Teks dan Foto Anton Muhajir
Memasuki kawasan tempat kuliah Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali seperti masuk hutan. Atau malah rumah hantu.
Dari depan, setelah masuk dari jalan raya tembus ke Garuda Wisnu Kencana (GWK), tidak terlalu terlihat merananya kampus di Bukit Jimbaran ini. Gedung Dekan lumayan mentereng dan bersih. Tapi, di belakang gedung ini, kondisinya memprihatinkan.
Di kanan kiri jalan menuju gedung-gedung kuliah dipenuhi pohon jati. Bagus, sih. Cuma tak terawat dengan daun-daun kering dan rumput liar di bawahnya. Tiga ekor sapi, pertengahan Oktober lalu, asik merumput di depan salah satu gedung.
Kampus Universitas Udayana (Unud) Bali di Bukit Jimbaran merupakan kompleks kampus terbesar di Bali. Dari yang semula berpusat di Sanglah, Denpasar, kampus Unud pelan-pelan pindah ke Bukit Jimbaran, sekitar 20 km selatan Denpasar. Di bukit yang semula gersang ini, sekarang sebagian besar perkuliahan dan administrasi kampus dilakukan. Gedung rektorat, auditorium, perpustakaan, gedung kuliah, sampai pusat kegiatan mahasiswa dipindah ke sini secara berangsur sejak 1980an.
Antara satu gedung dengan gedung lain terpisah berdasarkan fakultas. Misalnya, di bagian paling bawah dari pintu masuk kawasan ini adalah Fakultas Peternakan, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, dan seterusnya sampai Fakultas Hukum di ujung barat daya. Tiap fakultas punya gedung-gedung lagi untuk kuliah, praktikum, ataupun administrasi.
Begitu pula dengan Fakultas Pertanian. Fakultas ini terdiri dari belasan gedung terpisah satu sama lain yang semuanya punya tiga lantai. Tapi, sebagian besar gedung terlihat sepi, kumuh, dan tak terawat.
Gedung BB di mana perpustakaan berada, terlihat tak terlalu terawat. Tidak terlalu kotor. Tapi tak sedikit sarang laba-laba di pojok atas dinding atau di rongsokan bekas lemari buku di salah satu ruangan.
Gedung lain di depan Gedung BB ini lebih mengenaskan. Ruangan terkunci. Di depan pintu yang terkunci itu debu tebal menutupi lantai. Gedungnya terlihat lama tidak digunakan. Saya intip ke dalam ruangan. Kondisinya tak jauh berbeda. Debu tebal, sarang laba-laba di dinding, pintu dengan gembok karatan, dan suasana yang sepi membuat gedung lebih terasa seperti rumah hantu daripada tempat menuntut ilmu.
Tapi, ini bukan satu-satunya gedung yang mengenaskan. Lima gedung lain juga bernasib tak jauh beda. Mengenaskan.
Agus Permadi, mahasiswa Jurusan Agroekoteknologi, mengatakan dari semua gedung di Kampus Fakultas Pertanian, cuma enam gedung yang masih digunakan. “Lainnya sudah tidak dipakai,” kata mahasiswa angkatan 2009 ini.
Menurut Agus, gedung-gedung yang tidak dipakai tersebut akibat terus menurunnya jumlah mahasiswa Fakultas Pertanian. “Makin tahun, jumlah mahasiswa Fakultas Pertanian terus menurun,” ujarnya.
Toh, kampus yang bisa digunakan itu pun, menurut saya, kondisinya sama mengenaskannya. Keramik lantai kelas sebagian mengelupas. Bangku-bangku masih bagus dengan sedikit coretan di sana sini. Dinding kelas terlihat kusam dengan noda-noda bekas air sisa hujan yang biasa merusak dinding. “Kalau hujan pasti bocor meski di lantai satu dan dua,” kata Silfia Mareta, mahasiswa jurusan Agribisnis.
Kuliah di Kampus Bukit Jimbaran sebenarnya sangat menyenangkan. Dari ruang kuliah di lantai tiga ini, terlihat Kuta, Jimbaran, Benoa, dan Sanur dengan pasir putihnya. Posisi bukit ini lebih tinggi dibanding daerah-daerah lain. Dari dalam ruang kelas, mahasiswa dengan sangat mudah bisa mengalihkan pandangan ke pusat-pusat pariwisata tersebut jika bosan dengan dosen yang melulu mengumbar teori.
Tapi, suasana jadi tidak asik karena rusaknya fasilitas kuliah dan sarana lainnya. Tak ada angkutan umum dari Denpasar ke Bukit Jimbaran langsung. Dulu, zaman saya kuliah antara 1997 hingga 2005, pernah ada bis Damri yang melayani mahasiswa tiap hari. Sekarang sudah mati. Mahasiswa harus bawa kendaraan sendiri. Berlomba dengan ribuan pekerja di Nusa Dua dan sekitarnya. Itu diperparah dengan kemacetan yang makin hari makin akrab dengan warga Denpasar, Kuta, dan sekitarnya.
Sarana lain di luar urusan kuliah juga patuh dogen. Sami mawon. Sama saja. Katakanlah, WC alias toilet. Dari sekian banyak toilet, saya yakin tak lebih dari seperempatnya yang berfungsi. Itu pun kondisinya bau dan jorok. Di salah satu gedung, bak mandinya kering kerontang. Air tidak mengalir.
“Toilet di sini sangat, sangat, sangat buruk,” kata Silfia. Ya, dia memang menyebut tiga kali kata “sangat”.
Karena buruknya kondisi kampus di Bukit Jimbaran ini, sebagian mahasiswa lebih senang kuliah di kampus lama Unud di Jl PB Sudirman, Denpasar. Selain lebih dekat, ruangan juga lebih nyaman meski kecil dan bersesakan.
“Tidak ada enaknya kuliah di kampus bukit. Jauh. Panas. Macet di jalan,” tegas Silfia. [b]
ha,,,,,ternyata kasusnya sama saja dengan di IHDN, terlalu banyak cabang dan melelahkan….kwkwkwkwk
semakin parah saja nih kampus bukit, harusnya mahasiswa menyandera lagi para guru besarnya pas acara dies natalis seperti yang pernah kami lakukan dulu… tuntut fasilitas kampus yang memadai, angkutan kampus yang lebih manusiawi…
Niatnya bagus membangun kampus di bukit jimbaran, tapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Belajar dimana saja yang penting fasilitas dari pemerintah memasuki kriteria standart kalo bisa lebih
semoga beres