Oleh dr Oka Negara
Karena sempat sakit dan istirahat cukup lama, akhirnya baru sempat posting hari ini. Tulisan ini dulu, yang tentang saya sakit dan tulisan tentang kesehatan seksual menyusul. Saya mulai dengan postingan yang serem juga judulnya. Tetapi ini memang terjadi. Jadi terdakwa gara-gara kena tilang. Hehe.
Karena pelanggaran yang masih belum jelas maksudnya buat saya dan bisa jadi juga buat yang lain. Waktu itu maunya makan siang, eh malah bertemu dengan bapak-bapak polisi zaman sekarang. Polisi zaman sekarang? Ya, tahulah maksudnya. Setelah berkenalan dengan bapak-bapak polisi, akhirnya dapat selembar kertas atau slip merah ini.
Lihat di pojok kanan ada tulisan ”terdakwa” kan? Hehe.Karena ingin berbagi, saya coba ceritakan pengalaman ini dalam dua bagian; saat tilang dan saat pengadilan.
Saat Tilang
Pada 19 Maret lalu, setelah menghabiskan waktu sejam lebih di Rainet untuk reply beberapa email, saya langsung tancap gas ke Gatot Subroto buat discuss something dengan Direktur PKBI. Tidak disangka, di perjalanan, perut ini memberontak, lapar menyerang dan karena kebetulan lewat di Jalan Gajah Mada yang sekarang terlihat lebih bagus (pantas saja sih karena ditata untuk kepentingan program Sightseeing Denpasar) tidak ada salahnya mampir di Warung Pojok I. Sudah lama tidak makan di sana.
Seperti biasa, di tengah keramaian, rambu-rambu sering terabaikan. Yang ada di kepala waktu itu maunya parkir di tempat biasa, di tempat mobil-mobil lain juga pada parkir, karena kebetulan hari ini bawa mobil. Dan yang paling penting tidak di bawah tanda dilarang parkir.
Tetapi dasar sial, mana Warung Pojok I tutup, eh kena semprit polisi. Katanya saya melanggar rambu-rambu dilarang parkir. Padahal saya jelas tidak parkir di bawah rambu dilarang parkir. Pak polisi bilang daerah mulai dari tanda dilarang pakir di dekat perempatan jalan Kartini sampai di area Warung Pojok I ini tidak boleh parkir. Hmm, banyak sekali unek-unek di kepala saya.
Pertama, saya sudah biasa parkir di situ bertahun-tahun lamanya. Kedua, di sana ada beberapa mobil parkir dan banyak sepeda motor telah parkir lebih dulu. Ketiga, saya parkir di area yang tidak langsung ada tanda dilarang parkir, bahkan ada tanda garis-garis parkirnya yang kata orang di sekitar sana memang buat parkir (apa bener ya?).
Awalnya waktu itu, Pak Polisi yang kalau selintas saya baca bernama Karyawan dan temannya yang gemuk (polisi sekarang pada gemuk juga ya) bernama Ketut Wijaya-kalau tidak salah berpangkat Aiptu, dengan wajah ditekuk-tekuk berlagak garang membuat saya tidak menaruh respect sama sekali di awal ”perkenalan” kami karena langsung mengintimidasi, meminta saya mendekat sambil mengeluarkan kata-kata tidak simpatik. Jauh sekali dari slogan “polisi sahabat anda” yang pernah didengungkan.
“Coba ke sini, sudah berkali-kali saya jaga di sini masih juga banyak kendaraan seperti Bapak yang parkir di sini,” panggilnya.
Saya spontan berpikir gini…wah, kalau sudah berkali-kali mestinya dipikir lagi ada kesalahan di mana, di rambu-rambu lalu lintasnya, di sosialisasinya, atau di mana.
“Maaf Pak Polisi, saya sudah biasa parkir di sini, itu juga ada beberapa mobil lain, dan banyak sekali motor. Ini kan juga ada garis tanda parkir!” jawab saya sambil menunjuk beberapa kendaraan yang juga parkir di sini.
“Semua kendaraan itu melanggar, mereka sudah saya peringatkan, kalau urusan garis ini bukan urusan polisi, tanya saja ke wali kota!” katanya lagi.
Ups, ketawa saya dalam hati, kalau begini berarti kerjanya polisi hanya menunggu orang melakukan kesalahan dong, tidak berupaya cari penyelesaian dari tanda-tanda yang ambivalen dan bikin bingung seperti ini.
