“Ketika air tanah telah dianggap sebagai sumber daya kepemilikan bersama, seluruh pengguna memahami dan bertanggungjawab atas keberlanjutan distribusi, alokasi, dan reproduksi atas sumber daya yang terbatas. Mengklaim kembali air tanah dari privatisasi membuka ruang bagi pengelolaan kolektif yang memberi air tanah nilai guna.”
Diskusi online dalam kesempatan webinar Wacana Konservasi Air Dalam Naskah Lontar Bali pada 25 November 2021 oleh BPNB Bali memberi saya kesempatan untuk berdialog mengenai pesan penting manuskrip-manuskrip kuno leluhur pada generasi selanjutnya untuk menjaga air sebagai sumber kehidupan. Namun, belum ada teks yang ditemukan berbicara mengenai pentingnya menjaga air bawah tanah yang sedang mengalami eksploitasi masif mengikuti peningkatan permintaan domestik dan industri pariwisata di Bali. Hal ini tentunya mengancam keberlangsungan lingkungan dan sosial budaya di Bali. Barangkali, jika leluhur zaman dahulu menemukan teknologi eksploitasi air bawah tanah dalam, mitologi seperti apa kira-kira yang disampaikan pada generasi saat ini?
Di bawah bayang-bayang krisis air tanah Bali yang sedang berlangsung akibat eksploitasi akuifer berlebihan sebagai sumber air1. Artikel ini mencoba merefleksikan permasalahan kontemporer manusia Bali dengan lingkungannya, yakni krisis air tanah. Krisis air tanah di Bali telah masuk ke dalam level memprihatinkan. Eksploitasi air tanah yang berlebih demi memenuhi kebutuhan pariwisata, domestik dan produksi air minum dalam kemasan merupakan salah satu penyebab utama terjadi penurunan level air tanah yang signifikan.
Isu krisis air tanah dihembuskan sejak tahun 2018 lewat penelitian program Bali Water Protection (BWP), kolaborasi antara Yayasan IDEP Selaras Alam dan Politeknik Negeri Bali. Penelitian ini mengungkapkan bahwa telah terjadi 13 titik intrusi air laut2, pencemaran air yang tinggi, dan menurunnya permukaan air sebesar 50 meter dalam kurang dari 10 tahun menyebabkan Bali masuk dalam krisis air3. Salah satu penyebabnya yakni kemajuan pariwisata yang berimplikasi pada peningkatan konsumsi air. Penelitian Cole (2015)4 memperlihatkan bahwa industri pariwisata mengonsumsi 3 kali lipat air per turis per hari dibanding warga lokal.
Kualitas air tanah yang tinggi dan akses yang mudah lewat pembangunan sumur bor meningkatkan privatisasi atas sumber daya ini. Pada tahun 2021, kanal berita Bali Express5 & Denpost6 menyebutkan bahwa terjadi peralihan akses air beberapa masyarakat dari PDAM ke sumur bor. Berkaitan dengan air tanah, PDAM sebagai perusahaan pemerintah pengolah air baku juga tidak dapat lepas dari ketergantungannya terhadap sumber daya ini dibuktikan dengan banyak sumber-sumbernya yang berasal dari mata air sumur dalam/sumur bor7.
Upaya penyelamatan lewat desa adat dan kebudayaan
Kekhawatiran akan penurunan kualitas dan kuantitas air secara umum di Bali telah ada dalam kesadaran masyarakat. Dalam konteks yuridis terbaru, peraturan gubernur no. 24 tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Sungai, Mata Air, dan Pesisir mengupayakan sebuah perlindungan yang ingin ‘melibatkan’ desa adat sebagai kolektivitas teritorial yang berkuasa dalam organisasi ruang di Bali. Tanggung jawab ini meliputi pelindungan secara skala (material) dan niskala (spiritual) dari sumber-sumber air di atas, kecuali air tanah.
Gagasan pariwisata budaya Prof. Ida Bagus Mantra mengupayakan budaya menjadi modal untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke Bali. Kemudian, akumulasi kapital berkat pundi pariwisata digunakan untuk melindungi ‘budaya’ dari gempuran globalisasi. Namun, dalam perkembangan gagasan ini melewatkan bebasnya kuasa pasar dalam mengubah lanskap dan merusak ekosistem biotik/abiotik di Bali.
