Masa Subur adalah momentum bagi para pekerja seni perempuan untuk tumbuh berkembang.
“Pameran kelompok 25 perempuan perupa di Indonesia, Efek Samping dibuka pada Sabtu, 20 Oktober hingga 9 November 2018, di Karja Art Space, Ubud, Bali. Digagas dan diselenggarakan oleh Futuwonder sebuah kolektif lintas disiplin, pameran Efek Samping ini merupakan salah satu program dari proyek seni Masa Subur.
Proyek ini ditujukan untuk memantik tumbuh suburnya peran aktif perempuan pekerja seni di wilayah seni rupa kontemporer.
Futuwonder sebagai sebuah kolektif baru dibentuk pada awal tahun 2018 oleh empat perempuan pekerja seni dari berbagai latar belakang profesi. Mereka adalah Citra Sasmita (perupa), Putu Sridiniari (konsultan desain lepas), Savitri Sastrawan (kurator/penulis), dan Ruth Onduko (manajer seni).
Proyek Masa Subur adalah gagasan awal dari rangkaian program yang telah mereka kerjakan sejak pertengahan tahun 2018, salah satunya adalah penyelenggaraan pameran yang pesertanya adalah perempuan pekerja seni.
Awalnya proyek seni ini diajukan untuk salah satu hibah seni tapi sayangnya tidak lolos. “Meskipun dana hibah tidak turun, kami tetap melanjutkan proyek ini secara swadaya dan swadana, kami punya visi dan misi ke depan yang kami yakini penting bagi tumbuh suburnya peran aktif perempuan di wilayah seni rupa kontemporer, khususnya di Bali,” jelas Ruth Onduko.
Pemantik
Pameran bisa menjadi pemantik bagi pelaku seni lainnya untuk melakukan hal serupa, saling mendukung, bekerjasama agar tercipta eksositem seni oleh dan untuk perempuan semakin progresif dari sisi kualitas dan kuantitas. Masa Subur adalah momentum bagi para pekerja seni khususnya perempuan untuk tumbuh berkembang.
Terus berdiskusi, masing-masing anggota Futuwonder memetakan permasalahan yang terjadi dalam situasi berkesenian para perempuan seniman berdasarkan pengalamannya di Bali. Putu Sridiniari mengatakan representasi perempuan seniman di Bali sangat minim dan hampir tidak ada konsolidasi untuk merubah keadaan. Situasi ini menjadi status quo, sesuatu yang niscaya atau istilah Bali-nya: nak mule keto (sudah dari dulu begitu).
“Ekosistem kesenian tidak berkembang untuk mengakomodir perempuan seniman selain itu tuntutan kewajiban di institusi keluarga maupun adat menghambat pergaulan di ranah kreatif dan intelektual,” ungkapnya.
Futuwonder melihat bahwa ada banyak potensi dari perempuan pekerja seni di Bali yang sangat baik namun secara kuantitas mereka jarang muncul di event-event pameran kontemporer yang adadi Bali. Sebagian besar perempuan pekerja seni yang menghadirkan antithesis dari selera estetika dalam arus utama seni rupa pun menghadapi beberapa tantangan seperti sulitnya apresiasi dan kesempatan memamerkan karya dalam ruang yang representatif.
Ketika berbagai ide dapat bertemu sehingga memantik diskursus karya-karya perempuan pekerja seni dapat berjalan dinamis. Menjadikan perempuan turut aktif dalam memberikan sumbangsih pengetahuan dan wacana dalam dunia seni rupa.
Citra Sasmita menambahkan permasalahan yang dihadapi perempuan dalam dunia seni rupa global. Wacana perempuan dalam seni rupa pun kerap kali dianggap wacana yang sifatnya insidental. Karena terpengaruh tren feminisme yang sedang bekerja dalam situasi politik dunia. Sehingga alih-alih masyarakat bisa menikmati karya seni secara objektif, yang menjadi “efek samping” adalah adanya kecurigaan dalam pembacaan karya perempuan yang selalu diasosiasikan dengan visual banal dan radikal.
Hal yang tidak perlu dibesar-besarkan karena hanya menghadirkan ekspresi personal yang tidak akan memberikan dampak secara luas dalam pembacaan wacana seni rupa.
Proyek Masa Subur mencoba menghadirkan produktifitas perempuan pekerja seni yang tidak hanya aktif berkarya namun aktif juga dalam memproduksi ide dan gagasan. Futuwonder dalam seleksi karya menawarkan metode yang disebut PKK (Program Kurasi Kolektif). Sebuah metode untuk memberikan penilaian dan pemilihan karya peserta Open Call berdasarkan beberapa kriteria yang disepakati oleh Futuwonder. Yaitu visual dan kecakapan peserta dalam membuatkarya seni, gagasan dan korelasi karya dengan tema besar Masa Subur.