“Ya, sudah Pak Polisi, saya ditilang saja! “ pinta saya.
“Bapak benar-benar minta ditilang? Ya sudah kalau mau penyelesaiannya lewat tilang pergi ke pinggir sana, saya panggilkan teman saya dulu!” ketusnya.
Haha, ini klasik sekali, walaupun masih belum jelas saya salah yang mana, dan yang mana mesti saya turuti tandanya, ya sudah mendingan saya ke pinggir, pilih ditilang saja. Uangnya bisa saya berikan buat negara, bukan buat kantong Pak Polisi ini. Dia sepertinya jadi bersungut-sungut dan segera beralih mengatur lalu lintas.
Saya lihat mobil dan motor-motor yang di sebelah saya pada ngeliatin saya, mereka juga sepertinya sudah distop sama polisi ini, tetapi kok saya tidak lihat mereka ditilang? Weleh, pada pilih damai di tempat rupanya. Lanjut saya menepi bersama satu orang lagi yang tadi datang parkir bersamaan dengan saya di tempat sama. Kita bersama minta tilang.
Polisi yang mendampingi saya, Pak Wijaya, cukup polos. Dan dia baru saja membuka buku tilangnya dari tasnya di depan saya. Berarti dari tadi nggak ada buka buku tilang dong? Ya sudah lah, singkat cerita saya pun menerima selembar slip merah tadi, dan sekali lagi, di pojok atas kanannya ada tulisan “terdakwa”. Dan saya diminta datang ke pengadilan sekalian menebus STNK yang disita tanggal 9 April. Nggak apa-apa, hitung-hitung nyari pengalaman. Pengalaman jadi terdakwa. Hehe.
Pesan saya nih, pertama, hati-hati parkir di Jalan Gajah Mada, katanya dari mulai perempatan Kartini sampai dekat perempatan Sumatra tidak boleh parkir, walau banyak garis tanda parkirnya. Kedua, buat Poltabes dan Pemkot, tolong dong koordinasi yang baik, kalaupun sudah, segeralah sosialisasi. Ketiga, kalau ada yang melanggar, minta tilang saja. Kan uangnya masuk ke negara, anggap saja menyumbang.
Btw, akhirnya saya makan siang di Gatsu. Karena penasaran, pulang dari PKBI saya lewati Jalan Gajah Mada lagi, ternyata bapak-bapak polisi yang ”gagah” tadi sudah tidak ada di tempat dan you know what, mobil-mobil serta motor-motor tetap pada parkir di tempat tadi dan malah tambah banyak jumlahnya…So?
Saat Pengadilan
Tanggal 9 April 2008. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu untuk menebus STNK. Datang mengikuti sidang tilang di pengadilan negeri. Ini bukan yang pertama saya ke pengadilan, karena sebelumnya pernah beberapa kali menjadi saksi. Tapi saya masih belum terlalu fit setelah habis sakit beberapa hari. Makanya jadi terlupa membawa kamera digital yang tadinya mau buat foto-foto sekedarnya untuk kenangan saya pernah jadi pesakitan di pengadilan. Sebenarnya untuk mengikuti sidang ini bisa diwakilkan oleh siapa saja. Dan identitas juga tidak diperiksa.
Benar saja, saya tiba di pengadilan negeri pukul sepuluh kurang lima belas menit. Begitu sampai di parkiran, langsung disambut seorang laki-laki berpakaian atas hijau muda-dan bawah hijau tua, dengan sangat ramah dan membantu saya memarkirkan kendaraan. Wah, ini baru pemberi layanan publik yang baik, pikir saya. Saya menebak orang ini adalah petugas di pengadilan negeri. Dan dugaan saya memang benar. Selanjutnya dia bertanya, apakah saya akan mengikuti persidangan.
”Saya mengikuti persidangan tilang, Pak” jawab saya.
”Wah, kalau begitu bapak bisa saya bantu,” kata bapak ini.
”Maksudnya bagaimana, Pak?” tanya saya.
”Begini…” lanjut bapak ini.
Petugas pengadilan tersebut selanjutnya menjelaskan bahwa pengadilan tilang biasanya mulai agak molor, sambil menunjuk ke arah ruang sidang tilang. Dia bilang kasihan kalau saya menunggu terlalu lama. Biasanya pukul 12 siang baru mulai. Dia menyerahkan ke saya mau nunggu atau dia bantu. Ternyata dia bisa bantu mewakili saya untuk ikut pengadilan, jadi saya tinggal datang di atas pukul 12 untuk mengambil STNK.
