Kaki-kaki, nani dije? Jani tumpek pengatag, mabuah apang nged.. nged.. nged.
Masyarakat Hindu Bali telah lama mengenal konsep Tri Hita Karana. Konsep ini memegang teguh ajaran untuk menjaga keharmonisan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Konsep Tri Hita Karana menjadi validasi bagaimana orang-orang Hindu di Bali cenderung memiliki hubungan yang erat dengan alam.
SyukurSyukurHubungan dengan alam tersebut juga dirayakan pada Saniscara Kliwon Wuku Wariga atau yang dikenal dengan hari Tumpek Wariga. Tumpek Wariga jatuh pada hari ini, Sabtu. Tepatnya 25 hari sebelum hari raya Galungan. Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Pengatag atau Tumpek Uduh. Hari ini merupakan hari di mana umat Hindu Bali membuat banten (sejenis sajen) yang diupacarai untuk tanaman. Upacara ini merupakan wujud bhakti umat Hindu terhadap tanaman yang telah memberikannya kehidupan.
Perayaan ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu yang memiliki peran penting dalam membuat banten pada hari Tumpek Wariga. Tanaman yang ada di pekarangan rumah biasanya diupacarai dengan berbagai jenis banten dan juga bubur sumsum sebagai penanda kesuburan. Orang-orang Hindu Bali secara turun temurun melakukan upacara ini sebagai bentuk pemujaan terhadap Sang Hyang Shangkara (dewa tumbuhan) agar kehidupannya dilimpahkan kesuburan melalui tanaman-tanaman yang ada.
Pemujaan terhadap manifestasinya dilakukan dengan mengucapkan mantra kepada tumbuhan. Ibu saya bercerita, bahwa setiap ia menghaturkan banten di hari Tumpek Wariga maka keluarlah mantra seperti ini:
Kaki-kaki, nani dije? Jani tumpek pengatag, mabuah apang nged.. nged.. nged.
Kakek-kakek, nenek di mana? Sekarang tumpek pengatag, berbuahlah dengan lebat.. lebat.. lebat.
Pengingat
Sembari mengucap mantra tersebut, Ibu akan atag (memukul) batang pohon sebanyak tiga kali. Lalu ibu meletakkan bubur sumsum pada tumbuhan di pekarangan rumah. Mantra tersebut secara turun temurun diucapkan untuk mengucap syukur pada keberlimpahan yang dihasilkan pohon-pohon. Tentunya mantra ini menjadi pengingat bagi tiap generasi untuk memuliakan alam dan menghargai keberadaannya.
Tumpek Wariga menjadi salah satu pengingat bagaimana sebenarnya manusia sangat bergantung pada alam. Tentu saja nenek moyang kita dulu telah mewarisi pengetahuan tersebut melalui kearifan lokal, seperti Tumpek Wariga ini. Dengan demikian, kita tak dapat lengah. Tumpek Wariga harusnya menjadi tolok ukur bagaimana orang-orang dulu mampu menciptakan konsep yang begitu realistis. Karena penghargaan terhadap alam adalah bentuk penghargaan terhadap manusia, sebab alam menjadi salah satu penghidupan bagi manusia.
Hubungan yang harmonis harusnya dapat dibangun melalui semangat Tumpek Wariga ini. Mengingat maraknya perampasan lahan untuk industri, eksploitasi alam, kapitalisasi lingkungan dan isu krisis iklim justru akan mengantarkan kita pada jurang kehancuran.
Di hari-hari di mana segalanya menjadi mudah, industri merajalela, dan alam diperkosa habis-habisan, kita harus merenungkan kembali ajaran-ajaran yang secara turun temurun mengajarkan kita untuk melakukan penghormatan terhadap alam.
Maka, sudah semestinya Tumpek Wariga tidak hanya dijadikan perayaan simbolis saja. Lebih dari itu, upacara ini justru harus dijadikan titik tolak manusia dalam menghargai alam dan menyudahi segala bentuk eksploitasi yang terjadi hari-hari ini.
Kondisi darurat ekologis yang kita hadapi hari ini seharusnya membuat kita peka dan menyadari kondisi Bali yang juga terhimpit isu kerusakan lingkungan di wilayah utara dan selatan, akibat deru pembangunan PLTU Celukan Bawang dan Reklamasi Teluk Benoa. [b]
Comments 1