“Bali butuh lebih banyak ruang publik dan ruang baca,” tegas IGN Andri Saputra, pendiri sekaligus arsitek utama di Lumbung Architect.
Menurutnya, salah satu yang menjadi penyebab minimnya ruang-ruang tersebut adalah terkikisnya ruang terbuka hijau. Beberapa tahun ini RTH yang dikenal juga sebagai jalur hijau banyak diperjualbelikan hingga dialihfungsikan menjadi bangunan-bangunan komersil. Sayangnya, ini sangat berpotensi menambah panjang deretan dampak negatif karena pembangunannya tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan.
“Saya orang yang getol campaign tidak membangun di jalur hijau. Ketika saya berjuang itu, faktanya, hari ini jalur hijau banyak dikavling dan dijual di pasaran,” sesal Andri. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh tidak sejalannya peraturan dengan implementasi di lapangan. Lemahnya pengawasan menyebabkan pelanggaran-pelanggaran jalan terus dan tidak ada batasan maupun hukuman.
Sebagai konteks, kini Bali punya kebijakan pengkavlingan sampai 1 are. Sering kali tanah 1 are tersebut dibangun dengan begitu liar tanpa membuat got, jarak bangunannya sangat dekat dengan jalan, bahkan memarkir kendaraan di badan jalan. Jika ini tak diawasi dengan ketat, dengan kavling tanah 1 are itu, dapat merusak tidak hanya radius 1 are saja, tetapi juga bisa merusak semuanya. Polusi suara dan udara tak terhindarkan.
Dari banyak pemberitaan media pun, keterhubungan antara masifnya pembangunan yang tak berpihak pada aspek-aspek lingkungan, dengan pencemaran dan tata kelola lingkungan yang tumpang tindih, tidak dipungkiri lagi. Lalu, saya tergelitik untuk bertanya. Seberapa penting seorang arsitek punya kepekaan sosial dalam memandang konflik tersebut dan merespon situasi itu dalam desain arsitektur?
Fungsi
“Kami sering membatalkan proyek kalau status tanah yang akan dibangun itu belum jelas. Misal, apakah jalur hijau atau tidak,” terang Andri. Meski belum memiliki SOP secara tertulis, Lumbung Architect berusaha untuk menjaga komitmen dalam pelestarian lingkungan. Pada tahap awal berdiskusi dengan calon kliennya, mereka akan memaparkan regulasi pembangunan di lokasi terkait. Tak semua berjalan mulus. Ada saja beberapa di antara calon klien itu yang berniat nakal. Untuk mengatasinya, Andri dan tim akan memberikan pernyataan bahwa penyelewengan itu bukanlah rekomendasi dari arsitek.
Biro arsitek yang digawangi Andri dan IB Widnya Dwi Prawangsa ini menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam desain-desain mereka. Konsep yang abstrak itu diterjemahkan dalam zonasi atau layout dalam denah rumah dan bentuk bangunan. “Karena kita ngga bisa bilang Tri Hita Karana hanya sekadar makro, tetapi juga mikro (kepala, badan, kaki). Di situ saya terjemahkan bagaimana memproporsikan kepala, badan, dan kaki dari sebuah bangunan menjadi proporsi yang seimbang dan enak dilihat,” tutur Andri.
Lumbung Architect telah berpengalaman selama 13 tahun dalam membuat desain arsitektur untuk hunian, perhotelan, hingga bangunan ritel di Indonesia dan di seluruh dunia. Setiap biro arsitek tentu memiliki ciri khasnya masing-masing. Namun yang unik dari Lumbung adalah keterlibatan para arsitek dalam menyesuaikan kebutuhan desain berdasarkan penggunaan bangunan. Proyek-proyek Lumbung Architect di Bali ada banyak di wilayah Canggu menuju barat, Ubud, dan sekarang berkembang juga di Uluwatu. Selain itu ada pula di beberapa negara, seperti Bahamas, Nigeria, dan lainnya.
Tak melulu soal tampilan bangunan yang menawan, Lumbung menekankan prioritas desainnya pada fungsi dan layout. Bahkan proses ini mengambil waktu paling lama, karena harus mencari substansi dan alasan yang tepat mengapa kemudian terpilih desain-desain tersebut. Besar ruangan, tata letaknya, semua dianalisis secara mendalam. “Buat kami sirkulasi ruangan itu jauh lebih penting daripada bangunan ini akan jadi secantik apa,” pungkasnya.