Karena ini kasus pelanggaran rambu lalu lintas, dan setelah melihat slip merah tilang saya, dia menyebutkan angka Rp 30.000,- buat ongkos dendanya plus jasa dia. Walahh…..,ternyata dia ini ngerangkap calo pengadilan juga. Calo kecil-kecilan. Pantesan ramah dan helpful. Ada maunya rupanya. Saya sempat goyah juga tadinya, karena memang hari ini banyak agenda juga yang harus dikerjakan setelah pukul 12. Tetapi saya ingin mengikuti sidang ini biar tahu jalannya.
”Maaf Pak, begini saja, saya coba tunggu dulu, siapa tahu jadualnya tidak terlalu molor, tetapi kalau nanti molor sekali, saya hubungi bapak lagi,” jawab saya untuk menutup pembicaraan.
Ternyata sudah banyak yang menunggu di luar ruang sidang. Ada sekitar duapuluhan orang. Beberapa pada ngobrol seadanya sambil menunggu panggilan sidang. Tepat pukul sepuluh teman saya, dr. Asdi Rahmat Hidayat, saya biasa memanggilnya Mamack, juga datang. Sudah lama sekali tidak berjumpa. Mamack salah satu teman baik saya. Mamack sekarang kerja di RS Darma Usada. Mamack kena tilang juga. Nah, sekarang jadi lebih asik, karena ada temen ngobrol beneran.
Mamack sudah dua kali ikut sidang pengadilan tilang, semuanya karena menerobos lampu merah. Sambil membunuh waktu menunggu sidang, jadinya ngobrol tentang profesi dan pelayanan publik. Di sekitar ruang sidang tidak ada tulisan, tidak ada tanda pengumuman dan tidak ada petugas yang mengarahkan tentang sidang ini. Termasuk jadual di papan pengumuman pun tidak ada.
Ternyata ruang sidang yang ditunjukkan oleh petugas di luar tadi sebagai sidang tilang hari ini rupanya juga baru saja akan dipakai persidangan kasus lain. Kasus perdata apa gitu. Lah, terus sidang tilangnya di mana? Lima belas menit dari pukul sepuluh saya coba tanya di depan apa saya sudah benar menunggunya. Ternyata dibilang benar ruangan yang akan dipakai sidang perdata tadi adalah ruang sidang untuk tilang. Weleh, pasti ada yang keliru ini. Malah ruang sidangnya sudah dipakai persidangan. Sudah mulai. Jangan-jangan memang benar mulai pukul 12. Hmm, kalau begitu buat apa ditulis dan diminta datang pukul 10. Ya sudah, tunggu saja. Sambil lanjut pembicaraan tentang buruknya kualitas pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dengan Mamack.
”Yang ikut sidang tilang, harap masuk ke ruang ini…!!” teriak-teriak petugas pengadilan, membuyarkan diskusi serius saya dengan Mamack. Pukul 11.10. Jadi sudah lewat satu jam sepuluh menit dari jadual. Hmm, sepertinya petugas pengadilan yang berbaju hijau hijau di depan ada benarnya juga, katanya kan jam sidang bakal molor. Tapi karena sudah niat ikut pengadilan ya dijabanin, asal jangan lewat pukul 12 saja. Well, andaikan petugas di sini mau susah sedikit saja untuk menulis di papan, atau ada semacam humas yang memberitahukan pengunduran dan perpindahan ruang, mungkin saja bapak petugas yang tadi tidak perlu teriak-teriak lagi.
Seperti yang saya duga. Persidangan tidak susah. Juga tidak pada substansi penting dari tilang. Yang penting hadir, dipanggil, dibacakan kesalahan dan bayar. Titik. Sudah bisa pulang. Sidang yang dipimpin seorang hakim berkumis tebal, yang saya tidak ketahui namanya karena tidak diperkenalkan atau memperkenalkan diri, berjalan cepat.
Saya malah dipanggil pertama kali. Karena saya juga tidak mau bertele-tele, saya enggan tanya-tanya lagi yang tidak substansial lagi. Hakim berkumis tebal langsung membacakan kesalahan saya tentang pelanggaran rambu lalu lintas.
