Cerita lokal yang diangkat ke film tergolong masih minim.
Jika cerita itu digarap dengan maksimal, secara tidak langsung memberikan nuansa lebih pada daerah. Cerita-cerita lokal bisa terangkat. Harapannya akan muncul pula rasa penasaran terhadap daerah yang dipresentasikan. Napak Pertiwi termasuk salah satunya.
Pada umumnya mendengar kata tersebut akan mengarahkan pada ritus atau ritual tertentu. Ida Bagus Hari Kayana Putra merespon nilai-nilai filosofi lokal dan natural itu ke ranah sinema. Film seperti ini menggambarkan bagiamana menghadapai situasi ketidaknyamanan melawan keterbatasan dengan mimpi yang besar.
Proses berlanjut. Dia terus memelihara semangat karena film ini sejatinya bagian dari ujian akhir pascsarjana.
Napak Pertiwi merupakan adopsi puisi karya I Wayan Jengki Sunarta yang sebetulnya diberikan kepada sahabatnya I Putu Bonuz saat dirinya ulang tahun.
Putu Bonuz sempat merespon karya puisi itu dengan seni dokumenter. Merujuk pada karya itu, Kayana Putra berupaya menghadirkan hal baru kepada penikmat seni dan masyarakat umum dengan nuansa sinema.
Napak Pertiwi mengisahkan perjalanan seorang perupa di masa anak-anak hingga tenar sebagai perupa yang diperhitungkan di Bali bahkan nasional. Di balik keterbatasan perupa yang lahir di pulau cadas dan tandus, terpompa semangatnya mengwujudkan cita-cita.
Lebih lagi, setelah melanjutkan sekolah seni rupa guncangan keras kehidupan tanah rantuan membentuk kepribadian yang mandiri jauh dari sanak keluarga.
Melawan keras kehidupan, dia tetap bertahan di tengah kerinduan pada tanah kelahirannya. Dia memanfaatkan apa yang ada. Berkreasi dan berkarya menjadi jawaban dari keinginan yang memanggilnya.
Semangatnya sempat terhenti sejenak, tetapi sosok perempuan kembali membakar semangat dan mendatangkan imajinasi. Dia terus berkesenian termasuk berpameran sehingga hasilnya pun tidak menghianati.
Di sisi lain, tetesan rindu pulau yang membesarkannya memanggil dia untuk kembali.
Menjadi Inspirasi
Kayana Putra menggarap film ini berlatar belakang pulau Nusa Penida ini. Film ditayangkan perdana kepada publik luas mulai pada 22-24 Agustus di Cineplex Denpasar.
Sutradara film berjudul Napak Pertiwi (A Land To Remember) ini selain megadaptasi kisah dan nilai-nilai yang terkadung di dalam karya Sastra puisi ‘Napak Pertiwi’ juga melakukan wawancara dengan I Putu Sudiana ‘Bonuz’, tokoh yang menjadi inspirasi.
Tujuannya menggali pengalaman hidup dan nilai-nilai semangat perjuangannya guna dituangkan ke dalam Film Fiksi Napak Pertiwi. Film ‘Napak Pertiwi’ tidak hanya mengeksplorasi kisah kehidupan manusia, tetapi juga mengaitkannya dengan kearifan lokal Bali, Tri Hita Karana.
Bagaimana membuat hubungan yang harmonis antar manusia, manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Secara filosofi, Napak Pertiwi artinya melangkah di bumi. Dalam hal ini mengisahkan tentang langkah-langkah perjalanan hidup seorang pemuda asal Nusa Penida yang hidup di bawah keindahan alam tetapi belum mendapat pemerataan kehidupan yang layak.
Dia pun merantau ke negeri seberang dan dengan melukis sambil bersekolah memberikan inspirasi semangat juang seorang anak dalam mengadu nasib. Napak Pertiwi dari masa lalu hingga masa sekarang khususnya bagi masyarakat Nusa Penida serta masyarakat lainnya. [b]