Pasang Surut Kehidupan Melaut
Di awal pandemi Covid-19, Komang Suartika, seorang nelayan di Kedonganan, mengaku mampu meraup antara Rp10 juta hingga Rp12 juta dalam semalam. Jenis ikan yang paling banyak ditangkapnya kala itu adalah layur.
“Karena (permintaan dari) hotel?” tanya kami.
“Sing (tidak), karena rezekinya memang.”
Fenomena tadi hanyalah anomali belaka—tiba-tiba ikan layur mudah ditangkap di awal pandemi manakala nelayan setempat melihat tren yang menunjukkan adanya penurunan populasi berbagai macam jenis ikan, termasuk ikan layur, selama beberapa tahun terakhir. Meski demikian, Plt Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikan, Ishartini, menargetkan peningkatan produksi perikanan di Indonesia pada tahun 2023 ini menjadi 30,37 juta ton, di mana 8,73 juta ton berasal dari perikanan tangkap. Target perikanan tangkap ini merupakan kenaikan sebesar 0,74 ton atau sekitar 9,3 persen dari hasil perikanan tangkap pada tahun 2022 lalu
Menurut Dani, pemancing ikan lain yang berbasis di Kedonganan, ikan layur harganya murah, hanya sekitar Rp20.000 per kilogram, sehingga sangat diminati pelanggan. Dengan asumsi harga ikan layur tetap pada Rp20.000 per kilogram, maka tangkapan Pak Suartika bisa mencapai setengah ton ikan layur saat awal pandemi lalu.
Tentu saja itu hanya sebuah penyederhanaan yang berlebihan karena biasanya dia menangkap sekitar empat jenis ikan setiap kali melaut. Artinya ada setidaknya tiga jenis ikan lainnya dengan harga per kilogram yang lebih tinggi yang ikut mendongkrak omzetnya di awal pandemi tadi. Hanya saja ikan layurlah yang paling banyak tertangkap kala itu.
Berbekal pengalamannya selama 40 tahun sebagai nelayan, Pak Suartika sudah tahu jenis ikan apa yang tidak boleh diambil dan harus dilepas kembali. Ikan hiu jenis tertentu, misalnya, dapat dikonsumsi tapi seringnya tidak laku dan jika sudah tertangkap jaring kemungkinan besar ia sudah mati. Biasanya, berat hasil tangkapannya sekali melaut hanya sekitar 20 kg.
Seiring waktu berjalan, hasil tangkapan pun kembali seperti sediakala. Hasil tangkapan yang berfluktuasi ini juga lumrah dialami oleh Dani. Dia mengaku bahwa ada waktu-waktu tertentu di mana hasil pancingannya dalam semalam bisa mencapai 50 kg. Namun, ada pula kalanya hasilnya nihil.
“Kemarin (23-24 Agustus) nggak dapet?”
“Nggak dapet.”
“Kapan terakhir dapet?”
“Tadi.”
Setibanya kembali di daratan pagi tadi (25 Agustus), Dani belum mengetahui berapa kilogram hasil pancingannya. Semua langsung diserahkan ke pangepul yang kemudian menjual hasilnya tadi langsung ke pelanggan. Harga ikan ditentukan oleh pasar, bukan oleh nelayan.
Hasil pancingan Dani biasanya tongkol, layur, dan kembung. Di luar dari itu, kemungkinan besar apa yang dijajakan di Pasar Kedonganan berasal dari luar Bali seperti kerang darah yang berasal dari Banyuwangi dan bawal hitam yang berasal dari Madura.
Terpaksa Menjual Jukung
Suartika mengaku telah melihat banyak perubahan di lapangan selama mengemban pekerjaannya. Salah satu tolok ukurnya adalah perkembangan Bandar Udara Ngurah Rai yang kini area reklamasinya kian membesar. Kala zaman Bandar Udara Ngurah Rai belum diuruk, dia melaut secara manual dengan menggunakan dayung, manakala kini dia melaut dengan bantuan motor.