”Bapak Made Oka Negara, apa Anda tahu diperkarakan karena pelanggaran rambu lalu lintas?” kalimat pembuka dari bapak hakim kumis tebal.
”Bapak Polisi yang memberi saya surat merah bilang seperti itu, Bapak Hakim,” jawab saya.
”Baiklah kalau begitu jangan diulangi lagi. Dua puluh ribu lima ratus!” tambah bapak hakim kumis tebal.
”Apanya Pak Hakim?”tanya saya pura-pura bodoh.
”Dendanya. Silakan nanti ke meja sebelah kiri!” lanjut bapak hakim kumis tebal.
”Baik, Pak Hakim,”jawab saya lagi. Saya diam sebentar.
”Iya.Sudah.” lanjut bapak hakim kumis tebal lagi.
”Sudah? Segini saja Pak Hakim?” tanya saya lagi, kali ini memang ingin nanya.
”Iya. Sudah. Segini saja. Anda mau apa lagi?” tambahnya.
Weleh, daripada nanti jadi ribet, jawaban saya singkat saja, ”Terima kasih”.
Saya terus menuju meja yang ditungguin oleh dua orang pegawai kejaksaan berbaju coklat tua dan seorang polisi. Saya bayar Rp 21.000,- dan menerima STNK saya. Itu saja. Mamack pun saya tinggal.
Pesan saya nih, kalau melanggar rambu lalu lintas, minta ditilang saja. Uangnya nggak jadi salam tempel di jalan, tapi masuk kas negara. Hitung-hitung nyumbang. Ya tinggal luangkan waktu untuk datang ke pengadilan negerilah, hitung-hitung refreshing. Nggak ribet ternyata. Kalau nggak sempat, bisa diwakilkan. Calo juga ada kok, kalau mau..hehe.
Sebenarnya ada juga slip biru, itu artinya kita menerima kesalahan di tempat, terus slip biru itu nanti dibawa ke bank untuk ditransferkan sejumlah uang denda yang ditentukan, lalu bukti transfernya dipakai untuk menebus STNK yang disita. Bisa saja minta yang mana. Slip merah atau slip biru. Karena ternyata di persidangan juga tidak rumit. (nggak tahu kalau di daerah lain). Malah kalau yang slip biru jadinya dua kali kerja, ke bank dulu, antri di bank, terus datang lagi ke kantor polisi menebus STNKnya, bisa jadi juga menunggu lama disitu.
ha ha ha…..
ternyata pengalannya sama ama aku…cuma aku sempat berantem dulu…abis polisi kita pada laper duit kotor semua se enak udel…
aku punya cita2 ingin bisa berjalan tak terlihat polisi nah aku bisa seenak udel juga bunuh polisis yang seenak udel…
kkkkkkk
Seumur-umur saya ditilang, belom pernah ke pengadilan. Ternyata “cuma” seperti itu ya??
Ngelanggar ahh.. hihihi…
walahe..polisi2 jaman sekarang emang menjijikan.
di medan setiap jalan, setiap pagi ada aja polisi.
tapi kerjaannya bukan ngatur lalu lintas. tapi cuma ngobrol sama sesamanya dui tengah jalan atau segerombol berdiri di tengah jalan, nanggok pemakai sepeda motor atau mobil.
ya seperti biasanya, sidang di tempat.
Ternyata email yang saya terima dari milis lain benar juga. saat ditilang di parkir bandara yang nodong duit 1 jutaan lantaran melanggar rambu, memang jauh lebih baik mbayar tilang yang gak nyampe 25ribu daripada urusan damai tapi uangnya untuk menggemukkan (oknum) pak polisi.
mungkin hal ini patut pula divideokan layaknya bule kna tilang kmaren, untuk bukti nyata kondisi lapangan.
tapi toh semua orang sudah pada tahu kok. 🙂
betul tuhh…
katanya polisi sahabat anda…. kenyataannya.. malah…
Lha wong kita masuk kantor polisi aja sudah dianggap bersalah. Mau apa lagi?
Atau memang doktrinnya gitu ya?
Salam kenal buat Bapak Made Oka Negara
^_^
weiihh.. mantap Pak Dokter.. biar gampang proses nya tp mending jgn sampe ditilang dech.. cape dech berurusan dengan Pak POLISI mata duitan..
SAlam jak dewi kak OKa .. 🙂