Kekhawatiran akan kerusakan ekologis yang semakin meningkat membawa wacana ‘kebudayaan’ juga digunakan dalam gerakan penyelamatan lingkungan. Sebuah protagonis yang terus diulang dan diharapkan menjadi solusi perubahan ‘mental’ populasi Bali dan kunci penyelamat kerusakan lingkungan. Selain membangun kembali wacana kulturalis warisan kolonial, pembangunan optimisme lewat budaya pun seolah-olah ingin mengembalikan nostalgia bahwa manusia Bali merupakan manusia yang sangat dekat dengan alam, yang sebagian besar dari mereka sudah kehilangan tradisi agrarisnya.
Apakah wacana ‘kebudayaan’ akan cukup di tengah gempuran kekuatan pasar global yang semakin mengeksploitasi lingkungan hidup demi peningkatan kapital? Apalagi kerusakan alam ini secara langsung mengancam yang kami sebut sebagai ‘budaya’. Sayangnya, hal ini luput dari perhatian beberapa institusi yang berniat baik melindungi ekosistem lingkungan hidup Bali. Melindungi alam dengan mengabaikan sifat predasi moda pembangunan/perusahaan-perusahaan ekstraktif, tidak akan cukup dibendung hanya dengan wacana-wacana ekologis, terutama masalah krisis air tanah Bali.
Pada FGD pada tanggal 2 Desember 2021 yang diselenggarakan oleh Bali Water Protection tentang Pergub no.24 tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Pesisir bersama berbagai pemangku kepentingan, berulang kali menekankan pentingnya forum atau institusi untuk mengelola air secara holistik dan menaungi semua penerima manfaat air. Profesor I Wayan Windia, dalam kesempatan ini, menekankan pentingnya konsep “pasihan” dalam subak sebagai tanggung jawab hilir menjaga kawasan hulu. Gagasan tentang pengelolaan sangat penting sebagai cara manusia menilai, menghormati dan mempertanggungjawabkan reproduksi ekosistem air secara keseluruhan. Sayangnya, FGD tersebut belum sempat mendiskusikan mengenai air tanah atau akuifer.
Air tanah yang dieksploitasi berbagai aktor membawa sumber daya ini pada moda privatisasi. Privatisasi sumber daya tidak sama dengan gagasan ‘sumber daya kepemilikan bersama’ yang berkaitan dengan keputusan ekstraksi, alokasi, dan reproduksi sumber daya air yang dilakukan secara adil dan kolektif seperti yang dilakukan organisasi Subak dalam mengorganisasi alokasi sumber daya air permukaan. Sumber daya alam dalam bingkai commons atau ‘sumber daya kepemilikan bersama’ tunduk pada seperangkat aturan yang ditentukan secara kolektif.
Jika air tanah tidak berada dalam bingkai ini, bukan tidak mungkin, penyusutan akuifer akan menciptakan kompetisi “memperdalam sumur bor” di antara pengguna demi memperoleh air bersih. Jika subak saja mampu mengelompokkan diri, membagi tanggung jawab, dan mengakomodasi rasa kebersamaan dari ‘kepentingan yang sama’. Bali sudah seharusnya memiliki jawaban akan permasalahan air tanah sebagai kepentingan bersama.
Ekosistem air tanah & contoh ekosida air tanah konteks Pakistan
Hubungan air tanah dan air permukaan saling berkaitan erat. Menurunnya level air tanah menjadi alasan penyusutan sungai dan mengeringnya sumber mata air atau sebaliknya. Tercemarnya salah satu sumber air ini juga dapat mengakibatkan tercemarnya sumber lain8.
Mengenai air tanah, terdapat dua jenis akuifer atau lapisan bawah tanah yang mengandung air yakni, akuifer tertekan dan akuifer non tertekan. Akuifer tidak tertekan biasanya dapat diakses melalui sumur gali dan terisi lewat penyerapan air hujan ke dalam tanah di area yang sama. Sedangkan akuifer tertekan biasa diperoleh menggunakan sumur bor dan daerah resapan untuk mengisi akuifer ini sangat terbatas. Pengerasan tanah, deforestasi, moda eksploitasi yang tak menghormati kemampuan reproduksi ekosistem air tanah menjadi salah satu penyebab kekeringan dan krisis.