Penggunaan motor bermakna dia harus mengeluarkan uang untuk membeli bahan bakar. Suartika mengungkapkan bahwa uang bensin tergantung seberapa jauh seseorang berlayar. Baginya, tidak ada patokan khusus tetapi biasanya dia pergi sejauh empat hingga lima mil saja dari daratan.
Sementara Dani yang biasanya pergi sejauh 12 mil dari daratan mengaku memerlukan sekitar 50 hingga 60 liter bensin untuk sekali perjalanan. Dengan harga Pertamax Rp10.000 per liter maka itu sekitar Rp500.000 hingga Rp600.000 setiap harinya.
“Sama uang makan, 800an lah sekali jalan,” terang Dani.
Beberapa pemancing lain ada yang melaut hingga ke perairan Uluwatu dan Tanah Lot.
“Ada yang sampai patung sapi di Tabanan.”
Pemerintah berupaya untuk mempertahankan konservasi wilayah perikanan dengan menerapkan pembangunan berbasis ekonomi biru yang berkelanjutan atau sustainable blue economy yang salah satu kebijakannya ialah penambahan luas konservasi laut secara tertutup. Jika melihat tren yang dialami oleh nelayan di Kedonganan dan jika kebijakan tersebut diterapkan di daerah tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan nelayan harus melaut lebih jauh lagi. Penerapan kebijakan seperti ini harus memperhatikan banyak aspek agar kerugian yang dialami berbagai pihak, baik komunitas nelayan, konsumen maupun keanekaragaman fauna itu sendiri, dapat dihindari sebanyak mungkin.
Peliknya, terkadang melaut memerlukan keberuntungan. Jika apes, maka utang menanti. Bila dari hari ke hari tak kunjung ada hasil, utang pun semakin menggunung. Pernah pada suatu masa utang Suartika mencapai Rp192 juta sehingga dia terpaksa menjual jukungnya.
“Telu telah jukung tiang.”
Sudah tiga kali Suartika menjual jukungnya untuk melunasi utang-utangnya di masa lampau. Kini dia memiliki dua jukung dan pekerjaannya melaut dikerjakannya sendiri karena mencari orang untuk membantunya hanya akan menambah biaya. Anak-anaknya tidak ada yang mau melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan, memutuskan untuk menjadi pemandu wisata. Ironisnya, mereka justru dibesarkan dengan uang dari laut.
Perubahan Iklim
Dari pengamatan Suartika, warga lokal di Kedonganan biasanya pemilik kapal dan menjadi pangepul sementara warga perantau, biasanya dari Jawa, yang melaut. Seperti Dani tadi misalnya. Sedari kecil dia sudah melaut di kampungnya di Blimbingsari, Banyuwangi dan terpaksa merantau demi sesuap nasi.
Menurut Dani, bulan Agustus tidak aman untuk melaut di kampungnya sementara di Kedonganan masih aman. Bulan November-lah yang tidak aman untuk melaut di Bali menurutnya, tetapi perubahan iklim mengaburkan segalanya, cuaca semakin tidak menentu.
Dani mengaku tidak ikut perkumpulan nelayan karena bukan warga lokal. Pun Pak Suartika walau dengan alasan berbeda.
“Tiang sing (milu). Ribet.”
Keanggotaan perkumpulan bersifat per keluarga dan bukan per orang, sementara di keluarga Suartika tidak ada yang meneruskan pekerjaannya sebagai nelayan. Di Kedonganan ada sekitar 60 anggota perkumpulan nelayan dan mereka mendapat bantuan dari pemerintah seperti mesin motor untuk perahu.
Menurut Suartika, perkumpulan nelayan mengadakan terlalu banyak kegiatan. Sama banyaknya seperti permintaan tangkapan langsung dari pelanggan yang menghubungi via ponsel. Ribet.
Produksi konten ini dengan dukungan WWF Indonesia dalam program kolaborasi #citizenscience #citizenjournalism BaleBengong.