Teks Yudha Surya Pradipta, Foto Ilustrasi Luh De Suriyani
“Tiang sampun buta huruf, masa anak tiang juga. Kan mau mengubah keturunan,” ujarnya.
Pagi Sabtu pekan lalu hari sangat cerah. Matahari belum menampakkan kakinya. Tak terlihat kesibukan yang berarti di Pasar Tonja, Denpasar. Hanya kendaraan lalu lalang. Sesekali terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu dari salah satu warung di sana.
Dengan baju kaos dan kamen (sarung) coklat, Nyoman Subri(45) menjaga warungnya. Sesekali nafasnya tertatih sembari menahan panas dari penggorengannya. Keringatnya bercucuran, namun tak mematahkan semangatnya untuk bekerja.
Dalam warungnya hanya terdapat panci dan penggorengan sebagai teman-nya untuk mengais rezeki.
Subri, panggilan akrabnya, lahir di Denpasar pada 31 Januari 1965. Suaminya, Komang Udiyana bekerja sebagai buruh bangunan dengan pendapatan yang pas-pasan. Hal ini memaksa Subri untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini ia membuka warung nasi campur di Pasar Noja. Usaha ini dirintisnya sejak lima tahun lalu.
“Kenapa ibu mau berjualan di sini?” tanya saya sambil memesan nasi campur.
“Ten wenten pekarya sane lenan. Niki sane tiang ngidang,” jawabnya. Artinya, tidak ada pekerjaan yang lain. hanya ini yang saya bisa.
“Ten lek nika?” saya bertanya apakah dia tidak malu dengan pekerjaannya itu.
“Tidak, Gus. Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah. Itu yang dibilang D’massiv,” Jawabnya menggunakan bahasa Indonesia yang patah-patah.
“Owhh.. Buka sampai pukul berapa, Bu?”
“Dari pukul 07.00 sampai 24.00 malam.”
“Kok sampai malam, Bu?” tanya saya lagi.
“Ya. Kan ibu kerja keras buat nyekolahin anak. Lagian ibu tidak ada pekerjaan di rumah. Daripada nganggur, mendingan jaga warung,” ujarnya.
Obrolan terpotong ketika ia memberikan sepiring nasi dan segelas air putih. “Terima kasih, Bu,” sahut saya.
Kami melanjutkan obrolan yang sempat tertunda itu. Terlihat wajah Subri dengan senang hati menjawabnya.
“Sudah punya anak, Bu?”
“Ampun (sudah), Gus. Ibu sudah punya anak tiga.”
“Sekolah di mana, Bu?”
Anak pertama Rubi sudah wisuda. Namanya Putu Rai, kuliah di Universitas Udayana Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Anak kedua baru semester IV. Namanya Kadek Sri Antani, kuliah di IKIP PGRI. Katanya mau jadi guru. Anak terakhir masih sekolah di SMA PGRI 1. Namanya Komang Rai Udiyana.
“Ibu nak belog, Gus. Ibu ten masekolah,” katanya. Dia bilang kalau dia sendiri tidak sekolah meski tiga anaknya semua berpendidikan.
Hati saya terkejut. Sungguh perjuangan yang luar biasa dari seorang wanita. Dengan segala kekurangannya dia mampu menyekolahkan anak-anaknya untuk jadi sarjana. Kemudian saya mengambil makanan ringan sambil melanjutkan obrolan.
Dalam hati, ingin rasanya banyak bertanya. Tapi di sisi lain takut kalau mengganggu pekerjaan Subri. Suasana pun mulai ramai. Nampak para pembeli sedang menunggu pesanannya sambil membaca koran. Subri pun mulai kewalahan, karena dia jualan sendirian.
Kesibukannya mulai mengusik saya untuk bertanya. Saya pun mengurungkan niat saya untuk bertanya.
“Bu, saya permisi dulu, ya. Terima kasih atas waktu yang diberikan,” sahut saya sambil merapikan buku dan jaket yang saya bawa.
“Ya, Gus,” jawabnya singkat.
Pagi-pagi di saat orang lain sedang tidur nyenyak, Nyoman Subri sudah mulai memasak untuk dagangannya. Subri mengaku ingin sekali menjadikan anaknya sukses dan mendapatkan kehidupan yang layak.
Biar pun Subri tidak bersekolah, namun ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana. Subri adalah kartini masa depan yang patut digugu dan ditiru. [b]