Krisis air akibat eksploitasi air tanah berlebihan umum terjadi di daerah Asia Selatan, seperti Pakistan. Contohnya, penelitian van Steenbergen et al. (2014)9 mendokumentasikan dengan baik krisis yang terjadi di desa Kuchlag, Pakistan. Selama ratusan tahun desa ini memanfaatkan irigasi tradisional bernama Karez. Praktik irigasi ini umum ditemukan di daerah kering dari Maghribi hingga Asia Tengah. Irigasi ini berfungsi lewat organisasi sosio-teknis yang mengelola air limpahan akuifer dari “sumur ibu” (mother well) di pegunungan. Sayangnya, praktik pertanian revolusi hijau yang membutuhkan intensitas air tinggi dan pengenalan teknologi sumur bor kepada masyarakat membuat praktik irigasi ini ditinggalkan.
Air yang sebelumnya dipandang sebagai sumber daya kepemilikan bersama yang dirawat dengan teknik irigasi Karez berubah menjadi barang privat karena setiap individu memiliki akses pribadi terhadap sumber air tanah melalui sumur bor. Kelangsungan ekosistem air dan rasa tanggung jawab untuk mengelolanya secara kolektif menjadi hilang. Dalam beberapa tahun, akuifer pun mengering dan irigasi Karez tidak dapat berfungsi kembali. Beban krisis lingkungan yang tidak disadari berakhir menjadi disosiasi sosial ketika tanah di atasnya kehilangan nilai dan ditinggalkan para penduduk. Maka, tidak mustahil kasus di Pakistan dapat terjadi di Bali.
Menyelamatkan air tanah, observasi-partisipatif bersama BWP
Sebagai langkah awal untuk memahami upaya konservasi air tanah di Bali dalam rangka penelitian tesis, saya melakukan intervensi awal di Bali Water Protection (BWP). Pengalaman ini mengorientasikan saya pada refleksi bahwa usaha ‘menyelamatkan’ air tanah di Bali tidak hanya menjawab persoalan lingkungan dengan solusi teknis. Untuk itu saya ingin berterima kasih kepada Yayasan IDEP dan tim BWP telah memberikan saya kesempatan tersebut.
Dalam intervensi teknisnya, BWP mengusulkan pembuatan sumur imbuhan atau program adopt well untuk merespon pengerasan tanah dan deforestasi yang menghalangi reproduksi ekosistem akuifer/air tanah. Rencananya, 132 sumur imbuhan akan dibangun di sekolah-sekolah di seluruh Bali sebagai upaya pertama mengisi kantong-kantong air tanah di Bali yang semakin menyusut.
Hingga saat ini, sekitar 50% sumur imbuhan telah dibangun di seluruh kabupaten di Bali. Meskipun nantinya 132 sumur tersebut akan dibangun di seluruh Bali, hal tersebut belum cukup untuk merespon eksploitasi masif oleh industri-industri pariwisata yang terkonsentrasi di selatan Bali dan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan yang mengeksploitasi kualitas terbaik serta kuantitas terbanyak air akuifer.
Mengklaim air tanah sebagai sumber daya kepemilikan bersama di Bali?
Konsep sumber daya kepemilikan bersama atau commons sebagai konsep alternatif pengelolaan sumber daya di tengah maraknya persaingan akibat dorongan pasar dan kapitalisasi digencarkan oleh Elinor Ostrom (1990)10. Sebagai teori manajemen sumber daya pos-hardian, ia menjawab bahwa pengelolaan sumber daya (air, hutan, ladang pastoral, dll) tidak harus selalu direspon lewat moda pengelolaan sentralisasi atau privatisasi11.
Menurutnya, komunitas-komunitas di dunia memiliki caranya sendiri dalam mengelola sumber daya terbuka atau common-pool ressources (CPR) untuk menghindari konflik pemanfaatan, dan merawat keberlangsungannya. Contoh moda pengelolaan ini di Bali adalah organisasi sosio-teknik Subak. Air sungai sebagai sumber daya akses terbuka dan terbatas, didistribusikan dan dikelola oleh kelompok Subak mampu bertahan selama ratusan tahun lewat moda pengelolaan ‘kepentingan bersama’ mereka. Subak mampu merawat dan menghindari sumber daya air dari konflik pemanfaatan serta menekankan pentingnya menghormati reproduksi ekosistem air seperti usaha penyelamatan gotong-royong kelompok-kelompok Subak yang menjaga daerah resapan Gunung Batukaru, Tabanan jika terjadi kebakaran di area gunung pada musim kemarau.
