Sambil melawan HIV di dalam tubuhnya sendiri, Novian Hariawan, juga mendampingi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) lain di Bali.
Hampir tiap hari mantan injecting drug user (IDU) itu bolak-balik Denpasar – Tabanan untuk melakukan pendampingan bagi ODHA di Tabanan.
Senin lalu, misalnya, Koordinator Lapangan Pendampingan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) ini mendampingi seorang ibu rumah tangga positif HIV yang sedang dirawat di Rumah Sakit Tabanan akibat infeksi oportunistik. Meski hanya berkunjung dan menjadi teman ngobrol, menurut Hariawan, kehadiran tersebut sudah cukup memberi kekuatan bagi ibu tersebut.
Namun, sering kali, pekerjaan Novian lebih berat dari sekadar mendampingi di rumah sakit. Dia pernah merawat ODHA sakit, menuntun ODHA itu ketika mau ke kamar kecil, mengganti popok, atau memandikan. “Kalau kondisinya sudah kritis dan tidak ada keluarga atau teman yang mendampingi, kami harus melakukan semua (pendampingan) sendiri,” katanya.
Kegiatan pendampingan untuk ODHA dilakukan Novian sejak 2004. Ketika itu dia bergabung di Bali Plus, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendampingan ODHA yang kini berganti nama Yayasan Spirit Paramacita. Selain memberikan dukungan melalui kelompok dampingan sebaya (KDS), YSP memang memberikan dampingan langsung pada ODHA secara personal melalui pendamping individu (buddy).
Kalau pendampingan melalui KDS dilakukan oleh orang-orang sebaya, baik umur ataupun riwayat penularannya, maka pendampingan individu bisa dilakukan lintas umur, status HIV/AIDS, maupun riwayat penularan. Seorang mahasiswa, bisa saja mendampingi ODHA berlatar belakang IDU. Bapak rumah tangga bisa mendampingi gay. Dan seterusnya.
Pendampingan pada ODHA ini tak hanya dilakukan oleh Yakeba dan YPS. LSM lain di Bali seperti Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), YKP, dan Yayasan Dua Hati juga melakukan hal serupa.
Menurut Istina, YPS saat ini mendampingi ODHA di tiga kabupaten/kota, yaitu Denpasar, Badung, Buleleng, dan Jembrana melalui buddy. Di Denpasar dan Badung ada 7 buddy, di Buleleng ada 12 orang, dan di Jembrana ada 5 orang. Latar belakang buddy ini beragam. Di Buleleng, misalnya, ada pegawai negeri sipil, bidan, mahasiswa, Petugas Puskesmas, bahkan anak SMA.
Pendampingan untuk ODHA ini, menurut Istina Dewi, Koordinator Pendampingan YSP, dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu rujukan layanan kesehatan, pendampingan minum obat, serta kunjungan ke rumah ODHA (home visit).
Rujukan ke layanan kesehatan ini, misalnya memberikan referensi pada ODHA rumah sakit atau lembaga mana yang sudah memberikan layanan untuk ODHA. Di Denpasar, layanan untuk ODHA ini bisa diperoleh, antara lain, di Yayasan Kerti Praja (YKP), Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, dan RS Wangaya. Selain memberi rujukan, kadang-kadang buddy juga menemani ODHA tersebut ketika diperiksa di layanan kesehatan.
Pendampingan dalam bentuk rujukan diberikan terutama pada ODHA yang baru tahu status HIV-nya. “Mereka belum tahu rumah sakit atau yayasan mana saja yang memberikan layanan untuk ODHA. Jadi harus ada yang memberi referensi dan mendampingi,” kata Istina.
Pendampingan rujukan layanan kesehatan ini juga termasuk pendampingan ketika ODHA di rumah sakit untuk opname. Bagi buddy, pendampingan ini juga menjadi beban psikologis bagi mereka. Istina bercerita, dia tidak tega kalau sudah mendampingi ODHA anak-anak. “Lebih menyita perhatian. Sangat berat melihat anak-anak kecil sudah harus menghadapi beratnya sindrom ini,” aku ibu satu anak ini.
