Sejumlah jurnalis merefleksikan pengalamannya menulis berita-berita yang terkait dengan kekerasan dan keragaman gender. Selain budaya patriarki, juga masih ada kebijakan yang belum mendukung.
Mona Ervita, salah satu advokat di Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) dan tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta mengatakan ada sejumlah tantangan dalam memastikan pemberitaan adil gender. Di antaranya budaya patriarki dan misoginis, media belum menjadi ruang aman bagi perempuan, dan kelompok minoritas, dan masih ada industri media yang menunjukkan pemberitaan diskriminatif. Terutama bagi perempuan, kelompok rentan, minoritas, LGBT, dan lainnya.
Tantangan lain adalah prespektif bisnis, ekonomi, politik perusahaan media kerap diutamakan dalam menulis berita-berita yang perlu sensitivitas.
“Perempuan diobjektifikasi demi permintaan pasar,” kata Mona dalam workshop online, Sabtu, 30 Oktober 2021. Di sisi lain, ada juga kebijakan yang perlu dieksekusi untuk mengurangi diksriminasi itu. Misalnya Dewan Pers yang belum menerbitkan peraturan mengenai pemberitaan yang ramah gender dan beberapa kebijakan yang masih diskriminatif di Komisi Penyiaran Indonesia. Seperti teguran-teguran yang tidak memperbolehkan menayangkan soal LGBT.
Workshop dengan topik Sudut Pandang Berkeadilan Gender pada Pemberitaan ini dihelat media jurnalisme warga Balebengong,id dan program beasiswa Citradayanitta oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) yang fokus pada kepemimpinan jurnalis perempuan di berbagai isu. Penerima tahun ini salah satunya Ni Ketut Juni Antari, jurnalis muda di media jurnalisme warga BaleBengong.id dan alumni Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana.
Tantangan lain adalah minimnya jumlah jurnalis perempuan yang bisa mempengaruhi kebijakan redaksi, termasuk memilih diksi yang tepat dalam pemberitaan agar tidak bias gender. Penelitian AJI Jakarta 2012 menyebutkan hanya 6% perempuan menjabat di struktur keredaksian. Sekitar 94% mayoritas bekerja sebagai reporter atau bukan pengambil keputusan dalam keredaksian.
Pemahaman pada gender juga menurut Mona perlu terus didiskusikan di intenal media. Misalnya membedakan jenis kelamin dan gender.
Jenis kelamin adalah karakteristik biologis yang digunakan untuk mengategirukan manusia sebagai bagian dari kelompok betina atau jantan atau interseks. Karakteristik biologis tersebut merujuk pada kromosom, gonad, dan bentuk anatomis seseorang termasuk di dalamnya ciri primer seperti organ reproduksi, genitalia dan/atau struktur kromosom dan hormon dan ciri sekunder seperti massa otot, distribusi rambut, payudara dan/atau strukturnya.
Gender adalah konstruksi sosial yang biner yang membedakan ciri, sifat, dan peran antara laki-laki dan perempuan secara tegas berdasarkan seksnya. Faktanya indivisu memiliki ciri, sifat dan peran yang tidak biner. Misalnya laki-laki, perempuan, transparia, transpuan, dan lainnya. “Di masyarakat Bugis, ada calalai, calabai, dan bissu,” contohnya.
Eviera Paramita Sandi, bidang gender dan multimedia Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar membagi pengalamannya jadi reporter dan kini editor media online di Bali dalam pemberitaan isu gender. Misalnya dalam pemilihan kata perempuan atau wanita. Perempuan secara etimologis berasal dari kata bahasa Sansekerta pu yang berarti hormat, kehormatan. Zoetmulder mengatakan kata ‘perempuan’ berasal dari kata empu dalam bahasa Jawa kuno berarti tuan, mulia, hormat.
Wanita pun berasal dari bahasa Sansekerta “wan” berarti ingin dan “ita” yang berarti yang di (dalam bentuk pasif). Jika disimpulkan lalu menjadi yang diinginkan. Ada juga yang menyebut wanita sama dengan wani ditata. Karena itu ia memilih menggunakan kata perempuan.
Tantangan lain menurutnya adalah kurangnya pengetahuan tentang gender dan keberagaman serta redaksi kurang menghormati budaya dan kebiasaan daerah. “Target dan beban kerja yang terlalu banyak juga berpengaruh. Misalnya saat menuis berita pelecehan seksual menulis dari kronologis kepolisian yang terlalu detail,” contoh Eviera.
Pandemi COVID-19 tak menurunkan kasus-kasus kekerasan verbal dan nonverbal pada perempuan. Namun, kekerasan kerap diberitakan jika terjadi secara verbal/nonverbal, sedangkan ada sejumlah peristiwa lain yang luput seperti eksploitasi dan ketidakadilan. Berdasarkan data LBH APIK dari jumlah 794 kasus yang dilaporkan tahun 2019, lebih banyak pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 249, 125 kasus perdata keluarga, 103 kasus kekerasan seksual dewasa. Dari data ini tidak banyak laporan yang menunjukkan kekerasan verbal. Seringkali tidak dilaporkan karena korbannya tidak merasa perlu atau lemah pada pembuktiannya.
Beberapa jurnalis juga merefleksikan pengalamannya dalam menulis. “Dengan sudut pandang yang tepat, maka media memiliki peran membawa kasus serupa untuk menemukan solusi. Namun, di sisi lain, jika ada kekeliruan penyampaian berita, berdampak buruk pada narasumber dan pembaca,” ujar Juni Antari, panitia workshop.
Munculnya respon pembaca atas pemberitaan dengan komentar seksis atau merendahkan juga menambah tekanan pada korban. Sudut pandang pemberitaan berdampak pada bagaimana setiap orang/pembaca menilai dan merespon sebuah kasus.
Maka dari itu, media sangat berperan dalam pemberitaan yang berperspektif gender. Dalam workshop kali ini, akan ada studi kasus untuk membedah sudut pandang dalam pemberitaan terkait kasus kekerasan dan dampak pandemi pada perempuan di Bali. Karena itu workshop ini memperkenalkan konstruksi kekerasan berbasis gender dan mencari solusi dan sudut pandang yang lebih adil.