Proses Seleksi
Tercatat lebih dari 100 aplikasi dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Tidak hanya peserta dari Jawa dan Bali namun peserta dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi juga turut mengirimkan karya dan ide terbaik mereka dalam mengangkat permasalahan keperempuanan, pengalaman sosial dan kultural serta tantangan yang mereka hadapi sebagai perempuan.
Seniman yang akhirnya terpilih dari proses seleksi PKK adalah Ika Yunita Soegoro, Ni Luh Listya Wahyuni, Sekar Puti, Santy Wai Zakaria, Siti Nur Qomariah, Patricia Paramita, Nuri F.Y, Tactic Plastic Project, Findy Tia Anggraini, A.Y Sekar F, Christine Mandasari Dwijayanti, Venty Vergianti, Irene Febry, Osyadha Ramadhana, Evy Yonathan, Caron Toshiko Monica, Khairani Larasati Imania, Luna Dian Setya, Dea Widya, Sumie Isashi, dan Salima Hakim. Sedangkan seniman undangan yang dipilih untuk merepson tema Masa Subur adalah Mangku Muriati, Ika Vantiani, Andita Purnama, dan Citra Sasmita.
Sebagai anggota Futuwonder yang berkecimpung di dunia kuratorial Savitri Sastrawan menjelaskan bahwa pameran Efek Samping adalah pameran yang menghadirkan kekaryaan perempuan pekerja seni Indonesia saat ini. Sembari memperkaya penulisan dokumentasi peristiwa seni rupa oleh perempuan pekerja seni.
“Saat Open Call, kami menekankan bahwa yang kami cari adalah karya dari disiplin apapun dalam bentuk dua dimensi. Kami tidak ingin terpaku pada satu disiplin saja mengingat seni rupa sudah berkembang banyak metode-metodenya,” jelasnya. Karena yang diterima sesuai harapan, Efek Samping dapat dibentuk menjadi pameran seni yang lintas disiplin. Eksplorasi material maupun gagasan ada banyak macam dari yang sifatnya kerajinan seperti keramik, desain seperti desain grafis, sampai yang seni murni seperti lukisan. Melalui karya-karya mereka juga, kami dapat menjawab Efek Samping itu bersama,” tambah Savitri.
Salah satu peserta undangan adalah Mangku Muriati pelukis gaya klasik Wayang Kamasan yang karyanya mengangkat tema diluar kebiasaan wayang Kamasan pada umumnya. Karya Mangku Muriati yang menggambarkan kehidupan perempuan masa kini sebagai wanita karir.
Dekat Keseharian
Lalu ada karya Irene Febry, seri The Gender Issue, yang menggunakan material kertas sebagai metode “bahasa” untuk menyampaikan gagasannya. Karyanya memaparkan perbedaan gender yang keduanya mempunyai posisi sama penting.
Medium tekstil dan proses menjahit sebagai metode menulis ulang sebuah sejarah juga hadir di beberapa karya pameran Efek Samping. Tekstil sangatlah dekat dengan keseharian kita dan kecenderungan ditemukan dalam bentuk tradisi. Seperti Her story: Let’s start from the beginning, shall we? oleh Salima Hakim mengilustrasi ulang evolusi manusia dalam ‘jenis’ perempuan daripada laki-laki yang telah kita kenal lama.
Penggunaan foto-bordir muncul di karya Dea Widya, mengangkat eksistensi perempuan pada sejarah, yakni keberadaan para Nyai, seperti ‘perempuan yang dihapus namanya’ dalam sejarah. Karya dua foto-bordir ini seperti mendistorsi image perempuan dimasa lalu, dengan sentuhan ‘ambigu’. Permainan komposisi, efek bayangan menimbulkan narasi baru dimana idenitas pada masa itu juga ‘ambigu’.
Dua puluh lima seniman yang berpameran di pameran Efek Samping ini mempunyai gaya, metode, pilihan medium, cara tutur dan tema yang beragam dan menarik. Pameran dibuka tanggal 20 Oktober 2018 oleh Sinta Tantra dan Ayu Laksmi dan akan berlangsung hingga 9 November 2018 di Karja Art Space.
Selain pameran, akan hadir rangkaian acara diskusi “Tumbuh Subur: Tantangan Perempuan di Seni Rupa” yang akan menghadirkan Saras Dewi (dosen filsafat) dan Sinta Tantra (seniman) pada 27 Oktober 2018. Selain itu ada workshop Happy Plastic bersama Tactic Plastic Project pada 21 Oktober 2018. Pameran ini juga turut memeriahkan gelaran festival literasi UWRF sebagai salah satu art exhibiton program dan bagian dari Bali Arts Road program sampingan Art Bali 2018. [b]