Pendampingan saat di rumah sakit ini pun kadang berakhir dengan meninggalnya dampingan tersebut. “Jadi menyesal. Sedih. Kami merasa sudah mendampingi sebisa mungkin tapi harus melihat mereka meninggal,” ujar Istina.
Kedua, pendampingan minum obat (PMO) dilakukan dengan mengingatkan ODHA yang sudah terapi antiretroviral (ARV) agar patuh minum ARV. Terapi ARV ini harus dilakukan terus menerus. “ODHA kadang-kadang lupa atau jenuh minum ARV. Karena itu harus ada yang memberi dukungan secara psikologis,” kata Novian.
PMO tak harus dilakukan melalui tatap muka. Kadang-kadang seorang buddy cukup berkirim SMS atau menelpon untuk mengingatkan. “SMS dan telepon saja sudah cukup membantu,” kata Adi, nama samaran, salah satu ODHA yang pernah didampingi buddy.
Adi, yang kini minum ARV Evafivernz dan Dufiral untuk terapi, mengatakan minum ARV memang butuh kesabaran. Selain karena harus diminum selama hidup, obat ini juga kadang punya efek samping seperti bengkak dan mual. “Buddy bisa memberikan dukungan bagi kami kalau sudah bosan minum obat atau kena efek samping,” tambahnya.
Pendampingan ketiga, home visit, harus dilakukan di rumah ODHA. Menurut Istina bentuk pendampingan ini paling berat. Antara lain karena lokasi pendampingan yang jauh dari kota. Istina, yang bergabung di YPS sejak 2005, kini harus menjangkau ODHA di desa-desa, seperti di Jembrana dan Buleleng. Lokasinya sekitar 2 jam dari Denpasar dengan medan berkelok-kelok.
“Kadang-kadang harus jalan kaki berkilo-kilo dulu untuk sampai lokasi dampingan,” kata Istina.
Kesulitan lain, menurut Antin, selain karena harus mendampingi ODHA itu sendiri, buddy juga harus berhadapan dengan keluarga ODHA itu yang belum terbuka. “Masih banyak ODHA belum terbuka dengan keluarganya sehingga menyulitkan ketika kami melakukan pendampingan,” ujarnya.
Kesulitan yang dialami buddy, menurut Istina, karena tidak bisa mendiskusikan kesehatan si ODHA dengan keluarga. Kalau sudah sama-sama terbuka, lanjutnya, buddy bisa melibatkan keluarga tersebut untuk mendampingi ODHA.
Menurut Istina, home visit dilakukan ketika si ODHA tersebut sakit dan dirawat di rumah. Selain membawakan obat ARV untuk ODHA atau mendukung secara psikologis, buddy juga memeriksa lingkungan tempat ODHA tersebut dirawat. Sebab, menurutnya, kadang-kadang lingkungan tempat ODHA dirawat di rumah sangat tidak mendukung. Akibatnya, infeksi oportunistik semacam candida dan TBC juga makin menggerogoti tubuh ODHA tersebut.
Ketika datang ke rumah klien itulah kadang muncul penolakan dari anggota keluarga ODHA.
“Wah, sering banget ditolak keluarga. Biasanya mereka tidak mau menerima kami karena belum kenal. Atau mereka tidak mau tahu dengan kondisi si ODHA yang sedang sakit,” kata Novian.
Menurut Novian, diskriminasi masih jadi tantangan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Bali, termasuk oleh pada buddy. Untuk itu, ODHA perlu terbuka pada keluarga. Sebab, kata Novian, ketika terbuka, keluarga juga pada akhirnya bisa menerima dan mendampingi.
“Semakin ODHA terbuka dengan keluarganya, makin mudah bagi kami untuk melakukan pendampingan,” katanya.
“Selama keluarga masih tidak mendampingi, kami masih perlu buddy,” ujar Adi. [b]
[dipublikasikan di The Jakarta Post, edisi 2 Desember 2010, link not found]
YSP (Yayasan Spirit Paramacitta) pak bukan YPS..makasih