Meski perjalanan Melali ke Desa Ngis sudah dilalui seminggu lalu, keseruan melali ke Desa Ngis kami mulai dari bertemunya para pemandu desa dengan para pengunjung. Saat itu Wawan, pemandu Desa Ngis menjemput pengunjung dari titik kumpul menuju Desa Ngis, Kabupaten Karangasem. Sekitar 70 menit berkendara dari Kota Denpasar.
Kurang lebih waktu menunjukkan pukul 09.00 WITA pengunjung melali ke desa sudah sampai di Desa Pekarangan. Lalu pengunjung dan pemandu bersama-sama berjalan kaki menuju bukit Bulgari. Bukit yang terletak di sebelah selatan Banjar Pekarangan.
Jalan yang lumayan menanjak cukup membuat pengunjung menguras keringat menuju Bukit Bulgari. Namun, kendati demikian, perjalanan tetap mengasyikkan. Di tengah perjalanan, bersama-sama melihat cara memanen daun pandan yang nanti akan diolah menjadi tikar pandan oleh warga setempat.
Tanaman pandan berduri ini memamerkan diri di sepanjang perjalanan mendaki bukit memanggil kami yang melewatinya untuk mendekat sejenak. Perjalanan menuju rute pertama ini jadi sangat bervariatif. Sepanjang jalan kami menemukan banyak jenis tanaman liar yang bisa dimanfaatkan. Mulai dari tanaman yang bisa dijadikan makanan, obat, hingga menemukan guguran ranting tanaman yang biasa digunakan mainan ketika masa kecil. Perjalanan trekking beberapa menit ini pun tak terasa di tengah teriknya matahari.
Banyak pengetahuan yang secara singkat ditukarkan antar pengunjung dan pemandu saat itu. Hingga tak terasa kami hampir sampai di tujuan. Hal itu ditandai dengan panorama kebun kelapa Desa Ngis yang terhampar dari atas Bukit Bulgari.
Setelah puas berswafoto dan foto bersama dari atas tower Bukit Bugari, Mek Keceng sudah siap dengan makanan sarapannya di bawah pohon Jambu Mete. Kami dipanggil untuk menikmati sarapan. Ada menu seperti pisang rebus, ubi rebus, urap ubi jalar, dan secangkir kopi serta teh manis. Tak terasa angin semilir memutar waktu lebih cepat dari biasanya, ternyata sudah jam 10.00 WITA.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke tempat Nengah Sumerta, salah satu petani tuak di Desa Ngis. Dengan sigap Sumerta memanjat pohon jaka dengan menggunakan banggul. Kemudian memasang jerigen untuk menampung nira. Selanjutnya membawa turun nira yang sudah terkumpul dari kemarinnya. Pengunjung mencoba rasa nira yang baru saja diambil. Termana dan Devani, para pengunjung melali ke Desa Ngis saat itu sangat menyukai rasa dari nira manis ini.
Setelah puas dengan nira, perjalanan dilanjutkan menuju rumah Ni Wayan Walastri, pengrajin tikar pandan khas desa ini yang merupakan istri dari Nengah Sumerta. Rumah Walastri ini merupakan jalur menuju Bukit Bayem tujuan kami selanjutnya.
Di rumah Walastri, pengunjung belajar cara membuat tikar pandan. Mulai dari cara memanen pandan, membersihkan duri pandan, lalu membentuk lingkaran (ngelulun) supaya mudah dijemur.
Beberapa pengunjung bergiliran mencoba memanen pandan yang penuh duri itu. Tak lupa mengambil pandan yang paling pendek dan kecil, supaya cepat selesai menghilangkan durinya. Pengalaman melakukan kegiatan sehari-hari Walastri kami coba alami di sini. Benar, itu tidak semudah yang kita lihat.
Kemudian lanjut diajarkan cara menganyam tikar pandan. Semua pengunjung mencoba untuk membuat tikar pandan ini. Tentunya sebagai percobaan pertama, diajarkan membuat ukuran yang kecil. Di akhir sesi peserta dapat oleh-oleh berupa tikar kecil yang bisa digunakan sebagai alas duduk.
Tidak cukup dengan tikar yang kecil, Termana dan Ade membeli 2 bidang tikar yang ukuran besar untuk digunakan di rumahnya.
“Tiang mau beli 2 karena saya juga pakai untuk sarana upacara,” kata Ngurah Termana.
Jam sudah menunjukan pukul 12 siang, perjalanan dilanjutkan menuju Bukit Bayem, tempat makan siang pengunjung. Sampai di Bukit Bayem, kami disambut oleh Wayan Surana, Mek Luh Suriti, dan Wayan Astanawa. Tim penyedia kuliner khas Ngis ini sudah menyiapkan hidangan untuk makan siang.
Sebelum itu, pelepas dahaga cuaca yang lumayan terik, kami disuguhi isotonic alami, yaitu air kelapa muda fresh dari pohonnya. Setelah menikmati es kelapa muda karena perut sudah keroncongan, tak sabar menikmati makan siang yang sangat mewah. Nasi sela, urap daun tabia bun, sate be pasih, serta palem udang yang sangat menggoda.
Semua pengunjung termasuk saya makan siang di Bukit Bayem ditemani dengan segarnya udara yang bebas dari polusi. Perut sudah terisi tenaga kembali lagi. Acara dilanjutkan dengan tidur, eh salah, yaa udara sejuk saat itu membawa Ade ketiduran.
Sementara Ade dan Ananta terlelap di bawah pohon biu-biuan. Termana, Devani, Swakarma, Juni, Wawan, Asta, dan saya sendiri menikmati nikmatnya tuak manis.
Alkohol dari tuak yang mulai meresap ke dalam jiwa membangunkan gairah Asta untuk memulai nyanyian yang tidak asing didengar. Ya genjek mulai berkumandang, sontak Wawan dan saya menyahutinya. Sehingga terciptalah genjek Om swastyastu sebagai bentuk ucapan selamat datang dari kami warga Desa Ngis untuk pengunjung melali ke Desa Ngis.