IB Widnya Dwi Prawangsa yang akrab disapa Guspra menyatakan bahwa arsitektur berkaitan pula dengan hal lainnya. Ia tak hanya tentang seni, tetapi juga manusia, lingkungan, dan lebih besar lagi mungkin semesta. Ini pula yang mendasari tiap desain yang dibuat oleh Lumbung Architect juga mempertimbangkan ekosistem bertetangga yang baik. “Arsitektur itu menentukan bagaimana masyarakat itu berperilaku. Semakin maju arsitekturnya, diharapkan masyarakat semakin berkualitas pula,” jelasnya.
Namun, dengan kondisi lingkungan dan iklim saat ini, bangunan apa yang cocok atau tepat dibangun di Bali? Bagaimana arsitek meresponnya dalam bangunan?
Berkelanjutan
“Bangunan yang sustainable, memperhatikan penggunaan material yang tidak akan merusak alam secara langsung maupun tidak langsung,” jawab Andri tegas. Ia menyatakan bahwa tak kalah pentingnya untuk mengedukasi klien tentang hal-hal setelah bangunan itu jadi. Misalnya, bagaimana pembuangan air limbah, yang mana akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup dan kelestarian alam. Perlu mendapat perhatian khusus agar sistem rumah tangga dalam bangunan itu tidak merusak lingkungan. Sesederhana membuat sumur resapan, lubang biopori, dan yang jarang sekali dipedulikan adalah grey water. Limbah air mandi dan cuci.
Limbah ini dianggap air biasa di Bali, pun di Indonesia. Padahal itu dapat memberi dampak buruk pada lingkungan. Nyata terlihat pada kondisi sungai kita. Sebersih-bersihnya, kita tidak bisa melihat dasar sungai tersebut. Itu bisa dijadikan indikator bahwa air kita memiliki kualitas yang buruk. Apa penyebabnya? Salah satunya karena limbah grey water.
Andri memperkirakan bahwa mungkin tak satu rumah pun mengaplikasikan sistem penanggulangan limbah grey water karena sistemnya memang mahal. Harusnya grey water dapat diolah di dalam rumah sendiri. Terdapat sistem filtrasi khusus untuk grey water sehingga air yang terbuang pun sudah bersih. Ada yang mengumpulkannya sebagai air siram toilet hingga siram tanaman.
“Justru harusnya teknologi untuk menyelamatkan lingkungan ini yang disubsidi pemerintah, bukan yang merusak lingkungan,” tegasnya. Merespon hal ini, Lumbung menawarkan sebuah alternatif, yaitu dengan mengaplikasikan bio septic tank. Terobosan yag tak hanya lebih modern secara teknologi, tetapi juga ramah lingkungan.
Guspra pun turut membagikan pandangannya. Situasi umum dalam dunia pembangunan ini juga tak lepas dari masyarakat dan pemerintah kita yang terbiasa berpikir jangka pendek. Orientasi pembangunan saat ini belum betul-betul dipikirkan dampaknya untuk beberapa tahun ke depan. Sangat kontras jika dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang. Di sana orang berpikir hingga ribuan tahun ke depan. Sehingga, apa yang mereka buat saat ini, akan dirasakan manfaatnya hingga bertahun-tahun mendatang. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Teknologi boleh makin canggih dalam sekejap mata. Namun untuk sampai pada perubahan pola pikir itu yang perlu waktu lama.
Untuk menuju arah pembangunan yang lebih berpihak pada lingkungan dan keberlanjutan, rekomendasi lain dari biro arsitek yang berkantor pula di Jakarta ini adalah dengan melibatkan profesi arsitek dalam perencanaan pembangunan. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sangat mungkin untuk dilibatkan, sehingga mereka bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan yang relevan. Biasanya memang pemerintah sudah punya perencanaan. Namun, eksekutornya yang tidak profesional. “Karena kami inilah yang memiliki kapabilitas intelektual yang benar, sehingga bisa ikut terlibat dalam perencanaan pembangunan,” tegas Andri.
Harapannya, kita bisa selamat dari pembangunan-pembangunan yang tak perlu, yang mungkin saja akan merenggut ruang-ruang hidup kita. “Coba itu dialokasikan untuk pengembangan soft skill dan pelatihan-pelatihan untuk anak muda, pasti lebih bermanfaat untuk ke depannya,” lontar Andri.