Sedikit berbeda dari kacamata teori commons Elinor Ostrom (1987), penyelamatan air tanah dengan usaha merawat reproduksi sumber daya air tanah bisa direfleksikan sebagai upaya awal untuk ‘mengklaim’ air tanah sebagai commons atau sumber daya kepemilikan bersama. Mengambil pijakan pemikiran ‘sumber daya kepemilikan bersama’ atau commons dari Valérie Fournier (2013)12, konservasi air tanah dengan mendukung reproduksi ekosistem air tanah secara kolektif termasuk ke dalam konsep commons, tidak hanya persoalan alokasi atau distribusi. Teori ini berpotensi menjadi langkah awal untuk menilai sumber daya air tanah, tetapi juga menjadi pijakan kritis untuk menghadapi tantangan lain.
Ketika air tanah telah dianggap sebagai sumber daya kepemilikan bersama, seluruh pengguna memahami dan bertanggungjawab atas keberlanjutan distribusi, alokasi, dan reproduksi atas sumber daya yang terbatas. Mengklaim kembali air tanah dari privatisasi membuka ruang untuk pengelolaan kolektif yang memberi air tanah nilai guna daripada nilai tukar. Ruang kolektif tersebut dapat menempatkan para penerima manfaat dari suatu akuifer agar bertanggungjawab terhadap reproduksi dan kelangsungan air tanah yang dieksploitasinya.
Terdapat beberapa alasan mengapa reproduksi air tanah menjadi upaya penting untuk mengklaim air tanah sebagai sumber daya kepemilikan bersama. Pertama, alasan ekologis, air tanah tergolong sumber daya yang sulit dipantau ketersediaannya. Sehingga, sulit menentukan secara kasat mata degradasi ekosistem akuifer ketika pemanfaatan terus meningkat. Maka, suatu kelompok penerima manfaat dari suatu akuifer harus bertanggungjawab untuk memantau reproduksi dan keberlangsungan akuifer yang dieksploitasinya lewat suatu struktur institusional yang mengakomodasi kepentingan bersama.
Kedua, alasan sosial, kesulitan pemantauan air tanah dan moda eksploitasi ekstraktif yang berlanjut rentan menimbulkan konflik pemanfaatan serta ketidakadilan terhadap akses air. Krisis air tanah berarti penurunan level akuifer yang mengharuskan setiap pengguna mengebor lebih dalam. Perusahaan dengan kapital lebih kuat seperti perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) dan pariwisata memiliki kesempatan tinggi untuk memperdalam sumurnya dibanding masyarakat biasa. Dalam kompetisi ini, masyarakat ekonomi rendah akan semakin sulit mendapatkan akses air bersih akuifer. Kompetisi yang tidak adil karena melibatkan kuasa modal.
Ketiga, alasan kultural, degradasi ekosistem air Bali mengancam segala sendi kehidupan terutama ‘budaya’ yang selalu dikhawatirkan terancam oleh globalisasi lewat narasi ‘pariwisata budaya’. Saat ini, lingkungan hidup Bali yang paling terancam dari kekuatan kapital yang ekstraktif terhadap sumber daya air. Kekuatan-kekuatan ini selanjutnya mengancam keberlangsungan kehidupan manusia dan budayanya di pulau ini. Sebagai contoh, banyak sumber mata air subak dan pura-pura beji yang surut. Kelompok subak yang bertanggungjawab atas kelangsungan ritual pura merasa terbebani oleh dua hal yakni, produksi yang menurun dan biaya ritual yang tinggi.
Tantangan institusi-institusi dalam klaim air tanah sebagai ‘sumber daya kepemilikan bersama’
Semangat konservasi air (tanah) di Bali semakin meningkat ditunjukkan dengan banyaknya partisipasi institusi, organisasi, dan yayasan yang sadar akan ekosistem air yang semakin terancam. Ekosistem air yang terancam ini disebabkan salah satunya oleh komodifikasi air yang penggunaannya didasari oleh nilai tukar atau nilai uang dibandingkan nilai guna. Sehingga, selama menghasilkan banyak ‘uang’ atau kapital, eksploitasi tanpa menghormati kemampuan akses orang lain dan kemampuan reproduksi ekosistem sering kali memperoleh izin. Padahal, keuntungan kapital tersebut tidak menghitung biaya ekologis yang harus ditanggung di masa depan.
Tentunya, perusahaan yang telah mengakumulasi banyak kapital dari proses tersebut dapat menarasikan apa pun tentang kondisi ekosistem air yang dimanfaatkannya. Bahkan, mereka dapat menggerakkan organisasi yang seakan-akan sedang melakukan penyelamatan ekosistem air, tetapi mengabaikan proses degradasi lingkungan yang sebagian besar digerakkan oleh pasar.
