Teks Agus Widiantara, Foto Ilustrasi Internet
Pemburu binatang yang tidak religius itu ternyata bisa masuk surga.
Perayaan Sivalatri, ada yang menyebut Siwaratri, di Bali acapkali dinarasikan sebagai sosok Lubdaka. Pria pemburu yang hidupnya sama sekali tidak religius itu. Tiap kali perayaan Sivalatri tiba, rasanya tak telupakan kisah sang Lubdaka. Dari renungan malam di institusi pendidikan Hindu di Bali, banjar-banjar dari dharmawacana, hingga pelajaran agama Hindu, semua mengupas tentang rerainan ini. Sivalatri identik dengan falsafah kehidupan sosok bernama Lubdaka.
Lubdaka memiliki hobi dan pekerjaan berburu selama hidupnya. Ya, berburu. Sebuah pekerjaan tiada dua semasa hidupnya.
Namun, titik pusat dalam cerita tersebut adalah ketika sampai ajal menjemput Lubdaka. Diceritakan ia masuk surga karena ketika ia melakukan perburuannya bertepatan dengan pertapaan Dewa Siwa. Selain itu, dikisahkan juga ia tidak makan dan minum karena harus berburu sehingga tanpa sadar ia telah melaksanakan tapa brata. Dengan kata lain ia telah menyembah Dewa Siwa tanpa sepengetahuannya. Sebuah cerita yang banyak mengandung makna dam kajian falsafah kehidupan.
Namun, beberapa kalangan dari masyarakat Hindu khususnya di Bali menyalahartikan persepsi dari perayaaan malam Siva yang dikenal dengan perayaan Sivalatri itu.
Sivalatri di awal tahun 2011 ini dirayakan dengan khidmat. Beragam kegiatan ritual dilakaukan Umat Hindu di Bali. Ada yang melaksanakan puasa 24 jam penuh. Ada yang berdiskusi mengenai nilai-nilai kagamaan. Ada yang melakukan upacara keagamaan.
Ada pula yang melakukan renungan malam sampai pagi dengan doa-doa khusyuk. Tidak jarang pula yang tidak tau menahu mengenai perayaan setiap tahun sesuai penanggalan kalender Bali tersebut.
Pada perayan Sivalatri yang umumnya dilakukan adalah dengan melakukan dharma tula. Bahasa kerennya, diskusi keagamaan.
Begitu pula kampus Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar (IHDN) Senin malam lalu. Pelaksanakaan hari raya Sivalatri dirangkai dengan beragam seremonial. Tujuannya agar agar tidak monoton dan membosankan bagi mahasiswa. Kalau terlalu fokus dengan dharma tula yang memakan waktu sampi subuh tersebut, maka suasananya akan berbeda lagi.
Kegiatan bertempat di Audiotorium IHDN Denpasar. Kegiatan dimulai pukul 20.00 Wita dengan melakukan persembahyangan bersama dahulu. Meskipun semua mahasiswa tidak ambil bagian dalam perayan tersebut namun cukup lumayan peserta yang hadir. Kegiatan dilaksanakan di masing-masing kampus IHDN yaitu Denpasar, Bangli, dan Singaraja.
Sebelum dharma tula dimulai kegiatan awal disambut dengan beragam hiburan. Sambutan kepanitiaan, pembacaan sloka, nyayian rohani dan pada akhirnya masuk pada agenda terpentingnya, dharma tula. Pemamaparan materi dimulai oleh dosen dan mahasiswa. Memang sedikit formal karena pengaruh kegiatan-kegiatan kampus selama ini yang lebih menonjolkan keakademisannya. Bahkan, acara perayaan dharma tula yang sebenarnya berfisat fleksibel pun dikemas dengan susunan acara bak seminar.
Tidak masalah. Hal terpenting adalah nilai universal yang diangkat pada perayaan malam Sivalatri tetap berjalan sebagaiman mestinya.
Jalannya diskusi memang tidak pernah berkutat selain kisah Lubdaka. Suasana menjadi lebih hidup malam itu ketika mengupas perayaan Sivalatri dari konteks kekinian. Ini lebih nyata.
Celetuk mahasiswa pun bergumam ketika panitia menyediakan hidangan ala kadarnya. Kemungkinan saja mahasiswa tersebut mau mengikuti jejak Lubdaka yang berpuasa dan akhirnya masuk surga pada perayan Sivalatri.
“Katanya pada saat Sivalatri harus berpuasa siang malam, kok, disediakan makanan panitia. Bagaimana, sih, sebagai umat Hindu,” ungkap mahasiswa itu. Semua malah tertawa. Ada yang mencibir. Ada pula yang bilang ia Lubdaka kedua. Mereka yang sepaham bertepuk tangan.
Pertanyan itu dijawab pemateri dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Dr. Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. ” Ya, itulah perayaan Sivalatri. Disesuaikan dengan zaman saat ini. Tidak harus dipaksa, namun penuh keikhlasan dalam menjalankan,” pungkasnya.
Sambil bergurau, Dekan Fakultas Dharma Duta itu menjelaskan bahwa hidangan yang disiapkan oleh panitia sebenarnya hanyalah untuk menguji mahasiswa-mahasiswi apakah ada yang berpuasa atau tidak.
Mahasiswa yang protes hanya mengangguk-nganguk. Entah mengerti ataukah hanya sekadar mengiyakan agar permasalahan malam itu tidak panjang.
Kegiatan pun dilanjutkan dengan persembahyangan malam. Sesi terakhir untuk mengurangi ketegangan usai dharmatula diputarkan kisah Film Mahabrata. Pemutaran film ini sampai pukul 05.00 pagi.
Peserta yang didominasi mahasiswa tersebut nampak capek dan lesu. Meskipun begitu tidaklah sia-sia kelelahan mereka. Banyak ilmu yang diperoleh dari dharmatula sampai malam suntuk. Jadi, begadang pada malam renungan Sivalatri itu bukan begadang biasa, lho..[b]
Foto dari kemoning.info.
makasi atas tulisan saya yang telah dimuat
Pertama, terimakasih atas ulasannya. Sangat dibutuhkan ulasan-ulasan eperti ini terkait makna filosopi dari hari raya.
Mohon maaf, yang saya tahu perayaan Siwalatri itu setahun sekali atau 12 sasih sekali. Akan tetapi, penulis menyebutkan “…… mengenai perayaan setiap enam bulan Kalendar Bali tersebut.”
Mohon pencerahannya semeton. Suksma
Halo, terima kasih masukannya. Nggih, benar setahun sekali. Sekalian sudah dikoreksi di artikelnya. Ayo kirim tulisan ke kabar@balebengong.id.