Teks dan Foto Anton Muhajir
Apa yang menarik dari Kampung Fair Trade? Dua di antaranya adalah gairah anak muda dan perayaan kreativitas alternatifnya.
Kampung Fair Trade ini diadakan pada Minggu, 19 September 2010 lalu di lapangan depan Museum Bali. Kegiatan selama sehari penuh dari pukul 9 pagi hingga 10 malam ini diadakan oleh Forum Fair Trade Indonesia (FFTI).
Ide kegiatan ini, kata Made Rahaji, Ketua Panitia Kampung Fair Trade yang juga perwakilan FFTI, untuk memberi tempat bagi aneka produk fair trade. Selama satu hari, produk-produk yang dihasilkan melalui perdagangan berkeadilan dipamerkan.
Menurut saya, fair trade itu konsep yang terlalu abstrak. Susah dijelaskan apalagi pada orang awam, bukan orang kuliahan atau aktivis. Lalu, FFTI kemudian berusaha mengenalkannya dalam Kampung Trade melalui pameran kerajinan, kuliner, buku, dan aneka kegiatan lain.
Berbicara fair trade tak bisa dilepaskan dari pasar bebas (free trade). “Banyak praktik perdagangan bebas yang hanya menguntungkan beberapa pihak dan malah meminggirkan produsen kecil,” kata Rahaji.
Pasar bebas, menurut Rahaji, melahirkan banyak masalah juga di balik gemerlapnya. Ada eksploitasi tenaga kerja, ketidakjujuran, pemiskinan, dan seterusnya. Lalu, muncul pilihan lain bernama fair trade yang berprinsip pada sepuluh hal. Antara lain transparansi, tidak menggunakan tenaga kerja anak, peduli lingkungan, dan seterusnya.
Lebih lengkap tentang sepuluh prinsip fair trade bisa dicek di FFTI atau organisasi induknya, WFTO.
Sembilan anggota FFTI di Indonesia pun memamerkan produk-produknya di Kampung Fair Trade. Misalnya Mitra Bali dengan produk kerajinan. Sahani dari Jogjakarta dengan produk pertanian.
Toh, Kampung Fair Trade bukan monopoli anggota FFTI. Banyak pedagang lain ikut serta di pameran ini. Soto sapi karangasem punya mertua saya salah satu yang ikut. Di samping stand soto sapi ada penjual tipat cantok. Di depannya ada penjual sate lilit. Ada juga penjual terang bulan, tahu sukawati, es krim, dan makanan lain.
Lalu ada pula petani dari Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem dengan produk olahan salak dan nangka. Semua peserta pameran ini mewakili usaha kecil, bukan perusahaan dengan omset ratusan juta.
Tapi, bukan hanya peserta pameran ini yang menurut saya menarik. Mereka yang bekerja di balik Kampung Fair Trade ini lebih menarik lagi: anak-anak muda dengan semangat berbeda.
Panitia yang mempersiapkan Kampung Fair Trade ini sebagian besar anak-anak muda berusia di bawah 30 tahun. Mereka mengorganisir seluruh rangkaian kegiatan di Kampung Fair Trade ini, seperti lomba fotografi, lomba esai, konser musik, dan kegiatan lain selama pameran.
Lina PW dan teman-temannya yang masih mahasiswa mengurus lomba esai dan foto. Mereka membagi-bagi pengumuman dan poster ke sekolah-sekolah di Denpasar. Lina and the gank pula yang mengurusi lomba foto.
Begitu juga dengan relawan-relawan lain, yang saya kenal sebagai aktivis-aktivis muda Bali, seperti Sahabat Walhi, World Silent Day, Komunitas Pojok, dan lainnya.
Sabtu petang sehari sebelum hari H, mereka berjibaku mengurusi tenda, memasang papan-papan kampanye, membuat lampu. Saya melihatnya sebagai sebuah keguyuban anak-anak muda yang punya gagasan berbeda: melawan narasi besar bernama perdagangan bebas.
Dan, mereka tak hanya melawan dengan koar-koar tapi juga memberikan pilihan. Greentail, komunitas anak-anak mahasiswa, memamerkan produk-produk yang tak hanya ramah lingkungan tapi juga mengampanyekan kepedulian pada lingkungan. Di standnya, mereka menjual buku catatan berisi pesan-pesan untuk peduli lingkungan. Buku ini menggunakan kertas daur ulang 30 persen.
Selain buku, mereka juga menjual tas kain sebagai pilihan dibanding tas plastik. Di tas-tas ini ada tulisan kampanye peduli lingkungan. Oya, tas ini bisa dipakai untuk kuliah, belanja, atau sekadar JJS.
Komunitas muda lain yang menari dengan gagasan berbeda adalah Komunitas Pojok, tempat berkumpulnya para pegiat seni “jalanan”. Di standnya, para pelukis muda ini membuat kaos dengan desain sendiri yang dibuat di lokasi. Jadi, tiap pembeli bisa melihat pembuatannya.
Wayan Dania, salah satu anggota Komunitas Pojok, melukis dengan cat di bagian depan kaos putih polos. Dia membuat beberapa gambar. Ada, misalnya, tentang sinisme pada jejaring sosial paling populer saat ini, Facebook dengan tulisan Weapon of Mass Humiliation. “Kita ditelanjangi secara massal oleh Facebook,” kata Dania.
Kaos ini dijual Rp 30.000 per biji. Murah dengan pesan perlawanan yang kental.
Suara-suara mereka di Kampung Fair Trade mungkin samar-samar di antara gemuruh laju beralihnya toko-toko kelontong menjadi Circle K atau kuatnya cengkeraman toko retail besar seperti Carrefour di Bali. Tapi, setidaknya mereka memberikan harapan: masih ada yang bisa dan berani berbeda. [b]
Comments 1