Apakah kita akan menunggu hal ini berlanjut sampai mereka menguasai air tanah dengan cara memenangkan kompetisi ‘sumur bor paling dalam’ dan memisahkan para pengguna lain dari akses terhadap air? Yang kemudian tersisa hanyalah sebuah kondisi ketergantungan terkonstruksi, situasi yang menempatkan masyarakat untuk menjual tenaga mereka agar dapat membeli kebutuhannya yakni ‘air bersih’.
Situasi yang memprihatinkan ketika elemen primordial untuk keberlangsungan hidup menjadi sebuah komoditas dan ketika fungsi negara sebagai penjamin keadilan sosial kalah di depan kuasa pasar.
Bukan mustahil untuk menentukan air tanah sebagai sumber daya kepemilikan bersama yang ekstraksi, alokasi, dan terutama reproduksi sumber daya disepakati secara kolektif dan diperjuangkan bersama-sama antara para pengguna daripada pasrah terhadap mekanisme pasar yang sebagian besar dikuasai pemodal.
Makna kata ‘konservasi’ yang sering kali dipakai untuk memperjuangkan sumber daya ini pun perlu ditinjau ulang. Konservasi dan segala bentuk turunan katanya (penyelamatan, pelindungan, pengelolaan) dianggap perlu karena ada sesuatu yang mengancam. Jika ancaman tersebut luput dari perhatian institusi atau aktor yang bergerak atau bahkan jika mereka bekerja sama dengan ancaman, bukankah kata-kata tersebut merupakan kata lain dari memroyekkan ‘kegelisahan bersama’ dan secara langsung mendukung moda pembangunan yang ekstraktif dan destruktif?
Di antara sumber-sumber air sakral di pura-pura yang disimbolkan dan diupacarai bagi Sang pemelihara kehidupan—Dewa Wisnu—air tanah yang diprivatisasi serta dikomodifikasi saat ini bertempat dalam posisi profan. Perubahan alih fungsi lahan juga meminggirkan posisi pura beji di beberapa tempat sebagai sumber air bersama.
Tercatat, beberapa pura beji di perkotaan kehilangan aspek fungsional dan ritual akibat gangguan lingkungan. Moda eksploitasi ekstraktif lewat privatisasi air tanah dan lemahnya peraturan tata ruang mengganggu sumber-sumber air di area sakral. Ketika manusia dinyamankan teknologi untuk mendayaguna alam dan didukung oleh kekosongan sosio-institusional untuk mengatur keserakahannya, ia memiliki kesempatan untuk merampas Dewa Wisnu dari istananya.
1 Lihat riset yang dipublikasi IDEP Foundation & Politeknik Negeri Bali : https://www.idepfoundation.org/en/bwp & beberapa artikel : https://www.mongabay.co.id/2015/04/15/bali-terancam-krisis-air-mengapa/ ; https://bali.tribunnews.com/2019/12/31/bali-di-ambang-krisis-air-bersih-eksploitasi-air-tanah-sudah-melampaui-70-persen
2 Masuknya air laut ke dalam air tanah
4 Cole, Stroma & Browne, Mia 2015 Tourism and Water Inequity in Bali: A Social-Ecological Systems Analysis, Human Ecology, http://link.springer.com/10.1007/s10745-015-9739-z
5 https://baliexpress.jawapos.com/bali/27/12/2019/700-pelanggan-pdam-gianyar-mundur-beralih-ke-sumur-bor-dan-pamsimas/
6 https://www.denpost.id/news/2022/01/21/645020/ribuan-sambungan-pelanggan-pdam-gianyar-dicabut.html
7 Contoh di kabupaten Gianyar sumur bor menempati jumlah sumber air terbanyak dibanding sumber lain : https://pdamgianyar.co.id/sumber-mata-air
8 Sophocleous, Marios 2002 Interactions between groundwater and surface water: the state of the science, Hydrogeology Journal, DOI 10.1007/s10040-001-0170-8
9 Van Steenbergen, Frank, et al. 2014 A case of groundwater depletion in Balochistan, Pakistan: Enter into the void, Journal of Hydrology: Regional Studies, http://dx.doi.org/10.1016/j.ejrh.2014.11.003
10 Ostrom, Elinor 1990 Governing the commons: the evolution of institutions for collective action, New York: Cambridge University Press
11 Lihat Garett Hardin, The Tragedy of commons (1968)
12 Fournier, Valérie 2013 Commoning: on the social organization of commons, M@n@gement, http://www.cairn.info/revue-management-2013-4-page-433.htm