 😀
hahahhahahaha kirain tentang sejarahnya Genghis Khan, ternyata cuman tempat makan….
huuummm yummy yummy…
saya tergila2 dengan Sushi!!!
untunglah di Bali juga ada Sushi Tei di.. kalau nggak salah Sunset Road, Kuta
tapi kalau keuangan lagi tipis, saya beli Sushi yang ada di Carefour..hiks hiks..
Hai lam kenal.
Kerja di majalah kuliner yaa?
Nama majalahnya apa?
Bs tolong email ke aku ga artikelnya ato link majalahnya, soalny aku lagi mengumpulkan artikel2 ttg makanan jepang dan mknan Asia lainnya.
Thx b4